Pasar Kaget Para Pakar (Dadakan)

Pekerja Seni
Pasar Kaget Para Pakar (Dadakan) 21/05/2021 1324 view Lainnya news.wjct.org/

Jumat, 7 Mei 2021 polisi Israel “melakukan serangan” ke sekitar Mesjid Al-Aqsa. Israel beralasan yang mereka sasar bukanlah Mesjid Al-Aqsa, melainkan sejumlah demonstran Palestina yang lari dan bersembunyi ke dalam mesjid. Tapi geranat kejut tidak bisa membedakan mana manusia mana tembok, mana demonstran mana jemaah sholat tarawih. Sekali geranat dilemparkan, siapa saja bisa terkena dampak. Termasuk mereka yang “tidak tahu apa-apa”.

Peristiwa ini mengundang perhatian dunia. Meski Tel Aviv beralasan mengejar demonstran, namun “serangan” itu dikecam banyak pihak karena dianggap menyerang tempat ibadah dan, tentu saja, orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya.

Hamas, partai penguasa di Gaza, berang dan meradang. Mereka melancarkan serangan roket bertubi-tubi ke wilayah Israel sebagai balasan. Israel “bela diri”. Mata bayar mata. Atau seringnya lebih dari itu. Mereka membalas roket-roket itu dengan roket lagi. Lebih masif, lebih destruktif, dan lebih tepat sasaran.

Sebagaimana perang, korban paling nyata adalah rakyat yang “tidak tahu apa-apa”. Perempuan, anak-anak, dan orang-orang jompo paling rentan jadi korban. Petinggi militer kedua pihak, yang memberi perintah saling balas serangan itu, duduk manis di balik meja dengan sepatu mengkilap tanpa debu reruntuhan dinding, apalagi ciptratan darah manusia.

Seperti kabar konflik Palestina-Israel yang lalu-lalu, berita ini segera direspon segenap rakyat Indonesia. Sudah sejak lama rakyat Palestina dianggap saudara oleh sebagian besar rakyat Indoensia. Saking “merasa saudara”, bukan pemandangan ganjil ketika bendera Palestina turut serta meramaikan aksi demonstrasi yang mengatasnamakan Islam di Tanah Air.

Yang agak berbeda dengan respon-respon sebelumnya, peristiwa kali ini direspon dengan cukup beragam oleh rakyat—setidaknya di media sosial—Indonesia. Jagat maya Indonesia jadi serupa pasar kaget para pakar, tempat di mana orang tiba-tiba saling menjajakan pandangannya dengan harapan orang lain “suka dan membeli”. Yang jadi menarik, mereka yang beropini punya beragam latar belakang. Dari yang sungguh-sungguh pakar hingga mereka yang pakar dadakan. Karenanya, istilah yang lebih pas barangkali: pasar kaget pakar dadakan.

Ada yang segera menilai tindakan Israel sebagai serangan (bangsa dan agama) Yahudi terhadap Islam. Demi memperkuat argumennya, sejumlah ayat suci pun disiapkan agar meyakinkan. Oleh karenanya, umat Islam di seluruh dunia wajib marah dan membela Palestina. Konflik panjang ini secara sederhana dilabeli perang antara Yahudi dan Islam, titik. Tanpa penjelasan lebih lanjut. Penilaian semacam ini seringnya ditautkan erat dengan urusan iman. Dan iman tak perlu banyak dijelaskan.

Sebagian lain mencoba tidak terjebak dalam simplifikasi dan generalisasi konflik antar dua agama “kakak beradik”. Alasannya, Palestina dihuni oleh kelompok etno-religius yang beragam. Demikian pula Israel, dihuni oleh berbagai etnik dan pemeluk agama. Palestina bukan hanya Arab-Islam. Ada, bahkan, warga negara Palestina yang beragama Yahudi. Israel bukan hanya Yahudi-Judaisme. Ada bangsa Arab yang, bahkan, menjadi tentara nasional negara Israel. Ini konflik antar negara.

Dalam kaca mata ini, kondisinya makin kompleks sebab elit Palestina sendiri pecah antara Hamas dan Fatah ditambah sekian entitas politik lain. Demikian pula Israel. Di dalamnya terjadi berbagai kepentingan dan intrik politik dan agama, antara sayap kanan dan sayap kiri dengan sekian variannya,

Ada pula yang memandangnya apa yang dilakukan Israel sebagai penjajahan atau penaklukan. Dengan semangat Zionisme, orang-orang Yahudi merebut tanah milik warga Palestina. Lambat laun, sampai akhirnya tinggal tersisa Gaza dan Tepi Barat sebagai tanah kedaulatan Palestina. Bukan konflik antar negara, tapi kolonisasi atau aneksasi, Israel terhadap Palestina. Dalam sudut pandang ini, siapa salah siapa benar dengan jelas tergambar.

Ada pula pandangan yang sama sekali berbeda. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropiyono jelas-jelas menyebut, “Palestina dan Israel bukan urusan kita”. Ia memandang bahwa yang menjadi urusan Indonesia adalah “nasib dan hari depan anak cucu kita”.

Semua sudut pandang dan keberpihakan itu punya solusinya sendiri-sendiri mengatasi soal Israel-Palestina. Tapi, ketimbang segera mengeksekusi solusi, yang kini lebih ramai diperdebatkan di media sosial Tanah Air adalah soal sudut pandang dan analisis mana yang paling benar. Sebagaimana debat liar di media sosial, perbedaan pandangan ini juga dibumbui saling ejek, curiga, dan tuduh menuduh. Situasi makin runyam dengan turut campurnya para “pendengung berbayar”. Agenda mereka jelas bukan demi perdamaian Israel-Palestina, melainkan demi rekening tak sepi debet.

Karena analisis yang diajukan masing-masing perspektif demikian meyakinkan, siapa pakar sejati siapa pakar dadakan kadang kala sulit dibedakan. Satu hal yang membuat yang sungguhan dan abal-abal mudah dibedakan adalah sikapnya dalam berargumen dan berdebat.

Meski keukeuh pada pendiriannya, mereka yang sungguh pakar biasanya lebih santai dan santun dalam menyikapi berbedaan pandangan. Bukankah berbedaan pandangan dan perdebatan adalah hal lumrah, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun alam demokrasi secara luas? Dalam agama yang tampaknya rigid sekalipun masih terdapat tempat buat perbedaan.

Sebaliknya, mereka yang pakar dadakan, yang mendadak menjajakan dagangannya di pasar kaget, biasanya akan membumbui perdebatan dengan argumen-argumen yang emosional dan cenderung agresif. Dalam beradu argumen, yang diserang bukan pendapat lawan, melainkan pribadinya. Atau bahkan hal-hal yang tidak tersangkut paut sama sekali dengannya.

Matinya Kepakaran dan Pasca Kebenaran

Mengapa pakar abal-abal bisa nyaru dengan pakar sejati? Mengapa orang bisa mendadak jadi (seolah-olah) pakar? Mengapa pakar abal-abal itu, meski jelas abal-abal, ada saja orang yang menyimak, percaya, dan setuju dengannya?

Semakin mudahnya seseorang mendapat dan memproses informasi dan pengetahuan menempatnya pada situasi yang oleh seorang pemikir Amerika Serikat bernama Tom Nichols di sebut sebagai masa the death of expertise ‘matinya kepakaran’.

Bermodalkan hanya gawai di tangan, seseorang yang sepanjang hidupnya tinggal di kampung pun dapat dengan mudah mengakses dunia dan berbicara banyak tentangnya, seolah ia tahu segala seluk beluk tentangnya.

Apa dikatakan seorang “siswa YouTube kemarin sore” bermodal wifi gratisan tentang kondisi Gaza dan Tepi Barat sepintas lalu kadang kala nyaris mirip dengan apa yang dikatakan seorang guru besar sungguhan yang menghabiskan banyak biaya untuk riset konflik Israel-Palestina. Seorang pakar sejati namun kalah piawai oleh pakar abal-abal dalam “menjajakan” dan mengemas gagasannya di pasar keget jagat maya sering kali kalah pamor. Publik lebih sering membaca/menonton ocehan pakar abal-abal dan lambat laut mempercayainya.

Akhirnya, para pakar mati. Dibunuh atas nama kebebasan berpendapat. Atas nama demokrasi. Kondisi makin keruh dan kabur sebab di masa yang sama manusia tengah berada pada era post-truth ‘pasca kebenaran’. Sesuatu menjadi (sepenuhnya) benar sejauh banyak orang meyakini sebagai benar. Fakta objektif berpengaruh sangat kecil dalam pembentukan opini di masa pasca kebenaran, jika bukan tidak berpengaruh sama sekali.

Kebohongan dan kabar palsu dapat menjadi benar karena banyak orang menganggapnya demikian. Dasarnya bukan fakta objektif, melainkan emosi, sentimen, dan keyakinan pribadi. Keyakinan pribadi, seperti halnya iman, tidak harus banyak dijelaskan.

Di era pasca kebenaran, soalnya bukan lagi salah benar, tapi percaya atau tidak. Dewasa ini di era media sosial, jumlah suka, pengikut, dan komentar serta seberapa banyak suatu konten dibagikan menyumbang cukup besar apakah sesuatu itu benar atau tidak. Semakin banyak disukai, dikomentari, dan dibagikan, semakin ia dapat dipercaya. Oleh karenanya, ia adalah kebenaran.

Dalam kasus Israel-Palestina, sudut pandang apa pun yang digunakan untuk analisis, yang jelas menjadi korban terparah adalah warga Palestina. Ini fakta paling tak terbantahkan. Oleh karenanya, solusi yang paling nyata adalah membantu mereka yang menjadi korban: dengan donasi materi, tenaga, atau doa.

Selain itu, yang kiranya dapat dilakukan secara mandiri adalah bersikap kritis pada tiap informasi, di jagat maya juga di media arus utama. Bukan rahasia lagi bahwa lensa kamera tidak seluas pandangan mata. Pers punya sudut pandang yang ada kalanya berpijak pada kepentingan tertentu selain menyebarkan informasi sebenar-benarnya. Apa yang dibaca/ditonton baiknya tidak ditelan bulat-bulat sebagai kebenaran final.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya