Tiga Orang Asing Di Warung Laundry
Di musim panas, di sebuah warung laundry self-service, bertemulah saya dengan dua orang lainnya. Yang satu kelahiran Vietnam, sekolah dan lulus dari Taiwan, beristrikan Taiwan. Tapi sejak puluhan tahun lalu sudah berkewarganegaraan US.
Namanya Peter, hampir 70 tahun. Humble dan charmy. "Mumpung masih muda, banyak-banyaklah bepergian. Lihat negara lain". Nasehatnya kepada saya. Menutup kisah petualangannya di berbagai negara Eropa dan Asia.
"Engkau beruntung sekali punya Presiden Trump. Nilai dolar melejit. Mudah pergi ke manapun", balas saya. Tersenyum sambil menaikkan bahu. Terlihat senang ia punya hati mendengar kalimat itu.
Lalu seorang lain, ah saya lupa namanya. Asli US, 50 tahunan. Lahir, besar, dan bekerja di California. Jadi kita panggil saja ia si California.
Ia sedang mengunjungi pacar. Selebihnya saya tak tahu. Lebih tepatnya tak sempat mencari tahu.
Bagaimana ganasnya summer Taiwan sudah diketahui banyak orang. Udara panas dan lembab bisa membuat mati orang-orang yang cuma termangu diam menunggu mesin laundry bekerja. Tiga puluh menit yang mematikan.
Barangkali karena itu pula sebuah percakapan singkat tapi menarik terjadi. Percakapan diantara tiga orang asing.
Si California bertanya, "kamu belajar apa?" Sambil menoleh ke pojok ruangan.
Saya memilih untuk menceritakan fokus mayor saya, politik internet. "Yaitu bagaimana kekuasaan berpindah lewat informasi maya".
"Bisakah engkau usir presidenku?", timpalnya sambil memasukkan pakaian kotor ke tabung mesin cuci.
Saya tak begitu mengerti maksud ucapan itu. Barangkali karena saya kehilangan konteks. Tak tahu banyak latar belakang dan sejarah pria tinggi bermata biru ini. Sehingga tak paham apa maksud di balik kalimat itu.
Sedangkan si Peter hanya mendengar. Sambil mengambil baju yang sudah kering dari mesin laundry. Sebuah kaos dalaman putih lalu dipilih. Sekaligus dipakai. Karena sejak tadi ia hanya bertelanjang dada.
"Maksud ku, bisa gak engkau suruh Trump pergi dari negaraku?" Si California coba meyakinkan saya bahwa ia tak salah ucap dan saya tak keliru dengar.
Saya terkekeh. Mencoba menunjukkan simpati. Karena saya tahu bagaimana perasaan orang-orang yang baru sadar telah salah pilih presiden beberapa saat ketika pilpres usai.
Kami pernah mendiskusikan ini di kelas, akhir 2016 lalu. Intinya rakyat US dapat "zonk", tertipu akrobat Trump.
Dan rakyat sakit hati karena tertipu kampanye bukan hanya di US saja. Akhir tahun lalu seorang mahasiswi filsafat Sorbonne asal portugal menceritakan hal yang sama. Ia berbisik lirih, "orang-orang Prancis tak suka Macron. Karena apa yang dibilangnya saat pemilu, beda dengan setelah pemilu".
Ini cerita lama. Mudah untuk dipahami. Apalagi bagi saya mahasiswa doktoral politik, banyak membaca dan diskusi, serta tentunya kenal pula banyak aktivis tua berpengalaman. Apa yang dikampanyekan ternyata berbeda dengan yang diperbuat setelah menang itu hal biasa. Tak ada yang baru.
Tapi saya kira ia tidak seserius itu. Maksud saya, ayolah.. Semua orang akan pura-pura bangga dengan presidennya. Mana ada yang terus terang menceritakan dapur negaranya.
Tapi ia merangsek maju dan bilang. Dirinya kulit putih dan merasa terancam dengan migran. Tapi apa-apa yang dilakukan Trump sungguh kelewat rasis. Membangun tembok pemisah dengan Meksiko, memisahkan anak dan orang tuanya.
Saat mendengar itu saya tahu ia serius. Jadi saya otomatis bermain aman. Seperti yang biasa dilakukan sebagian besar orang Indonesia ketika bertemu masalah, lebih memilih diam. Pura-pura tak tahu menahu situasi di sekitar.
Mengapa saya musti ambil posisi demikian? Saya merasa si Peter tak akan setuju. Ia tadi tersenyum ketika disentuh soal dolar naik berkat Trump. Saya simpulkan ia menyukai Trump.
Dan ketika mendengar ada yang mengoceh tentang presidennya, ia pasti terusik. Menghina presiden sama dengan menghina dirinya. Tak perlu dikomando, langsung maju menerjang.
Jadi menurut saya kedua pria tua ini akan bertengkar. Ya. Bertengkar di tengah hari yang panas dan lembab, di warung laundry.
"Hey bung!" Sergah Peter.
Ah, sudah. Bertinju sudah. Lalu saya diangkut polisi Taiwan. Dituduh sebagai provokator. Dan ujung-ujungnya di sel.
"Aku dulu pemilih Trump. Tapi sekarang saya sangat menyesal sekali!" Ucap Peter sambil mendekat, lalu menjinjit agar mulutnya setara dengan muka si California. Semacam ledakan emosi yang lama tertahan.
Betul. Di luar dugaan. Ternyata Peter tak suka Trump.
Dalam hati saya berkata. Tak ada yang lebih malang dari kedua orang ini.
Namun sebagai mahasiswa doktoral, saya berpura-pura kritis. Supaya mereka yakin kalau saya benar-benar mahasiswa politik. Banyak omong, entah betul entah ngawur, biasanya kelihatan pintar dan dipercaya orang dari pada yang diam.
"Kenapa kalian tak suka presiden kalian, bukankah harga dolar meningkat dan kalian menikmati itu? " tanya saya.
"Dan...".
Nah yang ini saya kait-kaitkan dengan latar belakang studi saya, politik internet. Supaya mereka benar-benar yakin kalau saya paham politik internet. "Apakah betul ada banyak hoks?"
Si California ambil alih pembicaraan. "Engkau tahu. Ekonomi US di era Trump memang menguat. Tapi itu hasil kerja keras Barack Obama. Trump cuma mengklaim".
"Betul. Setuju!" Sahut Peter tegas.
Saya jadi ingat. Pola demikian memang sering terjadi. Kalau di Indonesia situasinya terbalik. Prestasi buruk dibuat oleh pemerintah sebelum-sebelum, dan sebelum serta sebelumnya. Lalu pemerintahan sekarang yang dapat ampasnya.
Pemerintahan sebelum-sebelumnya itu buat hutang, ceritanya. Lalu menumpuk di periode yang sekarang. Tapi orang-orang menuduh pemerintah sekaranglah yang tukang hutang. Absurd, bukan?
"Dan tahu, gak. Trump itu sudah berbohong sebanyak ribuan kali..". Ia menyebut angka, tapi saya lupa persisnya. Maklum, udara panas dan lembab menurunkan daya konsentrasi. Belum lagi semilir angin membawa bau busuk pipis dan kotoran anjing toko kelontong sebelah.
"Dan kalau dihitung, rata-rata ia berbohong sebanyak 12 kali perhari".
Saya tak bisa membayangkan bagaimana rakyat yang rasional, pemuja pengetahuan dan kritis, bisa-bisanya dibohongi sebanyak itu. Saya gak percaya.
Orang Indonesia saja yang katanya masih banyak yang irasional, pemakan identitas agama dan kesukuan, tak sebodoh itu.
Dibohongi dua belas kali perhari itu amat vulgar. Pasti ketahuan oleh kita-kita. Kecuali kalau sekali-sekali saja.
Kemudian saya tanya, "kalau besok pemilu, bagaimana peluang Trump? Pasti peluangnya kecil untuk menang".
Mereka saling tatap dan mencibir. "Berita buruk. Ia punya peluang besar untuk menang", kata si California.
Ah, saya tak bisa menahan tawa. Bagaimana mungkin presiden yang sudah sedemikian tak disukai bisa punya peluang menang.
Saya lalu bergumam. "Mulut mu cuma bisa ngoceh di warung laundry. Itupun kepada orang asing, jauh pula dari negeri mu. Keree..". Tentu saja kalimat ini diucapkan dalam hati.
Kemudian saya berpikir. Sepertinya rakyat US sedang tak sungguh-sungguh marah terhedap Trump. Sekedar marah yang nganu.. Kata seorang teman, cuma sekedar "marah-marah manja". Marah yang cuma minta perhatian.
Dan seperti kebanyakan masyarakat Indonesia punya kebiasaan, saya bersimpati terhadap nasib kedua orang ini. Rakyat US. Mereka akan terus merana di bawah kepemimpinan Trump.
Di atas sepeda motor penuh laundryan. Terbersit sesuatu di kepala. Ya tuhan, alangkah beruntungnya saya lahir dan tinggal di Indonesia.
Artikel Lainnya
-
90029/03/2021
-
17221/06/2024
-
154104/12/2021
-
Habib Rizieq Telah Pulang, Lalu Apa?
131710/11/2020 -
Siklus Tiga Kata dalam Konflik Hina Nabi
113401/11/2020 -
Fatwa Yusuf al-Qordhawi tentang Jabat Tangan dengan Lawan Jenis
86524/06/2023