Bahaya Berita Hoaks Dan Misinformasi di Era

Mahasiswa
Bahaya Berita Hoaks Dan Misinformasi di Era 23/10/2025 58 view Pendidikan lib.ub.ac.id

Apakah kamu pernah merasa dunia ini semakin penuh dengan informasi yang sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang palsu? Beberapa tahun belakangan, kecanggihan "AI" membuat siapa saja bisa bikin berita atau konten seolah-olah asli. Dari video yang diedit hingga artikel yang dibuat dalam sekejap, "AI"seperti pedang bermata dua. Tapi, di Indonesia, ini bukan sekadar masalah kecil. Kita sering lihat keributan di media sosial karena berita bohong yang menyebar cepat, bikin masyarakat ribut dan saling curiga.

Bayangin aja, dulu orang cari berita dari koran atau TV. Sekarang? TikTok, Facebook, YouTube semua orang bisa akses, bahkan bikin dan sebar info. Prof. Mitchell V. Charnley bilang, berita itu laporan cepat tentang fakta atau opini yang penting dan menarik. Tapi di era sekarang, batasnya seperti tidak ada. Orang-orang mudah termakan hoaks karena kurang waspada. Contohnya, kasus viral tentang Ibu Sri Mulyani yang katanya bilang "guru itu beban negara". Netizen langsung heboh, hujat sana-sini tanpa cek dulu. Ternyata, itu "DeepFake" hasil manipulasi AI dari potongan pidato asli di ITB pada 2025. Sri Mulyani sedang membahas tantangan biaya pendidikan, bukan menuduh guru beban. Bayangin, satu video palsu bisa bikin ribut nasional!

"AI" memang mempermudah kehidupan kita, tapi hal ini sepadan dengan bahayanya yang gede banget. Bisa memperpecah belah masyarakat kita yang beragam. Kenapa sih masyarakat kita mudah sekali termakan berita hoaks? Ada beberapa faktor. Pertama, literasi media dan digital kita masih sangat rendah. Banyak orang belum diajarin cara membedakan info benar dan palsu. Kedua, bias informasi, kita suka ingat info yang cocok sama pikiran kita, terus sebar tanpa verifikasi. Ketiga, sumber info yang tidak jelas asalnya. Siapa saja bisa membuat akun anonim dan menyebarkan berita. Keempat, manipulasi emosi, ada oknum yang memainkan isu panas, edit video atau teks biar emosi orang meledak. Terakhir, teknologi "AI" sendiri semakin canggih dan mudah diakses. Orang biasa saja bisa membuat konten palsu tanpa skill khusus.

Kalau ini dibiarkan, bahayanya akan sangat fatal. Hoaks bisa memperpecah belah bangsa, mengganggu stabilitas sosial dan politik. Kita harus belajar cara menghindarinya. Gimana caranya? Mulai dari memastikan sumber informasi. Cek apakah dari media kredibel, seperti Kompas atau Detik, dan konfirmasi dari sumber resmi. Jangan langsung percaya judul yang sensasional, cek fakta mendalam dari beberapa sumber berbeda. Lalu kenali ciri hoaks, contohnya seperti kosakata yang kasar, hal-hal yang berlebihan, gambar atau video blur yang tidak sesuai konteksnya. Memakai logika, tanyakan hal ini pada diri sendiri, "Apakah ini ada unsur kepentingan politik atau bisnis?". Mengecek ulang gambar lewat "Google Image" atau "TinEye". Jangan buru-buru menyebarkan berita ataupun informasi, lihat dulu asal-usulnya. Ikuti update dari platform terpercaya, tapi pastiin kredibilitasnya. Yang paling penting, meningkatkan edukasi. Mempelajari bentuk hoaks dari kampanye literasi digital.

Kenapa kita harus peduli? Dampaknya sangat besar. Di sisi sosial dan politik, hoaks bisa menjadi pemicu konflik, terutama kalau sampai menyentuh SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Hal ini mengancam Bhinneka Tunggal Ika kita. Masyarakat kita menjadi khawatir, bingung membedakan mana benar mana yang palsu, akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan terhadap media atau institusi. Lebih parah lagi berita hoaks politik atau ekonomi bisa ganggu stabilitas negara, yang bisa mengganggu kestabilan sosial.

Bayangin jika ada berita palsu tentang pemilu yang bikin orang demo besar-besaran, atau hoaks tentang krisis ekonomi yang bikin semua orang panik beli barang, jika terjadi hal seperti itu, pastinya ada oknum yang akan mengambil kesempatan seperti menjarah. Bahkan, ada sanksi hukumnya. Berdasarkan UU ITE No. 19 Tahun 2016, penyebar hoaks bisa terkena pidana jika sampai membuat konflik sosial. Banyak kasus di Indonesia dimana orang dihukum karena menyebarkan berita palsu.

Tapi, ini bukan hanya masalah individu. Kita sebagai bangsa harus bergerak bersama. Pemerintah bisa meningkatkan kampanye edukasi, literasi digital, dan platform media sosial juga harus lebih ketat menyaring konten. Masyarakat juga harus aktif jangan menjadi pasif atau tidak peduli. Kalau melihat hoaks, laporkan ke platform atau otoritas berwajib. Dengan begitu, kita bisa meminimalkan dampaknya.

Kesimpulannya, hoaks dan misinformasi itu ancaman serius buat kita semua. Mereka bisa merusak kepercayaan antar masyarakat, memicu konflik, dan mengancam stabilitas bangsa. Tapi dengan edukasi, logika, dan kewaspadaan, kita bisa melawan. Sebagai generasi penerus bangsa, mari kita jadi lebih cerdas. Cek dulu, berpikir dulu, baru sebar. Biar Indonesia tetap aman dan harmonis di era digital ini. Yuk, mulai dari diri sendiri jangan biarkan AI bikin kita bodoh, tapi jadikan dia alat untuk kebaikan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya