Catatan Redaksi: Reaksi Normal Atas Situasi Abnormal

Setiap pekan, di hari Jumat, The Columnist menyajikan tulisan dari meja redaksi dengan mengangkat isu publik yang tengah berkembang dan patut diperbincangkan.
Kali ini catatan redaksi ditulis oleh Bung Fajar Ruddin mengangkat isu mengenai manajemen stress ditengah wabah Covid-19. Disampaikan secara ringan, namun membawa pesan penting khususnya bagi para milenial.
Selamat membaca!
Berita buruk Covid-19 masih saja mendominasi media kita. Sejak dimulai Desember tahun lalu, serial Covid-19 masih belum jelas di mana ujungnya. Bahkan Cina yang kemarin sudah mulai merangkak dari keterpurukan, kini mesti bersiaga lagi dengan ditemukannya ribuan kasus baru tanpa gejala (Merdeka.com, 02/04).
Hal ini membuat sebagian besar orang menjadi cemas. Bahkan mereka yang mulanya menganggap remeh sekalipun sekarang dihantui ketakutan. Presiden Amerika Serikat Donald Trump misalnya, mulanya sesumbar bahwa Covid-19 tak ubahnya flu musiman yang biasa mewabah di AS. Kini dia harus menjilat ludahnya sendiri karena mengatakan virus corona lebih ganas dari flu (Detik.com, 01/04).
Kecemasan dan kekhawatiran yang demikian sebenarnya wajar mengingat hari-hari ini kita dikepung oleh stressor yang datang dari banyak penjuru. Berbagai stressor itu antara lain, yang pertama dari virus itu sendiri. Dengan jumlah korban terinfeksi mencapai 1,5 juta orang dan korban meninggal hampir 90 ribu orang di seluruh dunia (sampai tanggal 09/04), sangat manusiawi jika kemudian kita cemas terinfeksi virus ini.
Biar bagaimanapun, manusia adalah makhluk yang dibekali naluri bertahan hidup. Sudah menjadi fitrahnya jika kita mencemaskan hal-hal yang mengancam hidup kita. Bahkan orang yang sudah berniat bunuh diri sekalipun akan ada keraguan yang hebat dalam dirinya untuk mengeksekusi rencana-rencana yang ada di kepalanya.
Stressor yang kedua datang dari kondisi ekonomi. Tak diragukan lagi bahwa bencana Covid-19 telah meluluhlantakkan perekonomian dunia. Jutaan orang kehilangan mata pencahariannya akibat corona. Di Indonesia saja jumlah karyawan yang di-PHK dan dirumahkan mencapai lebih dari 1,2 juta orang. Gelombang tersebut diperkirakan akan mencapai puncaknya pada bulan Juni (BBC.com, 09/04).
Belum lagi pekerja yang mencari nafkah pada sektor informal. Pembatasan fisik dan sosial memaksa mereka menghentikan sementara aktivitas-aktivitas tersebut. Padahal di satu sisi mereka harus tetap menjaga dapur mereka tetap ngebul. Maka tidak heran jika belakangan ini arus mudik ke daerah-daerah semakin tinggi demi menekan stres akibat pemasukan yang terus berkurang atau bahkan hilang.
Selanjutnya stressor ketiga muncul akibat ketidakpastian. Hingga kini belum ada satu ahli pun yang dapat memberi kepastian kapan saga corona ini akan berakhir. Alih-alih memastikan, pendapat para ahli justru berbeda-beda yang membuat ketidakpastian itu semakin menemui titik absolutnya.
Joshua Epstein misalnya, profesor epidemiologi New York University ini memprediksi kasus corona akan menurun ketika cuaca menghangat dan akan Kembali menjangkit ketika musim gugur dan dingin datang (Livescience.com, 27/02). Kemudian ada Rishi Desai dari Center for Disease Control (CDC) yang memperkirakan corona baru akan berakhir tahun 2021 (Womenshealthmag.com, 30/03).
Dalam konteks Indonesia, jajaran peneliti ITB mengestimasi selesainya corona di tanah air terjadi akhir Mei atau awal Juni. Prediksi ini berubah dari prediksi sebelumnya yang mengatakan bahwa corona akan berakhir pada pertengahan April. Hal itu disebabkan angka kasus Covid-19 yang terus bertambah dan berefek pada perhitungan parameter model yang digunakan (Cnnindonesia.com, 27/03).
Banyaknya stressor yang dihadapi manusia dalam satu waktu tak pelak membuat kita menjadi cemas dan khawatir. Untungnya, para ahli jiwa mengabarkan kepada kita bahwa perasaan tersebut wajar adanya. Dalam situasi krisis seperti bencana alam, perang, termasuk juga pandemi corona ini, ada yang disebut dengan reaksi normal terhadap situasi abnormal.
Kecemasan yang kita rasakan di tengah pandemi corona ini tidak lain adalah reaksi psikologis sebagai mekanisme pertahanan diri kita. Dalam situasi abnormal, sistem limbik sebagai pusat kendali emosi manusia akan bekerja lebih cepat, membajak pikiran rasional yang biasanya muncul sebagai buah kerja otak depan (frontal lobe).
Selagi kecemasan itu tidak menguasai diri, hal itu merupakan kewajaran. Akan tetapi, rasa cemas menjadi tidak wajar ketika kita tidak bisa melakukan apa-apa karenanya, bahkan untuk hal-hal yang rutin kita lakukan. Dalam kondisi ini, badan dan pikiran sepenuhnya di bawah kendali kecemasan.
Ini buruk. Di samping kekurangan suplai pikiran rasional, cemas berlebih juga dapat berakibat negatif bagi sistem imun manusia. Karena saat seseorang mengalami stres yang tidak terkelola, akan ada perubahan fisiologis pada tubuhnya, terutama yang berkaitan dengan kadar hormon.
Hormon dopamin dan serotonin yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan akan menurun produksinya saat orang merasakan cemas yang berlebihan. Di sisi lain, hormon adrenalin dan kortisol yang sering disebut sebagai hormon stres justru meningkat. Ketidakseimbangan tersebut pada akhirnya mengganggu sistem imun sehingga kita lebih rentan terhadap penyakit.
Oleh karena itu, di tengah pandemi corona ini, sudah selayaknya kita mengelola stres agar tidak berakibat buruk bagi kesehatan kita. Kita bisa memulainya dengan mulai membatasi diri dari berita negatif yang marak belakangan ini, menciptakan suasana hati yang positif, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Artikel Lainnya
-
164823/02/2020
-
243105/07/2021
-
66409/12/2023
-
Paradoks Kehidupan Beragama Kita : Data Versus Realita
259308/08/2020 -
Optimisme Melawan Kekerasan di Sekolah
37423/10/2023 -
Ketika Bansos Hadir di Tengah Masyarakat
107229/05/2020