Politik Pencitraan Menjelang Pemilu 2024

Mahasiswa
Politik Pencitraan Menjelang Pemilu 2024 09/12/2023 663 view Politik kompasiana.com

Mengingat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 hanya kurang beberapa bulan lagi, para capres berbondong-bondong menyiapkan strategi-strategi yang menarik, kadang licik, yang tujuannya untuk memenangkan pemilu 2024 nanti.

Para capres tampil dengan gaya sederhana, merakyat, canda tawa, serta melakukan hal-hal yang kontradiksi terhadap pandangan politik yang selama ini seolah tegang dan kaku. Hal ini sudah disiapkan mulai tahun 2022 silam, buktinya, ketika sebelum para capres ditetapkan (masih menjadi bakal calon presiden), gambar-gambar bakal calon presiden sudah terpampang di pinggir jalan, dengan ciri khas memakai songkok hitam nasional, serta dihiasi senyum manis dan gaya tangan ala hari raya, yang mana menurut sebagian masyarakat, pemasangan banner bergambar bacapres tersebut hanyalah mengganggu pemandangan jalan serta menyebabkan rusaknya esensi keindahan alam.

Namun, Hal itu memang sudah menjadi budaya dan menjadi strategi awal dari para parpol untuk mengenalkan tokohnya kepada masyarakat yang akan menjadi capres pada pemilu 2024 nantinya.

Jika tahun 2022 lalu, yang dilakukan para bacapres adalah memasang gambarnya di pinggir-pinggir jalan, berbeda halnya dengan hari ini, yang sudah ditetapkan nama-nama capres dan cawapres beserta no urutnya yang akan bersaing di pemilu 2024 nantinya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masing-masing pasangan capres dan cawapres untuk meyakinkan rakyatnya, mulai dari pemberian sembako kepada rakyat kecil, blusukan ke desa-desa, sholat di masjid-masjid, dan tidak lupa mengumbar janji-janji manisnya. Upaya-upaya tersebut dilakukan tiada lain untuk membangun citra baik kepada masyarakat, agar dirinya dinilai baik dan pantas untuk menjadi pemimpin nantinya.

Berbagai upaya yang dilakukan para capres sangat ramai di media sosial, seperti halnya yang pertama capres no urut 3, Ganjar Pranowo, yang beberapa waktu lalu sempat disorot media karena capres tersebut muncul di siaran adzan maghrib salah satu stasiun televisi. Banyak yang beranggapan jika hal tersebut termasuk bagian dari pencitraan. Seperti yang dilansir dari Kompas.com (11/09/23), Directur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengatakan “tidak melakukan sosialisasi politik primitif dan tampak dibuat-buat hanya untuk mendapat simpati khalayak.” Namun, ada juga yang beranggapan jika Ganjar memang dari dulu sudah religius, dan hal itu tidak dibuat-buat, ditambah lagi istrinya yang asli dari keluarga pesantren. Ganjar juga berjanji, jika dia menjadi presiden gaji guru akan dinaikan sampai Rp30 juta.

Berbeda lagi dengan capres no urut 2, Prabowo Subianto, yang mana dari beberapa tokoh mengatakan jika capres satu ini minim akan pencitraan, dan dari hal tersebutlah yang menjadi salah satu alasan dia dicalonkan menjadi presiden. Namun, tidak menutup kemungkinan jika dari tim sukses capres lainya membuka aib-aib dari musuhnya, karena hal itu termasuk dari salah satu strategi politik. Prabowo juga sempat menebar janji-janji manis kepada masyarakat Indonesia. Dia pernah mengatakan, jika dia terpilih menjadi presiden, dia akan melarang seluruh mineral mentah seperti nikel dan bauksit untuk diekspor, dan akan diolah di Indonesia sendiri.

Capres terakhir dengan no urut 1, yakni Anies Baswedan, capres satu ini seringkali blusukan dimana-mana, buktinya ketika hari pertamanya kampanye sebagai capres di Tanah Merah, Jakarta Utara. Tempat kampanye tersebut serupa dengan kampanye saat dia menjadi cagub DKI Jakarta pada tahun 2017 lalu. Ditambah ketika pulang dia menaiki KRL dan makan soto kuning serta doclang di Bogor. Apa yang dilakukan Anies ketika kampenye pertamanya itu, bisa dinilai upaya dia untuk memenangkan pemilu 2024 yaitu salah satunya dengan mengambil hati rakyat. Anies juga berjanji jika dia terpilih menjadi presiden, dia akan fokus memperbaiki keluarga di Indonesia.

Setiap capres mempunyai upaya yang berbeda-beda dalam menunjukan eksistensinya pada masyarakat Indonesia, yang dengan eksistensi tersebut secara tidak langsung memberikan pengetahuan kepada khalayak jika mereka mampu untuk memimpin Indonesia. Memang sudah menjadi budaya tersendiri bagi Indonesia di setiap akan menjelang pemilu, pasti banyak orang yang tiba-tiba baik. Sebenarnya banyak masyarakat yang memahami hal yang dilakukan para capres itu, tidak lain hanyalah sebuah pencitraan, namun terkadang mereka bersimpati hanya memanfaatkan modal atau kebaikan yang diberikan para capres tersebut, seperti sembako, uang, dan lainya.

Mengaca dari apa yang dilakukan oleh para capres dalam mempersiapkan diri menuju pemilu 2024, pencitraan dalam politik atau biasa disebut dengan imaging policy sangat umum dilakukan oleh para politikus dalam kegiatan ber politiknya. Namun, bagi saya hal itu hanya akan membuat kita terpenjara oleh jeruji tindakan-tindakan yang tidak bebas, dan keterpaksaan. Tindakan yang diatur oleh keadaan dan tujuan-tujuan yang buruk, dan hanya akan berbuah penipuan dan kelicikan secara tidak langsung.

Sudah berkali-kali rakyat tertipu oleh gaya politik pencitraan. Mengidolakan dan memilih pemimpin yang empati seoalah-olah memiliki rasa dan harapan yang sama dengan rakyat, namun pada realitasnya, hal tersebut sangat kontradiksi dengan apa yang dijanjikan pemimpin itu dulu, dengan membawa sebungkus janji akan kesejahteraan.

Bagi Margaret Thacher, Negara itu tidak punya sumber uang, kecuali diperoleh dari masyarakanya sendiri. Sebuah pencerahan yang dikatakan Thacher bagi saya, karena memang aturan selama ini kita membayar pajak tidak lain untuk membayar kerja pemerintah, membangun negara, dan membayar utang negara. Jadi, janji-janji para para pemerintah tidak lain adalah sumber dananya dari kita sendiri, dengan perantara membayar pajak.

Kalau sudah begini, seharusnya hal tersebut menjadikan kita masyarakat yang kritis terhadap pemerintahnya yang gemar menggunakan gaya politik pencitraan. Jangan sampai tertipu oleh janji-janji manis para politikus dan informasi di media sosial. Kita perlu sadar jika selama ini cara berfikir kita terpengaruhi oleh banyak hal media sekitar kita, yang mana jika kita tidak kritis, hal-hal di media sosial mudah sekali untuk mengubah persepsi kita. Dengan gaya masyarakat kritis inilah harapannya besok ketika pemilu 2024 kita mampu memilih pemimpin yang baik serta membawa keadaan politik yang essensial bukan hanya sekedar politik simbolik atau pencitraan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya