Peran Kaum Perempuan di Ranah Politik dalam Tinjauan Historis

Mahasiswa Pascasarjana UGM
Peran Kaum Perempuan di Ranah Politik dalam Tinjauan Historis 14/01/2021 2602 view Lainnya harnas.co

Dewasa ini di Indonesia mulai banyak perempuan yang berkiprah di ranah politik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perempuan yang masuk menjadi anggota kabinet pemerintahan di era Presiden Jokowi. Sejak memulai masa pemerintahannya pada 2014 Presiden Jokowi telah memilih beberapa tokoh perempuan untuk menjabat sebagai Menteri di berbagai kementerian. Yang fenomenal tentunya posisi Menteri Luar Negeri yang diemban oleh Retno LP Marsudi dan Menteri Kelautan dan Perikanan oleh Susi Pudjiastuti. Setelah sebelumnya dua kementerian tersebut selalu dipimpin oleh laki-laki. Di era awal pemerintahannya Jokowi lebih memilih untuk menempatkan perempuan untuk memimpin dua kementerian tersebut.

Selain di kabinet pemerintahan, kehadiran perempuan di ranah politik juga dapat dilihat pada banyaknya perempuan yang terpilih menjadi kepala daerah. Saat ini jabatan gubernur, bupati, dan wali kota juga telah di isi oleh perempuan. Misalnya Provinsi Jawa Timur yang kini dipimpin oleh gubernur perempuan yaitu Kofifah Indar Parawansa, Tangerang Selatan yang dipimpin oleh walikota perempuan Airin Rachmi Diani, dsb.

Adapun meningkatnya kiprah perempuan ini sangat berkaitan erat dengan perkembangan wacana kesetaraan gender di Indonesia. Wacana ini berusaha mendobrak batas-batas yang selama ini ada dan cenderung diskriminasi dengan dasar perbedaan jenis kelamin. Batasan-batasan ini kemudian menimbulkan ketidakadilan di masyarakat. Dalam hal ini yang sering dibatasi peranannya adalah kaum perempuan. Dalam budaya masyarakat patriarki perempuan harus tunduk dan berada dalam kekuasaan laki-laki (Banjac, 2018 : 23). Sehingga tujuan dari wacana kesetaraan gender adalah untuk menghapus ketidakadilan dan diskriminasi terutama terhadap kaum perempuan. Perempuan harus mendapatkan hak yang setara dengan kaum laki-laki, seperti akses terhadap pendidikan, pekerjaan. Perempuan juga harus diperbolehkan untuk ikut berperan di ranah-ranah publik seperti politik (Wahyudi, 2018 : 64-66).

Sementara itu, diadopsinya sistem demokrasi langsung sebagai sistem politik di Indonesia terutama sejak era reformasi telah membuka ruang kepada semua pihak untuk berkiprah di ranah politik tidak terkecuali perempuan. Perempuan kini memiliki kebebasan untuk ikut terlibat dan berpartisipasi di ranah politik, seperti menjadi anggota legislatif baik pusat maupun daerah atau menjadi kepala pemerintahan.

Namun demikian, hadirnya kaum perempuan di ranah politik sebenarnya bukan kali ini saja. Di masa kebangkitan nasional kaum perempuan telah berkiprah dalam berbagai gerakan perempuan salah satunya politik yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka kaum perempuan juga tidak ketinggalan untuk berperan aktif dan berpartisipasi di ranah politik pemerintahan. Pada masa Soekarno telah tercatat ada beberapa perempuan yang memiliki peranan cukup penting di bidang politik pemerintahan. Para perempuan tersebut mendapatkan posisi yang cukup penting dalam pemerintahan era Soekarno. Hal ini tentu menunjukkan adanya representasi kaum perempuan yang cukup kuat pada masa tersebut.

Adapun beberapa perempuan yang memiliki peranan di ranah politik pemerintahan di masa Soekarno seperti Sulianti Saroso dan Artati Marzuki Sudirdjo. Sulianti Saroso merupakan salah satu dokter terkemuka di Indonesia. Ia merupakan salah satu tokoh perempuan yang pernah berkecimpung di ranah politik dan berkarir di Kementerian Kesehatan selama masa pemerintahan Soekarno. Peranannya cukup penting terutama dalam bidang kesehatan yaitu berkaitan dengan pengendalian kelahiran melalui pendidikan seks dan gerakan keluarga berencana. Ayahnya merupakan seorang dokter menjadi inspirasi bagi Sulianti muda berkarir sebagai dokter. Lahir pada 10 Mei 1917 di Karangasem, Bali, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Kedokteran di Batavia dan lulus pada 1942. Setelah lulus dari sekolah kedokteran Sulianti sempat bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Memasuki periode revolusi Sulianti tidak tinggal diam. Ia ikut terlibat dalam membantu perjuangan dengan menolong para republikan yang terluka di garis depan. Ia juga mengorganisir dapur umum untuk membantu perjuangan. Sulianti berjuang di garis depan pada front Tambun, Gresik, dan Yogyakarta.

Sulianti bukanlah dokter biasa. Selain berkarir sebagai dokter ia juga terjun ke politik dan juga menjadi aktivis perempuan. Pada masa revolusi Sulianti pernah menempati posisi di Badan Kongres Pemuda Republik Indoensia sebagai wakil dari Pemuda Putri Indonesia. Ia bersama rekan-rekannya sesama aktivis perempuan kemudian membentuk laskar wanita bernama Wanita Pembantu Perjuangan.

Pasca revolusi, memasuki dekade 1950-an, Sulianti lebih memfokuskan dirinya berkiprah di bidang kesehatan. Ia menjadi Kepala Jawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Ia menggagas sebuah program untuk pembatasan kelahiran dan keluarga berencana dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Hal ini didasarkan pada kenyataan saat itu bahwa banyak terjadi kematian bayi karena Indonesia kekurangan bidan, sehingga masyarakat Indonesia lebih banyak menggunakan dukun untuk membantu proses persalinan. Akan tetapi gagasan Sulianti ini mendapatkan penolakan dan ditentang oleh berbagai kalangan dari pemuka agama, organisasi perempuan, bahkan pemerintahan Soekarno juga menolaknya.

Namun demikian, Sulianti tidak menyerah begitu saja, dengan penuh kehati-hatian ia tetap melaksanakan gagasannya itu walaupun melalui klinik swasta yang dimilikinya. Peran penting Sulianti lainnya di masa Soekarno adalah upayanya untuk menggerakkan usaha kesehatan masyarakat. Pada 1956, ia memimpin Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat. Adapun gagasannya mengenai pembatasan kelahiran dan keliarga berencana baru mendapatkan perhatian serius pada masa Orde Baru.

Pahlawan perempuan era Soekarno yang kedua adalah Artati Marzuki Sudirdjo. Selama pemerintahan Soekarno Artati pernah menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Salah satu posisinya yang paling menonjol adalah sebagai diplomat perempuan Indonesia. Selain itu, Arteti juga pernah ditunjuk oleh Soekarno sebagai Menteri Pendidikan.

Lahir di Salatiga pada 15 Juni 1921, Artati dan kesembilan adiknya memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Artati menyelesaikan pendidikan di HBS V Bandung yang kemudian di lanjutkan ke Sekolah Hukum di Batavia. Akan tetapi, akibat Perang Dunia II ia tidak dapat menyelesaikan pendidikannya. Selain memiliki kesempatan menempuh pendidikan, Artati juga memiliki hobi membaca dan belajar bahasa. Hal ini yang kemudian membentuk kepribadian Arteti dan memiliki peran penting dalam perjalanan kariernya.

Selama masa perang kemerdekaan, Artati mengikuti ayahnya membantu Palang Merah Indonesia di Bandung. Namun, saat ibukota RI pindah ke Yogyakarta Artati berkarir di Kementerian Luar Negeri dan memegang posisi sebagai Sekretaris Jenderal. Pasca pengakuan kedaulatan 1949, karir diplomatnya semakin berkembang. Pada 1950 Artati diutus ke Perwakilan Tetap Indoensia di New York dan berkesempatan menyaksikan prosesi penerimaan Indonesia sebagai anggota PBB ke – 60.

Pada dekade 1950-an Artati berkarir sebagai diplomat. Sebagai seorang diplomat Artati banyak memainkan peran di panggung internasional. Ia pernah bertugas di Kedutaan Besar Indonesia di Roma, Italia dari tahun 1958-1961 Setelah itu Artati kembali ke Indonesia dan mendapat tugas sebagai Kepala Direktorat Organisasi Internasional di Kementerian Luar Negeri. Menjelang akhir pemerintahan Soekarno, Artati sempat ditunjuk untuk mengisi posisi sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Posisi ini diembannya hingga berakhirnya pemerintahan Soekarno.

Selama menjadi Menteri Pendidikan, Artati yang tidak memiliki latar belakang di bidang tersebut karena sejak 1949 kariernya lebih banyak sebagai diplomat dianggap mampu untuk menciptakan suasana sejuk di kementerian tersebut. Hal ini dikarenakan dalam tubuh kementerian yang dipimpinnya terjadi friksi antara pejabat yang beraliran komunis dan pejabat pendidikan yang juga menjadi anggota partai politik. Artati memiliki tugas utama untuk menertibkan instansi dan menghindarkan dari polarisasi politik.

Dari sejarahdi atas dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan telah sejak lama memiliki peran penting di ranah politik dan pemerintahan. Dan hingga kini peran tersebut semakin meningkat dan semakin terbuka bagi kaum perempuan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya