Intensitas Politik Uang Di Pilkada 2020

Pengajar
 Intensitas Politik Uang Di Pilkada 2020 20/08/2020 1436 view Politik pikist.com

Meskipun penggelaran pesta demokrasi elektorat masih jauh, tapi gema kampanye dari jargon politik sudah terdengar merdu di telinga masyarakat. Gambaran politik seperti ini paling tidak sudah menunjukan optimisme masyarakat bahwa nilai demokrasi bangsa ini sudah dijalankan sesuai dengan hakikatnya.

Namun, kontestasi politik kali ini memiliki tantangan yang cukup besar terhadap pendewasaan demokrasi partisipatif masyarakat. Seperti kita ketahui bersama bahwa pergelaran pilkada tahun ini berjalan dalam situasi pandemi covid-19. Pandemik covid-19 telah melahirkan krisis multidimensional. Salah satu hal yang cukup terasa ialah krisis ekonomi dengan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan selama pandemik ini.

Berdasarkan data yang dirilis dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) bahwa selama pandemi menyebar di Indonesia, intensitas pengangguran meningkat drastis sebesar 3,7 juta orang (Kompas, 28/7/2020).

Angka ini hemat saya sangat besar untuk Indonesia yang memiliki ketahanan ekonomi yang kurang mapan. Karena itu, ada kemungkinan bagi masyarakat penganggur untuk mencari alternatif lain demi menunjang kebutuhan hidup setiap hari.

Situasi kiris ekonomi ini hemat saya menjadi angin segar bagi para kontestan pilkada kali ini untuk merancang strategi politik kotor dan melancarkan serangan “gelap” berupa praktik politik uang (money politic). Sebagaimana yang tertuang dalam buku “Pendidikan Anti-Korupsi” (2011: 41) Politik uang adalah politik yang menggunakan instumen berupa uang untuk membeli atau menyogok masyarakat agar masyarakat pemilih memilih si pemberi uang tersebut. Semakin besar uang yang dikucurkan untuk membeli suara rakyat peluang untuk menduduki kursi empuk kekuasaan semakin besar pula.

Berkaitan dengan strategi politik uang tersebut, saya teringat dengan seorang pemikir yang cukup familiar bernama Nicollo Machiavelli, berkebangsaan Italia. Dalam salah satu magnum opus-nya Il Principel (Sang Pangeran) pernah mengatakan, kekuasaan harus dikejar dan harus dipertahankan, meskipun dengan cara mengabaikan etika. Argumentasinya ini cukup pragmatis bagi sebuah Negara yang menanam sistem pemerintahan yang demokratis. Tapi, yang sebenarnya sangat-sangat realitis dengan kenyataan empiris politik modern. Karena itu, prinsip ini hemat saya menjadi landasan fundamental bagi para kontentas pilkada tahun ini untuk memenangkan sebuah kontestasi di tengah krisis global yang mencekam kehidupan masyarakat termasuk masyarakat Indonesia. Bahwa etika berpolitik dinomorduakan, yang pertama dan utama kemenangan atas kontestasi.

Konsekuensi logis dari konstruksi pemikiran ala Machiavelli ini hemat saya ada dua. Pertama runtuhnya tembok kokoh sistem demokrasi partisipatif masyarakat. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics dan Politics sebagaimana yang dikutip oleh Yosep Keladu dalam buku Partisipasi Politik (2010: 195) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik (baca: pilkada) dapat mengembangkan segala potensi ke arah kesempurnaan. Itu berarti sebuah kemutlakan bagi masyarakat untuk mengambil bagian secara penuh dalam aktivitas politik.

Nah, dengan hadirnya praktik politik uang di pilkada tahun ini sesungguh telah mereduksi nilai partisipasi politik masyarakat. Di sana kebebasan masyarakat untuk menentukan pilihan dibatasi oleh permainan uang dari para kontestan. Titik kesempurnaan atau kedewasaan masyarakat terhadap demokrasi partisipatif memudar.

Kedua ialah optimisme kita untuk memutuskan mata rantai praktek korupsi di Negara kita menjadi khayalan belaka. Artinya dengan kehadiran praktik politik uang di mata masyarakat bukan tidak mungkin akan menjadi sinyal baru lahirnya praktek korupsi selanjutnya. Hal ini juga menjadi sorotan utama dalam upaya pemberantasan tindakan korupsi di Negara ini sebagaimana yang tertuang di dalam buku “Pendidikan Anti-Korupsi” yang dirancang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Pada posisi seperti ini kita berada pada titik dilematis, di satu sisi kita berjuang untuk meruntuhkan gerakan politik uang tapi di sisi lain kita dihadapkan dengan situasi krisis ekonomi yang memaksa sebagian masyarakat memilih untuk menerima suap berupa uang.

Lalu, apa yang kita lakukan sekarang agar kontestasi pilkada yang akan datang betul-betul murni demokrasi partisipasi dan bebas praktik politik uang? Saya kira sebagai bangsa yang besar kita patut dan pantas membangun cara berpikir tranformatif agar kita keluar dari gua plato yang menutup pikiran untuk melihat lebih jauh soal politik.

Saya kembali mengutip hasil pemikiran Aristoteles bahwa Negara memiliki peran sentral dalam mendidik dan mendewasakan warga Negara agar menjadi baik dan bijaksana. Ini adalah tugas moral sebuah Negara (Keladu, 2010: 217). Lebih lanjut Aristoteles mengatakan bahwa Negara yang dimaksudkan itu ialah institusi-institusi hukum dan pendidikan. Institusi hukum memiliki kekuatan yang melampaui kekuasaan. Itu berarti taring eksekusi lebih tajam dibandingkan kewenangan kekuasaan. Dengan demikian, institusi hukum dapat menghukum penguasa yang melakukan pelecehan terhadap nilai demokrasi suatu bangsa. Dalam konteks pilkada tahun ini, institusi hukum mesti merancang strategi yang efektif untuk mengawasi praktek politik uang.

Sedangkan, institusi pendidikan menurut Aristoteles adalah sarana untuk mencapai taraf kehidupan yang baik. Politik juga dipahami sebagai upaya mencapai kehidupan yang baik bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, antara pendidikan dan politik merupakan satu kesatuan yang integral dan tak terpisahkan.

Dalam institusi pendidikan tokoh sentral dalam membangun iklim politik yang beradap ialah peserta didik dan para pendidik. Para pendidik dengan segala kemampuan yang dimiliki dapat mentranformasikan ilmu secara baik kepada peserta didik.

Implikasi praktis dari transformasi ilmu tersebut ialah komitmen peserta didik untuk menolak dan mengkampanyekan gerakan “anti-politik uang dan politik kotor lainnya”. Peran ini sangat dibutuhkan untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat tentang realitas politik sehingga masyarakat semakin dewasa untuk menentukan pilihan politiknya ketika terjadi sebuah kontestasi seperti pilkada 2020 nanti.

Penguatan terhadap kedua institusi di atas hemat saya dapat mengembalikan martabat politik bangsa ini dan bebas dari segala praktik politik kotor seperti politik uang yang rawan terjadi di setiap kali kontestasi politik termasuk pilkada 2020 yang akan datang.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya