Garis Pembatas Ideal Antara TNI dan Polri dalam Penindakan

Garis Pembatas Ideal Antara TNI dan Polri dalam Penindakan 07/02/2023 631 view Lainnya forbes.id

Seringkali kali kita bingung untuk membedakan tugas dan tanggung jawab TNI dan Polri dalam menjaga keamanan. Meskipun pada hakikatnya pelanggaran terhadap keamanan merupakan bentuk pelanggaran hukum. Namun jika kita mencoba untuk melihat lebih dalam lagi kita dapat membagi keamanan menjadi dua dimensi yaitu keamanan terhadap negara (nation security) dan keamanan sipil (civil security).

Kedua dimensi tersebut di atas memiliki domainnya masing-masing, jika keamanan negara lebih berfokus pada keselamatan keberlangsungan berbangsa dan bernegara yang sejatinya berkaitan dengan domain pertahanan. Sedangkan keamanan sipil lebih menitikberatkan kepada keselamatan masyarakat baik itu keselamatan jiwa maupun yang bersifat kepemilikan dengan tujuan terciptanya interaksi masyarakat yang tertib dan madani.

Jika kita mengacu kepada UUD NRI 1945 Bab XII berjudul "Pertahanan dan Keamanan Negara". Dalam bab itu, Pasal 30 Ayat (1) menyebut tentang hak dan kewajiban tiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Ayat (2) menyebut "Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung".

Ayat (3) menyebut tugas TNI sebagai "Mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara". Ayat (4) menyebut tugas Polri sebagai "Melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum". Ayat (5) menggariskan, susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan TNI dan Polri dalam menjalankan tugas, serta hal-hal lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, diatur dengan undang-undang (UU).

Namun menariknya di era reformasi dan dengan telah dipisahkannya institusi Polri dari TNI melalui UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) seolah mempersempit domain ranah pertahanan terkesan sebatas tentang ancaman eksternal terhadap eksistensi keberlangsungan negara, sehingga mengesampingkan segala bentuk peran TNI dalam menindak ancaman keamanan dari dalam negeri yang dapat mengganggu eksistensi keberlangsungan negara.

Penulis menilai, semua ini terjadi dikarenakan peran Polri yang tercantum dalam Undang-undang Polri dirasa terlalu luas yang tidak hanya menyangkut keamanan dan ketertiban masyarakat namun meluas kedalam keamanan dalam negeri.

Hal itu tercantum dalam pasal 1 butir ke 6 dan Pasal 4 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Dimasukannya keamanan dalam negeri tentunya memunculkan ekses yang cukup luas yang dalam praktiknya bukan sebagai pembatas jelas atas tugas dan fungsi antara TNI dan Polri namun justru mengkaburkan batasan antara kedua institusi tersebut dalam menjalankan perannya.

Jika kita tetap berpedoman kepada UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri maka penindakan terhadap terorisme dan separatisme maupun segala bentuk kejahatan terhadap negara menjadi kurang maksimal. Hal itu mengingat bahwa kejahatan yang berkaitan dengan keamanan negara notabene merupakan ancaman terhadap pertahanan negara yang muncul dari dalam negeri sehingga diperlukan penanganan dengan treatmen khusus oleh TNI sebagai operator yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pertahanan negara kepada presiden selaku panglima tertinggi.

Tentu kita masih ingat yang terjadi di negara Mexico, bagaimana peran aktif militer dalam memberantas kartel narkoba. Mengapa hal itu bisa terjadi?. Di negara Mexico peredaran narkoba sudah dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap negara meskipun ancaman tersebut berasal dari dalam negeri sehingga menjadi domain militer untuk melakukan penindakan.

Menariknya di Indonesia saat ini, adanya praktik-praktik yang dilakukan oleh kelompok tertentu berlandaskan ideologi dan keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun kelompok ekstrimis beraliran agama tertentu masih dianggap sebatas ancaman atas gangguan ketertiban masyarakat. Hal itu dirasa penulis karena peran kepolisian jauh lebih dikedepanan dibanding peran TNI sebagai operator domain pertahanan yang seharusnya berada di garda terdepan dalam menjaga keamanan negara.

Atas dasar itulah penulis mengambil kesimpulan bahwa perlu diadakannya perubahan aturan perundang-undangan dengan memberi batasan yang jelas tidak sebatas antara pertahanan dan keamanan saja namun memasukkan keamanan dalam negeri merupakan hal yang sama dengan keamanan negara menjadi domain pertahanan. Dan memfokuskan kepolisian kepada domain penegakan hukum atas keamanan dan ketertiban masyarakat sipil, sehingga dengan demikian diharapkan ke depannya terdapat garis pembatas yang jelas domain keamanan dalam negeri yang merupakan keamanan negara (pertahanan) dan keamanan masyarakat sipil.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya