Suntik Mati Televisi

Abdi Negara
Suntik Mati Televisi 06/11/2020 1033 view Lainnya wikimedia.org

Siapa sih yang masih menyimak tayangan TV jaman sekarang? Saya sendiri dalam seminggu bisa dihitung jari jam menonton TV. Acara debat semi dagelan atau olahraga yang memacu adrenalin. Itu saja. Sisanya lebih banyak akses ke media sosial dan streaming layanan hiburan lain via internet.

Mungkin di belahan bumi Indonesia lain, TV masih menjadi primadona. Tak usah jauh-jauh, Asisten Rumah Tangga saya saja jadwal sinetron dan kompetisi dangdutnya masih rutin. Berarti jauh di luar sana, tayangan TV masih digandrungi segmen tersendiri.

Dibalik itu semua, baik loyalis TV maupun bukan, hampir tidak ada yang peduli bahwa ada isu yang akan berdampak pada layanan TV di negara ini. Baru saja notifikasi di gawai saya berbunyi dan menunjukkan judul berita “Mahfud MD Minta Suntik Mati TV Analog di Indonesia Dipercepat” (CNN Indonesia, 3/11/20).

Jangan salah paham dulu. Ini bukan berarti, Anda akan kehilangan tayangan favorit di TV anda. Justru ini merupakan gestur pemerintah guna memperbaiki layanan televisi di Indonesia. Wacana ini sudah lama berkembang. Sejak tahun 2009, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi sudah berniat melakukan transformasi TV analog menjadi TV digital melalui roadmap infrastruktur TV digital. Hal ini sesuai dengan perkembangan layanan TV di dunia. Dimana negara lain sudah memulai langkah nyata men-digitalisasi layanan tayangan TV yang bekennya sering disebut Analog Switch Off (ASO).

Merujuk perkembangannya, ASO di Indonesia kembang kempis saat eksekusi. Langkah nyata pemerintah terbatas sampai pada uji coba. Eksistensi payung hukum menjadi faktor utama pengganjal ASO. RUU penyiaran yang tak kunjung usai menjadi sebab krusial. Imbasnya, Indonesia diklaim menjadi bagian dari 2% negara di dunia yang belum melaksanakan migrasi ke televisi digital (Tempo.co, 28/10/16) .

Tak hanya itu, Indonesia berpotensi kehilangan peningkatan ekonomi sebesar US$ 10,5 miliar atau sekitar Rp142,9 triliun gara-gara telat move on ke TV digital.

Secercah harapan muncul di tahun ini. Dibalik semrawut pengesahannya, UU Cipta Kerja ternyata menjadi salah satu jawaban ASO. UU ini menjadi dasar hukum ASO di Indonesia. Mengacu pada pasal 60A, maka siaran TV analog akan dimatikan pada 2022 mendatang dan beralih sepenuhnya ke penyiaran digital.

Lalu apa untungnya beralih TV digital? Sederhananya, untuk Anda penikmat TV, jelas nantinya kualitas siaran TV akan meningkat dari sisi kenyamanan. Kualitas gambar TV digital lebih jernih, tajam, dan ucapkan selamat tinggal dengan “semut”. Selain itu Anda akan dimanjakan dengan pilihan saluran TV yang semakin banyak.

Sementara dari sisi Stasiun TV, keuntungan utamanya adalah dari segi pembiayaan siaran. Stasiun TV akan lebih fokus pada konten yang akan disiarkan.

Dari sisi infrastruktur penyiaran telah disediakan oleh penyelenggara multipleksing (mux operator). Hal ini tentu angin segar dalam industri konten kreatif dimana nantinya stasiun TV akan “lapar” asupan tayangan bermutu dan menarik. Masa depan bisnis yang baik tentunya untuk stasiun TV.

Sepakat bahwa migrasi TV Analog ke TV Digital ini kebijakan bermanfaat bagi stakeholders industri penyiaran. Namun menurut saya untuk mencapai manfaat yang paripurna tak cukup dengan adanya UU Cipta Kerja. Ada beberapa isu penting yang dapat mengganjal kembali eksekusi migrasi. Bukan karena saya jarang menonton TV. Tapi paling tidak saya ingin mengajak Anda untuk melek bahwa ada kondisi yang harus kita kawal agar proses migrasi ini bukan hanya sekadar gestur mubazir tanpa manfaat.

Saya yakin bahwa insan penikmat TV siap menerima siaran TV yang lebih baik. Namun apakah seluruh masyarakat siap menyediakan infrastruktur untuk mengakses siaran TV digital?

Sepengetahuan saya, butuh TV yang kompatibel guna menerima siaran TV digital. Anda harus memastikan TV anda memiliki komponen Digital Video Broadcasting Terestrial (DVB-T). Saya meyakini bahwa sebagian device TV yang dimiliki masyarakat belum memiliki komponen ini. Mertua saya saja sampai saat ini masih asyik dengan TV tabungnya. Menonton TV dengan “semut” mungkin sudah jadi kenikmatan tersendiri. Yang penting pesan dapat ditangkap.

Solusi untuk model TV yang seperti ini adalah alat yang disebut Set Top Box (STB). STB merupakan alat untuk mengkonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara analog. Intinya siaran digital dapat diterima di TV analog. Harga STB di pasaran bervariasi dari Rp150.000 s.d. Rp500.000 (Blibli.com).

Ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dulu. Berapa banyak segmen masyarakat yang masih menggunakan TV analog dan tidak memiliki fasilitas DVB-T. Lalu seberapa mampu masyarakat dapat membeli STB untuk mengakses siaran digital. Pasalnya, tidak semua lapisan masyarakat dapat membeli alat yang tergolong kebutuhan sekunder (atau bahkan tersier) seperti ini. Apalagi di masa pandemi dan menjelang resesi dimana daya beli individu sangat menurun. Rumor yang berkembang, pemerintah siap membagikan STB bagi masyarakat miskin guna mengatasi kendala ini. Mari kita tunggu bersama, yang gratis jangan sampai lepas.

Kalau rakyat ribut masalah STB, beda dengan stasiun TV. Sampai hari ini yang masih alot adalah isu monopoli frekuensi. Hal ini tidak diatur detail dalam UU Cipta Kerja. Namun juga masih belum selesai pembahasannya dalam RUU Penyiaran. Konsep penguasaan frekuensi dan infrastruktur penyiaran TV digital yang diakomodir dalam RUU Penyiaran adalah penguasaan tunggal (single mux) (detik.com, 23/01/18).

Konsep single mux menempatkan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai otoritas tunggal dari frekuensi dan infrastruktur yang akan digunakan dalam penyiaran secara digital. Pemerintah mengklaim bahwa Pendapatan Negara akan lebih besar dengan menggunakan konsep ini. Pasalnya, single mux memaksa stasiun TV swasta menyewa kanal dan infrastrukturnya kepada LPP RTRI jika ingin menyiarkan tayangannya.

Konsep ini kemudian yang menjadi diskursus di kalangan stasiun televisi. Konsep single mux dinilai satu bentuk kemunduran dalam dunia media. Single mux diinterpretasikan dapat menjadi alat bagi LPP RTRI sebagai otoritas tunggal untuk membatasi industri penyiaran. Kemerdekaan dalam berkonten bisa saja dibekap selama masih dalam bayang-bayang kekuasaan mux operator.

Selain itu tidak dapat dielakkan suatu saat akan terjadi deadlock antara stasiun tv dengan mux operator jika terjadi perbedaan “kepentingan”. Dengan konsep single mux, kepentingan penguasa berpotensi mendominasi dalam media seperti yang telah terjadi hari-hari ini.

Transformasi TV digital ini akan memicu seluruh stasiun TV mengkapling frekuensi. Kompetisi untuk mendapatkan kanal dengan skema sewa tak ayal memunculkan kepentingan bisnis. Yang bermodal akan eksis, yang nir modal akan tergelincir. Untuk stasiun TV Nasional yang sudah memiliki segmen pasar stabil tentu tak akan kesulitan memenuhi skema bisnis TV digital ini. Namun untuk stasiun TV lokal yang basisnya kedaerahan mungkin harus mengkalkulasikan peluang dan kelemahannya terlebih dahulu. Isu ini juga menjadi krusial. Jangan sampai, migrasi ke TV digital kemudian mengendurkan potensi TV lokal yang telah dibangun.

Secara business to business mungkin TV lokal kalah jauh dibanding TV nasional. Namun secara fungsi sosial dan kebudayaan mereka memiliki nilai lebih. Di ujung-ujung pulai tanah air ini, TV lokal masih jadi andalan. Maka pemerintah tetap harus berkontribusi menjaga eksistensinya. Digitalisasi TV merupakan keharusan. Namun jangan sampai praktek meliberalisasi yang berakibat memberangus keunggulan lokal.

Walaupun bukan penggemar fanatik tayangan TV, saya tetap ingin mewakili harapan publik. Hak warga negara mendapatkan informasi yang objektif, konten kreatif yang mendidik, dan hiburan adalah keniscayaan. Digitalisasi TV ini adalah momen positif untuk mewujudkan hal tersebut. Namun jangan sampai momen ini kehilangan ruhnya karena isu-isu yang belum tuntas solusinya. Apalagi untuk diboncengi agenda lain.

Digitalisasi TV harus benar-benar menjadikan lembaga penyiaran dan rakyat sebagai episentrum kebijakan. Kreativitas jangan lagi dibatasi dengan belenggu kepentingan penguasa. Informasi yang disampaikan harus independen, berimbang, bebas dari campur tangan pemodal. Potensi lokal jangan dipandang sebelah mata sehingga harus dirangkul diajak berlari bersama. Demi menyajikan tayangan TV berkualitas bagi rakyat.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya