Catatan Merah untuk Elit Politik di Tengah Krisis Demokrasi

Penulis
Catatan Merah untuk Elit Politik di Tengah Krisis Demokrasi 05/10/2025 41 view Politik Dok. Pribadi

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami gejala kemunduran demokrasi yang kian nyata. Berbagai lembaga pengawas independen melemah, kebebasan sipil menyempit, oposisi mengecil, dan kepercayaan publik terhadap institusi politik terus menurun. Di tengah situasi ini, satu aktor penting yang patut mendapat sorotan adalah "elit politik", namun mereka yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, justru terjebak dalam politik kekuasaan dan pragmatisme jangka pendek.

Demokrasi yang Terancam dari Dalam

‎Krisis demokrasi yang kita hadapi bukan semata ancaman dari luar, melainkan kerusakan sistematis dari dalam. Elit politik memainkan peran besar dalam membentuk arah kebijakan, membangun budaya politik, dan menentukan siapa yang boleh masuk dalam gelanggang kekuasaan. Sayangnya, alih-alih memperluas ruang partisipasi dan memperkuat institusi, elit politik cenderung menciptakan sistem yang eksklusif, transaksional, dan tertutup.

‎Fenomena ini terlihat jelas dalam praktik politik dinasti yang marak, dominasi segelintir keluarga atau kelompok dalam partai politik, serta makin sempitnya ruang oposisi yang sehat. Aliansi kekuasaan dibangun bukan berdasarkan nilai, melainkan atas dasar kalkulasi pragmatis yang hanya menguntungkan elite. Demokrasi prosedural mungkin tetap berjalan dan pemilu tetap digelar, kampanye tetap berlangsung—namun substansinya semakin hampa.

Politik Transaksional dan Oligarki Partai

‎Salah satu catatan merah paling serius terhadap elit politik adalah memburuknya kualitas kepemimpinan dan rekrutmen kader partai. Partai politik, yang seharusnya menjadi sekolah politik dan demokrasi, justru menjelma menjadi kendaraan kekuasaan keluarga dan kelompok tertentu. Tiket pencalonan dalam pemilu lebih ditentukan oleh kekuatan modal, bukan integritas atau kapasitas.

‎Dominasi oligarki dalam tubuh partai membuat proses demokratis internal nyaris tidak ada. Pemilihan calon kepala daerah hingga presiden lebih ditentukan oleh segelintir elite partai, bukan melalui mekanisme terbuka yang melibatkan anggota partai atau publik luas. Akibatnya, demokrasi kehilangan representasi sejatinya, dan hanya menjadi alat legal untuk melanggengkan kepentingan elite.

Koalisi Gemuk, Minim Oposisi

‎Fenomena koalisi besar pasca pemilu juga menunjukkan kemunduran dalam praktik demokrasi. Elit politik dari berbagai partai cenderung berbondong-bondong masuk dalam lingkaran kekuasaan, meninggalkan fungsi oposisi yang seharusnya menjadi pilar penting dalam demokrasi.

‎Tanpa oposisi yang kuat dan kritis, kebijakan pemerintah tidak mendapat pengawasan memadai. Parlemen kehilangan daya tawar, menjadi stempel kebijakan eksekutif, dan mengikis prinsip check and balances. Lebih buruk lagi, sikap kritis terhadap pemerintah sering dilabeli sebagai tindakan makar atau tidak nasionalis, menciptakan iklim politik yang anti-dialog dan membungkam perbedaan pendapat.

Kebebasan Sipil dalam Ancaman

‎Peran elit politik dalam penyempitan ruang sipil juga tidak bisa diabaikan. Alih-alih memperkuat demokrasi dengan melindungi kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat, banyak elit politik justru mendukung atau membiarkan kebijakan yang represif. Demonstrasi mahasiswa dicap anarkis, aktivis dikriminalisasi, dan media independen ditekan secara halus maupun terang-terangan.

‎Kebebasan sipil adalah salah satu indikator utama kesehatan demokrasi. Ketika suara rakyat dibungkam dan kritik dianggap ancaman, maka demokrasi telah kehilangan rohnya. Dalam konteks ini, elit politik tidak hanya gagal menjaga demokrasi, tetapi secara aktif turut merusaknya.

Tanggung Jawab Moral Elit Politik

‎Elit politik tidak bisa terus bersembunyi di balik narasi stabilitas atau pembangunan untuk membenarkan perilaku anti-demokratis. Mereka memiliki "tanggung jawab moral dan konstitusional" untuk menjadi teladan dalam praktik politik yang sehat, terbuka, dan bertanggung jawab.

‎Sudah saatnya elit politik keluar dari jebakan politik transaksional dan berani melakukan pembenahan dari dalam. Mendorong reformasi partai politik, dengan memperkuat demokratisasi internal dan membuka ruang partisipasi anggota secara lebih luas. Menjamin kebebasan sipil, dengan menolak dan mengoreksi kebijakan yang membungkam kritik serta melindungi hak-hak warga negara untuk menyampaikan pendapat. Menghormati fungsi oposisi, dengan tidak menjadikan semua pihak sebagai bagian dari kekuasaan semata, tapi memberi ruang bagi perbedaan pandangan sebagai bentuk cinta terhadap demokrasi. Mengembalikan politik ke jalur etis, dengan mengutamakan kepentingan publik, bukan hanya kelanggengan kekuasaan pribadi atau kelompok.

‎Krisis demokrasi tidak akan selesai hanya dengan mengandalkan protes rakyat atau desakan masyarakat sipil. Kuncinya ada di tangan mereka yang memiliki kekuasaan untuk mengubah arah: para elit politik. Jika elit terus bersikap masa bodoh, maka demokrasi Indonesia hanya akan menjadi kulit tanpa isi dan ritual lima tahunan tanpa makna sejati.

Catatan merah ini adalah pengingat bahwa demokrasi bukan hadiah, melainkan hasil perjuangan yang harus dijaga. Elit politik harus menentukan di sisi mana mereka berdiri: sebagai penjaga demokrasi, atau sebagai perusaknya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya