Jubah Suci dan Luka Santri

Mahasiswa di UIN Raden Mas Said Surakarta
Jubah Suci dan Luka Santri 02/10/2025 64 view Agama tribratanews.ntb.polri.go.id

Kasus pelecehan seksual oleh oknum pimpinan pesantren (kyai/ustaz) lagi-lagi terungkap kembali. Kasus semacam ini hampir-hampir tak memberi kita jeda untuk menghela napas sejenak dan menyusun langkah reformatif di lembaga pendidikan pesantren–yang hari-hari ini kehilangan kepercayaan di hati. Baru beberapa bulan–bahkan mungkin dalam hitungan hari–kasus semacam ini mencuat di publik, sudah terdengar lagi kasus serupa.

Kali ini, kasus yang menyayat hati ini dibongkar oleh Dr. Richard Lee. Dalam YouTube-nya, ia mengundang narasumber seorang santriwati yang dulu menjadi korban pelecehan seksual oleh oknum kyai-nya dari Bekasi.

Peristiwa ini bukan sekadar berita kriminal biasa; ini adalah penyingkapan luka lama yang terus menganga dalam ekosistem pendidikan Islam, khususnya pesantren. Ironisnya, lembaga yang seharusnya menjadi benteng moral dan keimanan, justru berulang kali menodai nilai-nilai moral dan menjadi tempat trauma bagi anak-anak yang dititipkan untuk menuntut ilmu.

Mencuatnya nama “Kyai” atau “Ustaz” dalam kasus asusila, seperti yang terjadi di Bekasi di mana pimpinan dan guru ponpes mencabuli santriwati, harus kita lihat sebagai indikasi krisis otoritas yang fundamental.

Kultur penghormatan kepada “guru” yang amat mendalam–bahkan berlebihan–dalam tradisi pesantren, sering kali digunakan sebagai alat oleh para pelaku untuk menciptakan relasi kuasa yang absolut. Dalam lingkungan pesantren yang tertutup dan menjunjung tinggi prinsip sami'na wa ato'na (kami dengar dan kami patuh), suara korban menjadi bungkam karena rasa takut, malu, dan yang paling dalam, takut dianggap menentang guru, yang berarti menentang ajaran agama.

Bahkan, beberapa pelaku yang dulu tidak mau membongkar kebusukan kyainya, ketika ditanya “kenapa tidak dari dulu cerita?”, dengan penuh kehati-hatian, mereka menjawab “saya takut kualat dan ilmu saya tidak manfaat dan berkah.” Jawaban ini merupakan bukti bahwa doktrin mereka (oknum kyai bejat) kepada santri-santrinya untuk menciptakan kekuasaan yang absolut telah terbukti berhasil.

Fenomena ini bukanlah insiden yang terisolasi. Jika kita menengok ke belakang dalam kurun waktu yang berdekatan—sebelum dan sesudah kasus Bekasi—terdapat serangkaian kasus yang menunjukkan pola serupa.

Di awal tahun 2025, laporan mengenai kekerasan seksual di ponpes di Jakarta Timur, Nganjuk, dan Banjar menjadi sorotan nasional. Pada pertengahan 2024, seorang pengasuh ponpes di Magelang juga ditetapkan sebagai tersangka. Modus operandi para predator ini hampir selalu sama: dalih pengobatan, janji spiritual, atau pemanfaatan momen sunyi untuk melancarkan aksi bejat.

Kasus-kasus ini menegaskan bahwa kita sedang menghadapi epidemi kekerasan seksual di institusi keagamaan. Lantas, di manakah letak refleksi dan tanggung jawabnya?

Krisis ini tidak dapat dilimpahkan hanya pada satu pihak. Ini adalah kegagalan kolektif yang menuntut pertanggungjawaban dari semua pilar: pesantren, pemerintah, dan masyarakat.

Pesantren harus berani melakukan introspeksi mendalam, membuang jauh-jauh kultur patriarki dan feodalisme yang memungkinkan pimpinan menjadi “raja kecil” yang tak tersentuh.

Mereka wajib membangun mekanisme pelaporan yang transparan, aman, dan rahasia, memberikan pelatihan kepada semua pengurus agar memahami isu kekerasan seksual, dan mengubah budaya yang meletakkan loyalitas pada individu di atas perlindungan terhadap santri.

Jika sebuah pesantren tidak mampu melindungi santrinya, maka ia kehilangan esensinya sebagai lembaga pendidikan.

Di sisi lain, andil pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) dalam persoalan ini amatlah dibutuhkan. Kemenag harus lebih dari sekadar administrator. Mereka adalah penjamin hak anak atas pendidikan yang aman. Aturan yang sudah ada, seperti PMA No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, harus ditegakkan dengan ketegasan absolut.

Pencabutan izin operasional harus menjadi sanksi wajib bagi institusi yang gagal melindungi anak, tanpa toleransi atau negosiasi. Langkah ini penting untuk mengirimkan pesan yang jelas: tempat suci tidak boleh menjadi tempat kejahatan.

Selain itu, Kemenag harus menjamin kelanjutan pendidikan para korban, memastikan trauma tidak merenggut masa depan mereka.
Kesadaran orang tua atau wali santri juga urgen dalam hal ini. Mereka para orang tua sering terperangkap dalam mitos bahwa “Menitipkan anak kepada kyai adalah baik mutlak demi masa depan moral dan spiritual anak.” Padahal, pada hakikatnya, tak semua kyai (ulama) itu baik. Hal ini sudah maklum dalam kajian tasawuf, bahwa di akhir zaman, ulama terbagi menjadi dua: baik dan buruk.

Orang tua harus keluar dari ilusi ini. Mereka harus lebih kritis dalam memilih lembaga, melakukan due diligence terhadap rekam jejak pengasuh, dan yang terpenting, membangun komunikasi terbuka dengan anak. Edukasi mengenai batas tubuh dan hak untuk menolak tindakan tidak senonoh harus diajarkan kepada santri sejak dini.

Sehingga, pemahaman tentang hal semacam ini perlu dimiliki oleh para orang tua yang hendak menitipkan anaknya di pesantren, agar mereka lebih selektif dalam memilih pengganti dalam hal mengasuh anak dan lingkungan baru bagi anaknya.

Kasus-kasus Kyai cabul dari Bekasi hingga ke berbagai pelosok negeri adalah panggilan untuk melakukan reformasi mendasar dalam pendidikan agama kita. Tidak ada dalih agama yang membenarkan kejahatan seksual. Kita harus menolak melabeli kejahatan ini sebagai “ujian” atau “fitnah.” Ini adalah tindak pidana yang harus diusut tuntas, sementara kita bersama-sama membangun kembali kepercayaan bahwa lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren, adalah tempat terbaik untuk bertumbuh, membentuk karakter dan mencari cahaya ilmu bagi anak-anak kita.

Perlindungan terhadap santri adalah tanggung jawab kita bersama, dan diam berarti menyuburkan para predator. Kita harus pastikan, jubah suci tidak lagi menjadi perisai bagi pelaku kejahatan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya