Membangun Kesadaran Moral Melalui Acara Wuat Wa'i

Mahasiswa STPMD' APMD' Yogyakarta
Membangun Kesadaran Moral Melalui Acara Wuat Wa'i 27/03/2023 863 view Budaya kompasiana.com

Dalam tulisan ini, saya akan memperkenalkan salah satu tradisi orang Manggarai yang sudah membudaya, yaitu acara wuat wa’i, kepada pembaca sekalian. Hampir pasti, orang Manggarai pada umumnya mengenal tradisi yang satu ini. Meskipun tidak diceritakan secara lisan maupun tulisan secara turun-temurun antar generasi, dengan sendirinya orang-orang Manggarai akan paham karena sering terlibat dalam acara wuat wa’i.

Secara etimologi, wuat wa’i berasal dari dua kata yakni wuat yang berarti mengutus, dan wa’i yang berarti kaki. Dengan demikian, secara harafiah, wuat wa’i berarti mengutus kaki. Namun, secara lebih mendalam wuat dapat diartikan sebagai membekali dan wa’i artinya berjalan jauh. Jadi, wuat wa’i artinya membekali seseorang untuk berjalan jauh.

Biasanya, acara wuat wa’i dilaksanakan ketika seseorang hendak merantau untuk menempuh pendidikan ataupun mereka yang mencari pekerjaan karena keadaan ekonomi di kampung yang bikin napas sesak. Sebelum berangkat, semua keluarga dan orang-orang baik yang senantiasa mendukung dengan ikhlas paling dalam dan setia paling tulus, berkumpul bersama. Mereka bersama-sama mempersembahkan kurban—berdoa kepada Mori Kraeng (Tuhan) melalui perantaraan nenek moyang yang lebih dahulu berpulang—dan memberi petuah atau nasihat serta saling menguatkan.

Hewan yang biasa digunakan sebagai kurban yaitu ayam jantan berwarna putih. Menurut cerita para tetua adat, pemilihan warna putih memiliki makna filosofis yang sungguh mendalam. Warna putih melambangkan kesucian, kepolosan, kekosongan, belum memiliki apa-apa di dalam dirinya.

Dengan harapan, suatu saat nanti ketika pulang kembali ke kampung halaman dan bersua kembali dengan orang-orang tersayang, bisa menjadi manuk rombeng (term untuk menyebut ayam yang memiliki bulu dengan banyak warna atau lebih dari satu).

Oleh karena itu, ada go’et (ungkapan) orang Manggarai yang tak pernah lekang oleh zaman atau lapuk dimakan waktu, yakni lalong bakok du lakom, lalong rombeng du kolem. Artinya harus ada transformasi atau perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertutur. Jika sebelumnya kita adalah manusia-manusia yang menjijikkan, yang membuat orang lain tidak nyaman dan tidak betah ada bersama kita, maka kita perlu bahkan harus bermetamorfosis menjadi manusia-manusia yang membuat sesama nyaman, penuh keindahan, dan mampu memberi inspirasi.

Sebelum melanjutkan pendidikan, baik pendidikan menengah mau pun pendidikan tinggi, saya selalu dibekali dengan acara wuat wa’i. Beberapa kali selama di desa, saya juga mengikuti ritual wuat wa’i saudara-saudara yang lain. Hampir setiap insan dari desa saya yang ingin merantau, secara khusus untuk melanjutkan pendidikan pasti diutus dengan terlebih dahulu melaksanakan ritual adat ini. Pengalaman itulah yang membentuk kesadaran saya bahwa para nenek moyang dahulu melaksanakan acara ini karena ada maksud dan tujuan. Mereka sebetulnya ingin mengajarkan nilai hidup yang mesti dihidupi agar mampu menghidupkan setiap pribadi.

Pengalaman itulah yang membentuk kesadaran saya bahwa para nenek moyang dahulu melaksanakan acara ini karena ada maksud dan tujuan. Mereka sebetulnya ingin mengajarkan nilai hidup yang mesti dihidupi agar mampu menghidupkan setiap pribadi.

Secara pribadi, saya sungguh menginternalisasi nilai yang ada dalam acara wuat wa’i ini. Semacam ada tanggung jawab moral yang harus dipikul dan diemban. Orang tua, keluarga, kolega, dan para sahabat telah mendukung dan mendoakan saya agar suatu saat nanti bisa menjadi orang sukses yang pantas dibanggakan. Menjadi pribadi yang dapat berguna bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.

Setiap daerah memiliki tradisi dan adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Adat istiadat, tradisi, dan budaya khas yang ada tentu unik dan berbeda dengan daerah lainnya. Eksisnya sebuah tradisi tidak terlepas dari pengakuan serta penerimaan masyarakat sebagai penganutnya karena dipercaya menawarkan nilai filosofis yang berguna bagi pembentukan karakter serta jati diri yang baik.

Acara waut wa’i dalam masyarakat Manggarai memberikan nilai hidup yang begitu dalam. Setiap usaha, perjuangan, serta cita-cita, kita serahkan kepada Tuhan melalui doa-doa kita. Dengan kesadaran bahwa tanpa Tuhan, kita tak bisa melakukan apa-apa dan tidak bisa menjadi siapa-siapa.

Selain itu, dalam meniti perjuangan ini, di setiap ayunan langkah dan lorong-lorong kehidupan yang kita lalui, ada kasih Tuhan yang sungguh nyata hadir melalui orang tua, keluarga, dan sahabat yang selalu mendukung, menyemangati, dan selalu memberikan bahan bakar agar api harapan dan mimpi dalam diri kita tetap menyala. Kita yang diutus dan diberikan amanah, harapannya bisa belajar sungguh-sungguh sebagai bentuk tanggung jawab. Kesuksesan kita adalah kebanggaan mereka semua.

Jika di desa kita atau di daerah kita saat ini masih banyak problematika yang menghambat terwujudnya kehidupan bersama yang sejahtera, adil, dan makmur maka suatu hari nanti, kita semua sebagai agent of change diharapkan bisa membawa angin segar dan menciptakan perubahan ke arah yang dicita-citakan. Oleh karena itu, sekaranglah waktu yang tepat untuk menyiapkan bekal pengetahuan serta keterampilan agar kita siap memasuki arena perjuangan yang sesungguhnya dalam masyarakat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya