Kesetaraan Gender dalam Jurnalisme di Indonesia

mahasiswa
Kesetaraan Gender dalam Jurnalisme di Indonesia 15/11/2023 63 view Lainnya encrypted-tbn0.gstatic.com

Tanda disadari manusia dalam setiap kegiatan yang dilakukannya selalu melakukan proses komunikasi. Bentuk komunikasi yang dilakukan bermacam-macam, mulai dari komunikasi secara langsung ataupun komunikasi dengan perantara media tertentu. Komunikasi yang dilakukan bisa berupa komunikasi interpersonal, kelompok, maupun komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan komunikasi yang memiliki lingkup paling luas di antara lainnya.

Komunikasi massa ini merupakan komunikasi tak langsung yang membutuhkan media sebagai perantara untuk menghubungan antara sumber pesan atau komunikator dengan sasaran pesan atau komunikan. Perkembangan media massa sendiri dewasa ini semakin pesat. Jika pada masa lampau proses transfer pesan secara massa hanya bisa dilakukan melalui media cetak, pada perkembangan selanjutnya proses komunikasi massa juga bisa dilakukan dengan menggunakan media audio dan media audio visual. Selanjutnya, pada akhir tahun 1990-an, muncullah internet yang pada akhirnya memunculkan gaya berkomunikasi secara massa yang berbeda.

Kesetaraan gender dalam dunia jurnalistik telah menjadi isu sentral yang mendapat perhatian serius dari para akademisi, praktisi, dan aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia. Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya representasi yang adil dan inklusif dalam media, perbincangan mengenai isu ini semakin mendalam. Meskipun beberapa kemajuan signifikan telah dicapai, ketidakseimbangan gender di dalam industri jurnalistik masih menjadi kenyataan yang sulit diatasi.

Sejak awal abad ke-20, peran perempuan dalam dunia jurnalistik telah mengalami evolusi yang luar biasa. Dulu, perempuan seringkali hanya dianggap sebagai subyek pemberitaan, bukan pelaku utama yang terlibat dalam menghasilkan berita. Namun, dengan semakin bertumbuhnya gerakan feminis, perlahan tapi pasti, perempuan berhasil memperoleh ruang yang lebih besar dalam industri ini. Meski demikian, pandangan stereotip terhadap peran perempuan dalam media masih tersisa dan terus menjadi penghalang dalam mencapai kesetaraan yang sebenarnya.

Kerentanan jurnalisme di Indonesia terkait permasalahan etis sesungguhnya telah diperihalkan oleh Iwan Awaluddin Yusuf dalam sebuah artikel yang berjudul “Peningkatan kepekaan gender dalam jurnalisme". Dalam membahas mengenai wacana gender sebagai mind-set revolution dalam jurnalisme di Indonesia. Jurnalisme Sensitif Gender juga ditawarkan menjadi solusi alternatif bagi kelemahan media pemberitaan (Yusuf,2004).

Fakta pada dasarnya sudah merupakan hasil ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam perspektif Jurnalisme Sensitif Gender. Prinsip jurnalisme tersebut memang berbeda dengan konvensional murni. Pada jurnalisme konvensional murni fakta yang nyata dan hukum/kaidah tertentu berlaku secara universal. Asumsi yang digunakan pada jurnalisme konvensional bahwa ruang media merupakan sesuatu yang sudah netral tanpa diskriminasi (Yusuf,2004).

Dalam konteks ini, penting untuk mengakui bahwa kesetaraan gender bukan hanya soal keterlibatan perempuan dalam pekerjaan jurnalistik, tetapi juga tentang representasi yang adil dan akurat dalam konten yang dihasilkan. Ketika perempuan masih kurang diwakili dalam posisi kepemimpinan atau ketika mereka diwakili secara negatif atau stereotipikal dalam laporan berita, hal ini dapat memperkuat ketidakseimbangan yang sudah ada. Oleh karena itu, pengenalan perspektif gender yang seimbang dalam liputan berita dan pengambilan keputusan editorial menjadi sangat penting.

Diskriminasi Gender dalam Jurnalisme Indonesia

Diskriminasi gender dalam jurnalisme Indonesia merupakan isu yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai kalangan. Meskipun Indonesia telah mencapai kemajuan signifikan dalam bidang jurnalisme, ketidaksetaraan gender masih menjadi masalah yang dihadapi oleh banyak praktisi jurnalisme di negara ini. Dalam lingkungan jurnalistik, diskriminasi gender sering kali terjadi baik secara terang-terangan maupun dalam bentuk-bentuk yang lebih terselubung, dan dapat menghambat perempuan dalam mencapai potensi penuh mereka.

Salah satu bentuk diskriminasi yang sering terjadi adalah keterbatasan akses perempuan ke posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan editorial. Meskipun banyak perempuan yang berbakat dan berkualitas dalam bidang jurnalisme, mereka seringkali diabaikan untuk menduduki posisi-posisi penting, yang pada akhirnya berdampak pada terbatasnya peran mereka dalam mengambil keputusan strategis dalam perusahaan media. Hal ini tidak hanya menghambat perkembangan karier perempuan dalam industri, tetapi juga membatasi pengaruh mereka dalam pembentukan narasi-narasi yang ada.

Selain itu, dalam hal representasi, perempuan seringkali menghadapi stereotip dan prasangka gender yang merugikan. Dalam pemberitaan, perempuan sering kali digambarkan dalam peran yang tradisional dan terbatas, seperti hanya menjadi objek dalam pemberitaan tentang kekerasan atau kejahatan, sementara keterlibatan mereka dalam aspek-aspek lain dari kehidupan sosial dan politik sering diabaikan. Pemberitaan yang menekankan penampilan fisik dan atribut-atribut non-profesional juga sering memperkuat stereotip negatif terhadap perempuan di media.

Etika Jurnalistik dalam Perspektif Gender

Semakin cepatnya perkembangan teknologi juga diikuti oleh kondisi dan situasi jurnalisme. Berbagai permasalahan juga kerap muncul sesuai dengan konteks zamannya. Akan tetapi, kesadaran terhadap persoalan atau isu jurnalisme tidak semuanya otomatis muncul dalam perdebatan publik. Terdapat potensi yang tidak terdeteksi dalam radar diskursus etika melihat beberapa isu jurnalisme. Hal ini dipengaruhi oleh hegemoni media dalam membangun opini publik.

Media tidak hanya sebagai pemberi pesan namun merupakan pesan itu sendiri. Sehingga, ketika pelaku media tidak memahami aspek etika dengan baik dapat menjadi rentan. Seringkali dalam jurnalisme pencarian kebenaran berita tidak mempedulikan kepentingan moral. Beberapa berita yang disebarkan tidak menperhatikan aspek privasi dan publik. Apalagi persoalan gender yang kurang populer dalam jurnalisme Indonesia, seringkali tidak menjadi perhatian publik.

Seringkali dalam pemberitaan di Indonesia ditemukan judul yang tidak memadai dalam sensitifitas gender. Hal ini menjadi bukti bahwa kepekaan terhadap permasalahan diskriminasi gender masih sangat kurang. Media sebagai pembentuk opini publik menjadi penyebab masih terdapatnya diskriminasi gender, sehingga menjadi alat hegemoni yang legal. Walaupun etisnya media memilik fungsi untuk mendukung keadilan gender. Dominasi patriarki dalam jurnalisme di Indonesia sungguh telah menafikan simbol lain dalam diskursus publik. Secara tidak sadar perspektif yang selama ini digunakan adalah hasil konstruksi budaya patriarki. Akhirnya menjadi jelas penyebab sulitnya memunculkan kesadaran terhadap diskriminasi gender.

Berbagai macam kode etik jurnalistik yang selama ini ada juga belum tentu bebas dari bias gender. Sehingga tidak tepat apabila hanya berpijak pada prinsip tersebut. Berbagai diskursus etika yang selama ini dilakukan juga dinilai belum autokritik. Sebab konstruksi patriarki masih tetap dominan dalam wacana publik.

Dominasi patriarki dalam wacana publik memiliki konsekuensi persoalan dalam jurnalisme. Persoalan dalam jurnalisme pada dasarnya diawali dengan suatu dilema moral. Pertemuan antara kepentingan pencarian kebenaran berita dengan upaya minimize harm merupakan dilema moral dalam diskursus etika jurnalistik. Seorang jurnalis memiliki kewajiban profesional untuk membawakan informasi yang valid kepada publik. Di sisi lain perlu untuk menghindari tindakan tidak adil terhadap subjek yang terlibat. Sekilas pernyataan tersebut tidak memiliki kontradiksi dalam moralitas. Namun situasi jurnalisme yang memiliki hubungan dengan produksi berita terkadang melalaikan prinsip dasar tersebut.

Kaitan dengan urgensi pemberitaan khususnya informasi yang perlu dikonsumsi oleh publik namun faktanya dapat bergeser kepada public interest. Jika dihubungkan dengan dominasi patriarki maka public interest selalu memposisikan laki-laki sebagai subjek sedangkan perempuan sebagai objek. Dengan demikian urgensi pemberitaan sudah tidak memiliki esensi jurnalisme melainkan hanya sekedar entertaint. Kondisi inilah yang sesungguhnya memicu dilema moral. Anggapan bahwa fungsi jurnalisme sebagai pengungkap kebenaran berita menjadi dominan tanpa mempertimbangkan aspek moral.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya