Cerita di Balik Kuliner

Pembelajar
Cerita di Balik Kuliner 17/07/2023 428 view Budaya Detik Food

Apakah anda percaya jika suatu makanan mempunyai hubungan sejarah dengan asal usul kebudayaan suatu daerah. Tentu saja jawabannya: ya. Ada makanan yang menjadi ikon dari suatu daerah. Misalnya saja bandeng presto atau bandeng duri lunak, makanan khas pesisir Jawa. Makanan yang terkenal dari Semarang tapi sebenarnya berasal dari Juwana. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Pati. Kota kecil di pesisir Pantura. Saya paham kalau ibu kota Jateng itu ikut mempopulerkannya sebagai branding kuliner provinsi. Kalau dari Juwana saja yang memasarkan mungkin gaungnya tidak akan bisa meyebar luas. Tidak bisa menjangkau masyarakat luar kota atau bahkan luar pulau.

Sudah menjadi hukum kapitalisme bahwa pusat kota selalu menjadi pusat ekonomi. Saya kira memang benar demikian. Selain karena hal keterkenalan yang dipengaruhi oleh letak geografis dan administratif pemerintahan, orang juga akan lebih tertarik mengunjungi kota daripada desa. Setidaknya itulah kecenderungan mainstream-nya. Oleh sebab itu terjadilah yang namanya sentralisasi ekonomi.

Kota memang selalu lebih menarik daripada desa untuk urusan ini (sentra ekonomi dan perdagangan). Padahal yang sebenarnya dikehendaki adalah adanya pemerataan ekonomi baik di kota maupun di desa. Di desa seharusnya juga dibangun sebuah unit lapangan pekerjaan yang bisa menyerap tenaga kerja. Tidak cukup hanya satu dua, tapi harus menyebar ke setiap RT/RW. Jangan hanya mengandalkan mata pencaharian dari bertani. Meskipun juga dengan gagasan ini tidak harus desa bercita-cita untuk “mengkota” tapi dalam hal ekonomi, warganya juga tidak bisa hanya mengandalkan prinsip “nrimo ing pandum”. Kita harus berusaha mengusahakan hidup yang lebih baik.

Bicara bandeng presto adalah bicara tentang filosofi hidup. Bahwa jika kita membenci manusia jangan membenci orangnya tapi sifatnya. Duri dalam daging ikan adalah sesuatu hal yang tidak disukai, tapi cara memperlakukannya bukan dengan membelek perut ikan lalu mengeluarkan durinya, tidak, ini cara yang terlalu kejam. Tapi dengan proses yang lebih halus dan mendalam. Bandeng presto dimasak dengan suku dan tekanan yang tinggi untuk membuatnya durinya lunak. Serupa itu juga jika kita menghadapi manusia dengan sikap buruknya, jangan langsung bersifat agresif tapi dekatilah, perlakukanlah dengan cara-cara yang lembut. Kalau satu dua kali tidak berhasil kerjakan terus menerus maka dengan itu hatinya akan luluh dan akhirnya mau menerima kita.

Bandeng Presto biasanya disajikan bebarengan dengan sambal lombok merah halus yang khas. Rasa sambalnya dapat mengimbangi gurihnya dan lembutnya tekstur bandeng. Pedasnya pas. Saya sarankan bagi para pecinta ikan harus coba makanan yang satu ini terutama kalau lagi berkunjung ke Semarang atau khusunya di daerah Juwana.

Selain bandeng presto di sepanjang pantura terkenal juga sayur mangut. Makanan ini adalah sayur pedas bersantan, isinya kepala ikan manyung atau ikan pari yang sebelumnya telah diasap. Kalau saya lebih suka yang kepala manyung. Kalau ada stigma bahwa makanan Jawa itu manis, sebaiknya harus coba dulu makanan yang satu ini. Saya jamin setelah mencobanya makan ia akan mengganti stigma itu.

Seperti halnya bandeng presto yang terkenal dari Juwana, rendang juga punya ingatan yang kuat untuk langsung mengaitkannya dengan Padang. Beberapa kali saya berkesempatan ke Padang dan alhamdulillahnya selalu ditraktir. Saya bertemu dengan orang-orang yang baik hati. Saya diajak mencoba berbagai macam warung makan Padang dan yang istimewa semuanya punya cita rasa berbeda yang khas. Enak semuanya. Ambil contoh misalnya telur dadar. Kalau yang biasanya beli, misalnya di warteg atau buat sendiri makan satu telur dadar kalau saya akan terasa eneg. Tapi anehnya telur dadar yang saya makan di Padang waktu itu dengan porsi besar dan utuh, bisa termakan semua tanpa membuat eneg.

Selain itu tentu saja yang jadi pelengkapnya adalah sambal hijau campur teri yang gurih. Menambah makan menjadi gurih dan lahap. Tak ketinggalan tentu saja primadonya: rendang, yang menjadi makanan paling enak sedunia. Menurut saya, rasa dan tekstur rendangnya berbeda dengan rumah makan Padang yang biasa saya makan di Jakarta. Di sini rasa rendangnya lebih khas. Saya jadi berpikir apa yang membedakannya? Apa dari bumbu atau dari cara masaknya?

Selain 3 (tiga) kuliner di atas, ada lagi lontong balap, kuliner khas Surabaya. Saya penasaran kenapa namanya lontong balap. Akhirnya saya bertanya pada penjualnya. Konon dulu pagi-pagi benar, para penjualnya sudah menjajakan makanan tersebut. Dulu cara menjajakannya adalah dengan dipikul. Nah, masing-masing penjual saling berlomba mendahului jalan. Sampai akhirnya dinamailah dengan nama lontong balap. Cerita yang indah tentang bagaimana perjuangan mencari nafkah, bukan hanya dengan semangat tapi juga dengan kegembiraan. Agaknya etos kerja yang seperti ini harus kita contoh dan terapkan di era sekarang ini.

Tentu dengan menyebut beberapa makanan di atas bukan berarti mendiskreditkan makanan-makanan lainnya. Saya mengambil contoh makanan-makanan tersebut adalah karena saya secara langsung pernah mencoba dan berbaur dengan warganya. Di luar sana pasti juga ada kuliner-kuliner khas dari luar daerah di Indonesia beserta cerita-cerita hangat yang menyertainya.

Mari Bersama-sama kita melestarikan dan mewartakan kuliner khas daerah masing-masing.

Begitulah kiranya derap langkap kehidupan masyarakat yang dengan kultur budayanya berhasil menciptakan jenis kuliner yang banyak digemari orang.

Semoga saja dengan kekayaan budaya yang ada bisa menghasilkan kawin silang, syukur-syukur juga dalam makanan, misalnya. Semoga saja.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya