Paradoks Kehidupan Beragama Kita : Data Versus Realita

Mahasiswa STFD, Jakarta
Paradoks Kehidupan Beragama Kita : Data Versus Realita 08/08/2020 2157 view Agama Piqsels.com

Dari dahulu hingga kini agama selalu merupakan terminologi paradoksal. Salah satu tantangan penghayatan dalam praktik hidup beragama adalah diperhadapkan dengan sikap kontraproduktif manusia beragama yang jauh dari sikap moral sebagaimana yang diharapkan atau berkelakuan amoral yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan besar akan posisi dan kekuatan agama itu sendiri.

Agama lalu menjadi suatu istilah yang ambigu karena memiliki tesis dan antitesis yang melekat erat (inheren) padanya. Tesisnya adalah bahwa agama merupakan kekuatan positif yang selalu mengikhtiarkan kebaikan, keselamatan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan situasi damai dalam realitas masyarakat manusia yang dalam pada itu kesemuanya mengarah secara konkrit dalam praktik hidup bermoral.

Di sisi lain agama juga tampil sebagai kekuatan negativistik sebagai antitesis dari agama itu sendiri. Masalah yang muncul dalam kiprah agama sepanjang hidup manusia, bukan terletak pada tesisnya, melainkan pada sisi antitesisnya.

Dalam pada itu tesis dan antitesis selalu menyertai dinamika agama dalam realitas masyarakat, maka dibutuhkan jalan ketiga sebagai tools yang mengharmoniskan, menyelaraskan, dan mendamaikan kontradiksi ini yaitu penghayatan agama yang positivistik sehingga agama sungguh menjadi kekuatan yang membebaskan manusia dari berbagai fenomena negatif yang mempolusikan ranah agama.

Agama beserta segala dimensi yang dibawanya akan tetap selalu memiliki peran penting dalam pembentukan tata nilai kehidupan publik. Sekalipun kritik terhadap agama sudah terlalu sering kita dengar, namun tetap saja tak dapat menandingi dimensi konsekuensional dan eksprensial agama yang memiliki peran paling utama dalam politik peradaban bangsa.

Tulisan ini adalah sekadar refleksi penulis secara umum dalam menyoroti laku agama dalam kiprahnya di Indonesia tanpa mengobjektifikasi dan menjustifikasi salah satu agama pun di dalamnya.

Keberagaman eksistensi agama-agama di Indonesia adalah fakta tak terelakkan, sebab sejatinya Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki latar belakang berbagai macam suku, budaya, bahasa, ras, dan khususnya agama.

Sebagai salah satu masyarakat multikulturalis, secara khusus dalam pergulatan hidup beragama, Indonesia bertolak dari semboyan yang dimilikinya yakni “Bhineka Tunggal Ika” yang mengandung arti “berbeda-beda tapi tetap satu”.

Realitas agama plural di Indonesia adalah cerminan dari implementasi dari pancasila dan UUD 45 yang sesuai dengan sila ke-1 Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”. Artinya setiap warga negara Indonesia bebas memilih agama yang ingin mereka peluk tanpa ada paksaan dari siapapun.

Seperti yang diketahui di Indonesia terdapat enam agama yakni, Islam Kristen, Hindu, Budha, Katolik dan Kong Hu Cu. Adanya keberagaman agama di Indonesia ini menandakan bahwa eksistensi setiap agama telah mendapat sebuah rekognisi (pengakuan) oleh negara Indonesia sendiri.

Sebagai negara yang berasaskan Ketuhanan dengan bertolak dari fakta keberagaman di atas, maka tidak dapat dielakkan untuk mengatakan secara spontan bahwa masyarakat Indonesia sangat religius. Kesan yang sejatinya tampak misalnya bahwa masyarakatnya pasti sangat bermoral, harmonis atau pun predikat lain yang melekat padanya sebagai cerminan tesis yang dikemukakan di atas.

Sampai titik ini dapat diamini data menurut survei Pew Research Center, “The Global God Divide” (Juli, 2020), Indonesia (bersama Filipina) menduduki posisi teratas sebagai negara paling religius di dunia. Dengan kata lain, hampir keseluruhan penduduk Indonesia meyakini bahwa seseorang mesti beriman kepada Tuhan untuk menjadi bermoral.

Di satu sisi hal itu dapat diketengahkan untuk mengapresiasi masyarakat yang berada dalam tataran yang demikian. Di sisi lain menimbulkan pertanyaan apakah hal itu telah mencakup keseluruhan fakta kehidupan beragama di Indonesia.

Realitas kehidupan beragama yang sedemikian indah didengar dan diucapkan dalam kategori tesis yang dikemukakan di awal bertolak belakang dengan, dan bahkan lebih berat sebelah ketika fakta membuktikan bahwa sejarah pergulatan agama di Indonesia masih jauh dari keadaban bangsa.

Rentetan peristiwa destruktif atau praktik disharmonisasi antar umat beragama yang terjadi dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, menunjukkan suatu realitas yang sangat paradoxal dan berat sebelah dengan fakta atas survei oleh Pew Research Center, “The Global God Divide”.

Praktik-praktik disharmonisasi itu seperti; konflik Poso (Islam vs Nasrani), konflik Ambon (Islam vs Nasrani), konflik Talikora (Islam vs Nasrani), konflik Aceh (Islam vs Kristen), konflik di Lampung Selatan (Budha vs Islam), konflik Situbondo (Islam vs Kristen), dan masih banyak lain lagi praktik disharmonisasi lainnya, memperlihatkan dengan dengan jelas bahwa relasi setiap umat beragama di Indonesia masih jauh dari harapan bangsa.

Pada tingkat lain termanifestasi secara konkrit dalam tindakan amoral di berbagai level, baik di pemerintahan, masyarakat dan individu. Tingginya angka korupsi, pejabat tak berintegritas, kesenjangan ekonomi yang terus menganga, ancaman kriminalitas, hingga kerusakan lingkungan. Inilah antitesis kehidupan beragama di Indonesia.

Mengapa religiusitas masyarakat Indonesia tidak sejalan dengan fakta sehari-hari kehidupan berbangsa kita? Sehingga patutlah mempertanyakan, "bagaimana kesalahan kita dalam beragama?"

Memang harus disadari bahwa realitas kehidupan bangsa saat ini mengharuskan kita untuk terus merenung dan memikirkan ulang keadaban bangsa yang nyaris tanpa harapan ini. Di sinilah pencerahan harus dilakukan oleh agama untuk membenahi moralitas bangsa yang kian memprihatinkan di berbagai level baik kepribadian politik, kepribadian ekonomi, kepribadian intelektual, atau pun pencerahan peradaban di setiap sendi kehidupan.

Tujuan utama dari pencerahan tersebut adalah membangun kembali harapan rakyat yang lambat laun semakin tipis ini agar bangsa ini selaras pandangan mata, data dan praktiknya.

Salah satu pencerahan yang dapat saya ketengahkan, sebagai sintesis atas tesis dan antitesis yang telah dikemukakan adalah perlunya pendidikan moral bangsa. Bagaimana implementasinya?

Bagi saya salah satu penyebab watak kehidupan amoral bangsa adalah model pendidikan formalisme. Metode pendidikan dewasa ini cenderung mereduksi dan bahkan mematikan salah satu aspek pencarian dalam diri kaum terdidik.

Sumber dari konflik individual dalam aspek religiusitas dan rasionalitasnya adalah kurang diwariskannya sifat atau kecenderungan untuk senantiasa mencari, yang menjadi induk dari religiusitas dan rasionalitas.

Aspek formal dalam pendidikan dalam metode hafalan belaka sehingga proses dalam pencarian cenderung dilupakan sehingga tidak merangsang keingintahuan dan kekaguman dalam diri kaum terdidik.

Secara khusus dalam model pendidikan agama dewasa ini, yang terjadi sebenarnya bukan lagi pendidikan agama, melainkan pengajaran agama. Yang diajarkan adalah dogma-dogma dan hukum-hukum formal sehingga penumbuhan religiusitas kaum terdidik tampak artifisial semata.

Al Andang dalam Agama yang Berpijak dan Berpihak, mengatakan bahwa tanpa argumentasi jelas, pengajaran agama justru bisa menjauhkan cita rasa beragama. Ada dua kemungkinan akibat dari pengajaran agama tanpa religiusitas yang kokoh: menjadi apatis terhadap agama, atau menjadi fanatik terhadap ajaran agamanya (Al Andang, 1998: 55).

Sederhananya dapat dikatakan bahwa pendidikan atau pengajaran agama, kaum terdidik lebih diarahkan untuk menjadi agamawan secara yuridis formal, bukan seorang rohaniawan dengan religiusitas yang kuat dan kental. Dalam pada itu moral kehidupan bangsa tercerabut dari akarnya dalam pendidikan dewasa ini.

Sejatinya pendidikan yang berlandaskan moral dalam implementasinya, baik teori maupun praktiknya menjadi salah satu tombak untuk membenahi kehidupan umat beragama di samping penguatan identitas hukum-hukum yang berlaku. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia dalam menyelesaikan realitas kehidupan agama yang paradoks.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya