Relasi Seniman dan Politisi, antara Sejarah dan Realitas Kontemporer

Alumni Filsafat UGM. Dosen Di bbg Universitas Di Yogyakarta
Relasi Seniman dan Politisi, antara Sejarah dan Realitas Kontemporer 21/08/2022 1553 view Budaya bellacaledonia.org.uk

Sebenarnya, kalau mau melihat dari awal Republik Indonesia berdiri, bahkan sebelum proses pendiriannya, para seniman dan aktivis politik, sudah bahu-membahu berjuang untuk kepentingan mayoritas rakyat. Kita lihat saja para seniman, seperti sastrawan Chairil Anwar, yang bahkan menuliskan nama para aktivis politik, yang kemudian menjadi pemimpin Indonesia, dalam puisinya yang berjudul “Krawang – Bekasi”. “Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir”, itulah kutipan tiga baris puisi tersebut (Tiga baris puisi tersebut dikutip dari artikel yang ditulis Serafica Gischa, “Makna Puisi Karawang – Bekasi, karya Chairil Anwar, dalam situs https://www.kompas.com/, diakses 25 Juli 2022).

Dari tiga baris puisi tersebut terlihat jelas bahwa terdapat suatu ikatan yang bersifat kolaboratif antara para aktivis politik pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, dengan seniman. Begitu juga lukisan karya Affandi yang berjudul “Boeng Ajo Boeng”, yang kalau dilihat dari latar belakang pembuatannya adalah atas arahan Bung Karno kepada salah seorang legenda Lukis Indonesia, Sudjojono, supaya membuat gambar-gambar yang menumbuhkan semangat juang rakyat. Ia kemudian menyampaikan arahan itu kepada Affandi (Dikutip dari tulisan Dicky Hanafi, dalam volkpop.co, “Kisah di Balik Poster Propaganda 'Boeng, Ajo Boeng' Garapan Seniman Perjuangan Indonesia”, diakses 25 Juli 2022).

Pada era Demokrasi Terpimpin, para seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), juga bahu-membahu dengan para aktivis politik dan pemerintah pada masa itu, untuk melawan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Informasi tentang hal ini, bisa dilihat dalam artikel karya Verelladevanka Adryamarthanino, yang berjudul, “Lekra: Latar Belakang, Tokoh, dan Perkembangannya”. Referensi utama dari artikel itu adalah buku karangan sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berjudul “Realisme – Sosialis dan Sastra Indonesia”. Pramoedya juga merupakan salah seorang anggota Lekra, yang sempat menjalani hukuman eksil ke Pulau Buru, karena dianggap terlibat G30S/1965, yang memberikan hukuman buang/eksil adalah Rezim Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto.

Seniman yang anti pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin, biasanya tergabung dalam Gerakan Manifes Kebudayaan (Manikebu), yang mengusung humanisme universal, dengan jargon “Seni untuk Seni”, sementara Lekra mengusung realisme sosialis, dengan slogan “Seni untuk Rakyat”. Pasca G30S/1965, kelompok Manikebu inilah yang bergandengan tangan dengan Rezim Orde Baru, untuk menghajar para seniman kerakyatan pro-Soekarno, yang cukup dominan di era Demokrasi Terpimpin, pimpinan Bung Karno (Soekarno). Buku karangan Wijaya Herlambang, “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, memperlihatkan secara gamblang bagaimana kekerasan budaya yang dilakukan oleh para seniman kelompok Manikebu ini terhadap seniman-seniman Lekra dan karya-karya mereka (Dikutip dari tulisan Irfan Teguh, “Satyagraha Hoerip Mengganyang Lekra lewat Sastra Manikebu”, dalam https://tirto.id/, diakses 25 Juli 2022).

Karya-karya para seniman Manikebu inilah yang mendominasi alam pikiran masyarakat Indonesia di bawah Rezim Orde Baru. Puisi-puisi karya Taufik Ismail, yang juga merupakan salah seorang sastrawan kelompok Manikebu, menghiasi buku-buku pelajaran sekolah pada masa itu. Hal yang berkebalikan dengan karya-karya para seniman Lekra, yang dilarang dan dimusnahkan oleh pemerintah Orde Baru (Oscar Ferri, “Sastra di Masa Paling Kelam Sejarah Indonesia”, dalam liputan6.com, diakses 25 Juli 2022). Uniknya, pada masa Orde Baru, salah seorang seniman Manikebu, yaitu WS Rendra merupakan seniman yang cukup kritis terhadap berbagai kebijakan Rezim Orde Baru. Ia Bersama seniman-seniman lain, seperti Iwan Fals, sering berkolaborasi menyuarakan kritik terhadap Rezim Orde Baru (terkait bukti bahwa Rendra tergabung dalam kelompok Manikebu, bisa dilihat dalam situs berikut, https://radiobuku.com/2009/08/ws-rendra-manikebuist-djokjakarta/.

Pada era Reformasi, penguasa dan aktivis politik juga menggandeng para seniman dalam kampanye politik mereka, hal ini terlihat jelas pada kampanye Pak Joko Widodo, yang saat itu sedang mencalonkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia, untuk kontestasi Pemilihan Presiden 2014. Pada saat itu, salah seorang personil grup musik Slank, yaitu Abdee Negara, menjadi motor penggerak keterlibatan para musisi, dalam kampanye pencapresan Joko Widodo (Jokowi). Terlepas di kemudian hari, yang bersangkutan diangkat jadi komisaris salah satu BUMN, keberpihakan politik Abdee Negara, yang berupa dukungan terhadap salah satu calon presiden, pada dasarnya adalah sah-sah saja. Bahkan patut diapresiasi, karena berani secara terang-terangan memberikan dukungan politik.

Kalau dibandingkan dengan kemunafikan para seniman Manikebuis, yang bicara humanisme universal, dan seni untuk seni, sementara, di sekeliling mereka terjadi pembantaian massal terrhadap jutaan kader dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia), beserta kaum nasionalis pendukung Bung Karno, oleh kaki tangan penguasa yang mereka dukung, maka bagi saya sikap Abdee dan para musisi pendukung Jokowi lainnya, jauh lebih terhormat. Walaupun mungkin, esensi seni, yang kalau kata Albert Camus, adalah pemberontakan, belumlah dihayati dan dijalankan oleh para seniman pendukung Jokowi tersebut. Atau mungkin, bagi mereka, mendukung Jokowi, adalah salah satu bentuk pemberontakan juga? Entahlah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya