Menyoal Langgengnya Praktik Kekerasan di Tubuh Kepolisian

Legal Content Writer, Kontributor Lepas, Pemerhati Hukum dan Alumni S1 Hukum Universitas Galuh
Menyoal Langgengnya Praktik Kekerasan di Tubuh Kepolisian 18/09/2022 490 view Hukum amnesty.id

Kita mungkin masih mengingat sebuah tagar bertajuk “Percuma Lapor Polisi” yang dalam kurun waktu ke belakang sempat menjadi sorotan hingga menggaung cukup keras mengisi orkestrasi ruang interaksi publik, bahkan menjadi tranding topic di beberapa laman sosial media. Kendati telah berangsur-angsur terlewati, belakang ini kita seolah diajak untuk berkontemplasi dan mengingat kembali satu tagar yang seolah selalu memiliki nilai relevansi dengan situasi yang terjadi pada saat ini.

Lagi-lagi salah satu institusi penegak hukum kembali menyita perhatian publik setelah beberapa kasus besar yang menyeret jajaran anggotanya hingga melibatkan pucuk pimpinan di institusi bhayangkara tersebut. Bahkan tidak hanya terkait dengan motif pelaku yang hingga saat ini masih menjadi misteri, adanya dugaan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh tersangka berbintang dua tersebut hingga dugaan obstruction of justice semakin memperkeruh beragam praduga yang memantik rasa penasaran publik karena ketiadaan informasi yang utuh dan jelas. Konsekuensinya, spekulasi, opini hingga asumsi akhirnya menjadi bola liar di lapangan.

Tentu upaya klarfikasi yang dilakukan merupakan langkah awal yang baik dalam menjernihkan peristiwa guna meredam adanya asumsi dan interpretasi di luar koteks perkara, namun perlu kita nyatakan pula bahwa hanya dengan konferensi pers dan permintaan maaf saja sama sekali tidak menyelesaikan benang kusut permasalahan struktural yang telah mengakar. Dan sering kali penggunaan istilah ‘oknum’ disematkan kepada anggotanya sendiri yang terlibat dalam segala bentuk perbuatan melawan hukum yang justru seolah menimbulkan anggapan adanya upaya “cuci tangan” dan lepas tanggung jawab untuk membongkar kebobrokan yang terjadi di dalam tubuh institusi kepolisian tersebut. Sudah semestinya berhenti berlindung dibalik istilah ‘oknum’, sebab hal demikian justru menimbulkan prasangka adanya impunitas dan ketiadaan efek jera bagi para pelakunya.

Inti permasalahan tidak hanya pada ketidaktegasan sanksi yang dijatuhkan pada pelaku, masih lemahnya lembaga indenpenden yang mengawasi institusi Polri serta langgengnya praktik pembiaran tanpa evaluasi yang signifikan, melainkan pada budaya aparat penegak hukum yang masih cenderung menghalalkan segala cara demi tercapainya suatu tujuan yang diinginkan. Dengan kata lain praktik penyiksaan dengan alasan dan atas nama apapun tidak dapat dibenarkan baik secara prosedural dan konstitusional.

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan dan bukan juga negara yang memaafkan kesalahan atas nama hukum sekali pun. Konsekuensinya, setiap tindak-tanduk dan perilaku aparat penegak hukum harus berdasarkan pada nilai-nilai konstitusional serta harus mengorientasikan dirinya pada prinsip-prinsip negara hukum yang menghormati dan melindungi hak asasi manusia.

Krisis kepercayaan yang pada saat ini tengah menggerogoti tubuh institusi kepolisian tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai macam upaya mendasar perlu segera direalisasikan. Pembenahan, perbaikan, penyempurnaan dan evaluasi kinerja sudah seharusnya menjadi prioritas utama. Dan dengan adanya desakan tersebut tentu telah menjadi satu keharusan (imperatif) dan juga menjadi bahan pertimbangan bagi Polri dalam melakukan upaya perbaikan guna menciptakan kembali ekosistem institusi yang sehat dan bersih.

Bercermin dari beberapa perkara yang menyeret anggota hingga para petinggi Polri yang terjadi belakangan ini, ada beberapa poin yang semestinya dilakukan untuk menyelesaikan benang kusut tersebut. Pertama, terkait dengan permasalahan struktural yang erat kaitanya dengan faktor internal, maka yang semestinya dikedepankan guna mewujudkan suatu ekosistem good governance ialah pengawasan dan transparansi informasi serta mekanisme pengawasan internal yang ketat. Kemudian yang kedua, permasalahan instrumental yang meliputi aspek fungsional, profesionalitas dan kompetensi yang harus dan wajib berlandaskan pada rasa kemanusiaan, rasa keadilan dan rasa tanggung jawab serta yang ketiga ialah permasalahan kultural berupa budaya kerja dan integritas yang perlu dievaluasi adalah aspek mental, moralitas, etika dan paradigma humanisme yang seharusnya tidak lagi dikesampingkan. Ketiga poin inilah yang semestinya diperhatikan tidak hanya bagi lembaga kepolisian tetapi juga lembaga penegak hukum yang lain.

Sedang yang berkaitan dengan penggunaan diskresi yang kerap kali disalahartikan oleh beberapa kalangan, dalam hal diskresi aparat kepolisian harus mengetahui batasan-batasan dan syarat yang tidak boleh dikesampingkan seperti tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan suatu aturan; adanya pertimbangan mendasar; keadaan yang memaksa dan menghormati hak asasi manusia. Jangan sampai dengan mempergunakan alasan diskresi yang justru berakibat pada tindakan arogansi dan yang terjadi justru sebuah distorsi antara diskresi dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Hemat kata, meskipun Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik hingga KUHAP sekalipun yang telah menjadi salah satu pedoman dan landasan dalam pelaksanaan hukum beracara pidana serta Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia telah merumuskan secara baik guna membatasi, mengontrol dan mengarahkan para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, namun apabila pada tahapan pelaksanaannya justru tidak sejalan atau bahkan justru bertentangan, maka tentulah tidak akan tercapai apa yang diharapkan sebagai negara hukum. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar bagi institusi Polri guna mengubah citra dan rekam jejak yang buruk belakangan ini.

Selaras dengan problem kompleks tersebut apabila kita mencoba merujuk pada teori Lawrence M. Friedman bahwa yang dimaksud sebagai sistem hukum mencakupi 3 (tiga) unsur yakni substansi, struktur dan budaya hukum. Ketiga komponen tersebut merupakan indikator dalam menentukan seberapa efektifnya suatu sistem hukum untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Meski secara konseptual ketiga unsur tersebut saling terkoneksi, namun budaya hukum mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam praktiknya karena dirasa sering kali menjegal dan menghambat terlaksananya substansi hukum yang telah diberlakukan bahkan merusak struktur hukum yang telah ditentukan. Sederhananya, sebaik dan seindah apapun substansi hukum itu dibuat, selama budaya dan perilaku aparat penegak hukum masih rendah dan defisit integritas dan krisis profesionalitas maka jangan berharap akan terciptanya suatu ekosistem penegakan hukum yang sehat. Hal itu senada dengan ungkapan Bernandus Maria Taverne, “Beri aku hakim, jaksa, polisi dan pengacara yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekali pun, aku bisa mewujudkan keadilan.”

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya