Pendidikan Haus Kuota Internet

Virus Korona datang tanpa diundang. Bagaikan penyusup profesional, tiba-tiba saja ia menyebar ke seluruh penjuru mata angin dan menyita perhatian dunia.
Saat virus ini mencapai puncak popularitasnya secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun terbirit-birit menyatakannya sebagai sebuah pandemi global pada 11 Maret 2020 di tengah membludaknya jumlah kasus Corona (Rehiya Sebayang, CNBC Indonesia, 12/03/2020).
Tak lama kemudian, Indonesia pun terdampak pandemi ini. Kasus pertama yang tercatat berasal dari seorang guru dansa berusia 31 tahun. Ia terinfeksi virus corona setelah berdansa dan mengadakan kontak langsung pada 14 Februari 2020 dengan WNA asal Jepang yang positif Corona (Tantiya Nimas, Merdeka.com, 02/04/2020). Sejak saat itu lonjakan kasus positif Corona terus meningkat tak kenal ampun.
Pandemi Covid-19 telah dan sedang merubah seluruh aspek kehidupan masyarakat. Selain merenggut banyak nyawa, ia juga mempengaruhi kondisi ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, politik, hukum, kebijakan nasional hingga pendidikan. Pembatasan aktivitas terjadi di mana-mana, mulai dari aktivitas niaga, pasar, kerja hingga sekolah.
Dengan keluarnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Presiden Jokowi, aktivitas pendidikan di sekolah-sekolah banyak yang terhenti atau terhambat. Proses pembelajaran tatap muka diganti dengan pembelajaran online dari rumah masing-masing.
Perubahan seketika ini memaksa keluarga siswa yang tidak mampu untuk memiliki gadget atau laptop untuk proses pembelajaran. Sarana-sarana teknologi tersebut harus dipenuhi agar menunjang tuntutan pembelajaran sekolah. Mereka yang tidak memilikinya tidak akan mendapatkan akses kepada pelajaran, dan jika demikian, yang bersangkutan pun tidak akan mendapatkan nilai. Secara lebih jauh, pendidikan pun terhenti.
Ketersediaan sarana teknologi untuk pembelajaran bukan menjadi satu-satunya masalah yang perlu diperhatikan. Setelah melengkapi kebutuhan tersebut, para orang tua siswa disibukkan lagi dengan ketersediaan kuota internet agar anaknya bisa mengikuti pelajaran secara online. Situasi ini menambah beban budget domestik di dompet keluarga-keluarga tak mampu. Tak heran, anggaran untuk makan dan kebutuhan sehari-hari pun harus dipangkas demi menyanggupi tuntutan baru tersebut.
Kuota internet kini menjadi sebuah kebutuhan baru. Ia bukan sebuah pilihan fakultatif. Ini merupakan kewajiban pedagogik yang perlu disanggupi oleh para peserta didik dan tenaga pendidik. Pendidikan kini niscaya membutuhkan kuota.
Keluarga-keluarga kurang mampu terancam tidak mendapatkan akses pembelajaran karena tak sanggup membeli kuota internet selama beberapa bulan ke depan. Jumlah mereka tidak sedikit. Para peserta didik ini haus akan kuota sebagaimana haus akan akses pendidikan.
Subsidi Kuota Internet: Sebuah Kabar Baik
Sebuah kabar baik datang dari Mendikbud Nadiem Makarim. Kementrian Pendidikan telah menganggarkan dana sebesar Rp. 7,2 triliun dalam bentuk subsidi kuota internet yang ditujukan bagi para pendidik (guru, dosen) dan peserta didik (siswa, mahasiswa). Subsidi ini rencananya berlaku selama empat bulan demi menunjang proses kegiatan belajar-mengajar daring (Haryanti Puspa Sari, KOMPAS.com, 27/08/2020).
Distribusi kuota internet ini diasumsikan mampu membantu nasib pendidikan dari keluarga kurang mampu, sekurang-kurangnya untuk mendapatkan akses pada kegiatan pembelajaran via internet. Namun, bentuk dukungan semacam ini perlu dikawal secara bersama-sama untuk mencapai feedback yang optimal dan menghindari penyalahgunaan demi kepentingan segelintir oknum.
Penulis melihat pentingnya tiga pertimbangan berikut. Pertama, kebijakan ini harus benar-benar menyentuh kelompok sasar. Penikmat utama dari kebijakan ini haruslah segenap peserta didik, khususnya mereka dengan keterbatasan ekonomi. Oleh karena itu, kuota yang diberikan harus dalam bentuk pulsa yang dikirim langsung ke nomor pribadi mereka. Bila bantuan ini diberikan dalam bentuk tunai, dan melalui perantara, besar kemungkinan akan terjadi kecurangan dan manipulasi oleh segelintir oknum.
Selain itu, prioritas dari pemberian bantuan ini adalah mereka yang ekonominya terdampak secara kuat oleh pandemi Covid-19. Mereka inilah yang paling haus akan kebutuhan akses pendidikan. Usaha pemerataan bantuan perlu dikritisi apabila proporsi penikmatnya lebih banyak dari mereka yang “ingin dibantu” dari pada mereka yang “butuh dibantu”.
Yang ‘ingin dibantu’ bisa siapa saja, termasuk orang-orang berkecukupan yang rugi untuk mengambil sedikit dari kekayaannya untuk kepentingan sendiri. Mereka yang ‘butuh bantuan’ adalah pihak yang memang sedang membutuhkan bantuan untuk bisa bertahan di tengah krisis.
Kedua, perihal perbaikan kualitas pembelajaran selama pandemi. Suntikan dana untuk kuota internet tidak sekedar membantu ekonomi keluarga kurang mampu. Visi utama kebijakan ini adalah menopang daya inovatif dan kreatif pendidik dalam menyediakan metode dan materi pembelajaran yang edukatif dan menyenangkan.
Guru diharapkan mampu menggunakan seluruh kemudahan dan akses pembelajaran untuk kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, mekanisme pembelajaran konvensional di ruang kelas harus diubah ke mekanisme pembelajaran virtual yang kontekstual, teknologis, partisipatif, dan berjejaring.
Di sisi lain, fungsi kontrol guru bersama orang tua terhadap peserta didik masih perlu ditingkatkan. Kuota internet harus digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Akses internet membuka peluang besar untuk mendapatkan informasi atau tontonan yang tidak layak dikonsumsi oleh usia-usia peserta didik.
Dampak ini harus diminimalisir dengan kontrol yang bijak dari para pendamping sesuai dengan situasi dan keadaan yang ada.
Ketiga, pengembangan dan pemberdayaan infrastruktur pendukung. Program dari Nadiem Makarim akan sia-sia belaka jika tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai. Untuk dapat mengakses internet, diperlukan infrastruktur jaringan internet.
Masih banyak daerah yang belum tersentuh program-program pembangunan. Hal ini diperparah dengan kondisi geografis daerah bersangkutan. Di daerah Lembata, NTT misalnya, para siswa harus terlebih dahulu memanjat pohon atau mendaki sebuah bukit untuk mendapatkan sinyal dan mengikuti kegiatan pembelajaran sekolah.
Pemerataan pembangunan harus menjadi sektor yang perlu diperhatikan untuk menunjang hak warga negara atas pendidikan yang layak. Pembangunan yang terakumulasi di pusat kini harus beralih ke daerah-daerah pinggir. Bila pemerataan pembangunan ini tercapai, maka kesempatan dan peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan formal bisa tercapai.
Oase Pendidikan
Pemerintah harus segera mengentaskan kehausan para peserta didik untuk mendapatkan akses pendidikan. Kebijakan subsidi kuota internet ini tampak seperti sebuah oase yang melegakan di tengah krisis pandemi global. Dengan adanya oase ini, para orang tua tak lagi cemas akan nasib dan hak pendidikan anaknya.
Pendidikan tak boleh terhenti di tengah krisis sekalipun. Upaya-upaya, juga selain pemberian subsidi internet, penting untuk dikerahkan.
Di samping itu, semua pihak, mulai dari lembaga pendidikan, pemerintah, pendidik, dan peserta didik harus terus menjaga api pengetahuan untuk terus bernyala.
Pembelajaran online atau homeschooling membantu para siswa untuk tetap menyantap sebanyak mungkin pengetahuan di tengah krisis.
Kita memang tidak tahu kapan suatu pengetahuan yang kita pelajari dapat diterapkan secara efektif. Namun, bersama Ethan Siegel kita boleh yakin bahwa, semakin komprehensif kita mempelajari dunia, semakin efesien kita mendapatkan solusi atas krisis atau masalah tak terduga di masa depan, bahkan yang jauh lebih parah dari pandemi Covid-19.
Artikel Lainnya
-
45309/10/2023
-
97202/12/2022
-
103426/11/2021
-
Catatan Redaksi: Tegakkan Korupsi Atau Mati Syahid
132726/09/2020 -
261317/02/2021
-
Omnibus Law, Oligarki, dan Krisis Ekologis
376914/02/2020