Indonesia Jangan Musuhi Tiongkok

Mahasantri Ma'had Aly Situbondo dan Mahasiswa S2 Pascasarjana Universitas Ibrahimy Situbondo
 Indonesia Jangan Musuhi Tiongkok 26/11/2020 1436 view Lainnya kate.id

Dalam suatu kesempatan webinar, Dahlan Iskan mengungkapkan pandangannnya mengenai hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Kebetulan, webinar tersebut digelar kawan-kawan PCINU Tiongkok yang sebelumnya sempat distigmakan sebagai antek-antek Cina. Sebab, segala informasi tentang Tiongkok yang mereka suarakan ditengarai bertolak belakang dengan persepsi umum masyarakat Indonesia selama ini.

Webinar tersebut bertemakan Diplomasi Santri, Menebar Ukhuwah Lintas Bangsa Indonesia-Tiongkok. Dalam pengantarnya, moderator menggambarkan hubungan kedua negara seperti kuat di atas, tetapi rapuh di bawah. ‘Kuat di atas’ merujuk pada keintiman hubungan antar-elitenya. Sedangkan ‘rapuh di bawah’ mencerminkan kondisi kalangan akar rumput Indonesia maupun Tiongkok, yang masih saling anti dan mencurigai satu sama lain.

Dahlan Iskan, yang akrab disapa Abah, menilai gambaran hubungan Indonesia-Tiongkok tersebut bersumber dari ketidakpahaman masing-masing pihak. Masyarakat Indonesia tidak memahami apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Begitu pula orang-orang Tionghoa tidak memahami apa yang menjadi prinsip-prinsip masyarakat Indonesia.

Guna menguatkan pernyataannya, Abah Dahlan menyajikan dua cerita sebagai ilustrasi. Pertama, cerita koleganya, seorang Tionghoa, yang hendak melayat salah satu wartawannya. Sedangkan kematian sang wartawan yang notabene beragama Islam, telah berselang tiga hari. Jelas ini menunjukkan bahwa koleganya itu tidak mengerti orang Islam yang begitu meninggal harus segera dimakamkan. Beda halnya orang Tionghoa yang pemakamannya biasa ditangguhkan sampai berhari-hari.

Lalu, cerita seorang pengusaha Tionghoa, juga temannya Pak Dahlan. Ia mengaku begitu bahagia melihat ibunya dapat mengisi masa tua dengan hobi berjudi. Barangkali bagi orang Islam yang meyakini judi itu dosa, akan menanggapi sinis pengakuan si pengusaha tadi. Padahal, bagi orang Tionghoa, judi dianggap sesuatu yang lumrah dan bukan dosa.

Lebih lanjut, Abah meyakini masih banyak yang beranggapan bahwa Tiongkok itu komunis seperti halnya PKI. Sementara menurutnya, komunis di Tiongkok justru sekadar memanfaatkan komunisme. Lagi-lagi, guna menguatkan pendapatnya, Abah memaparkan secara gamblang asal muasal komunisme. Spesifik menyangkut sejarah komunisme di Tiongkok.

Abah menjelaskan bahwa pada awalnya, ideologi komunis yang semula muncul sebagai simbol perlawanan buruh, terbentur pada kenyataan di Tiongkok kala itu. Pasalnya, pada waktu itu buruh di Tiongkok terbilang sedikit, dan yang banyak itu para petani. Maka, begitu ide ini diterima di Tiongkok, komunisme tidak hanya diperuntukkan bagi buruh, tetapi juga bagi petani. Hal ini yang kemudian melahirkan istilah buruh tani.

Jadi, komunisme di Tiongkok berbeda dengan komunisme yang ada di Uni Soviet atau Rusia saat ini. Kalau komunisme di Rusia basisnya buruh, sedangkan basis komunisme di Tiongkok adalah buruh tani.

Akan tetapi, penerapan ide komunis di Tiongkok gagal total, termasuk di zaman Mao Tse-Tung atau Mao Zedong (pendiri Republik Rakyat Tiongkok atau RRT). Ideologi komunisme tidak berhasil mengatrol kemiskinan di Tiongkok yang semakin hebat. Hingga kemunculan seorang tokoh pembaharu bernama Deng Xiaoping.

Dengan berlatar pendidikan di Prancis, pemikiran Deng Xiaoping banyak terpengaruh ide-ide kapitalisme Prancis. Sekalipun dalam sejarahnya, ia menutup rapat-rapat hal tersebut, karena itu sama saja dengan bunuh diri. Masyarakat Tiongkok yang telah bersepakat menganut komunisme, tentu akan membunuh Deng Xiaoping jika mengaku sebagai seorang kapitalis.

Sepeninggal Mao Tse-Tung, pucuk pimpinan tertinggi RRT digantikan oleh sosok Deng Xiaoping. Sebagai sosok pemimpin hebat, ia tidak blak-blakan menyebut kegagalan komunisme Tiongkok tersebut. Ia sekadar melontarkan pernyataan fenomenal dan menjadi mantra pertamanya.

Mantra pertama Deng Xiaoping menyatakan, "tidak peduli kucing itu berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus". Maksudnya, Deng Xiaoping tidak peduli ideologi apa yang digunakan, entah komunis ataupun kapitalis, yang penting rakyatnya sejahtera. Dengan demikian, sistem pemerintahan Tiongkok tetap ia biarkan komunis. Namun, dalam praktik kepemimpinannya, Deng Xiaoping tidak lagi menggunakan cara-cara komunis.

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa komunisme Tiongkok sekarang ini komunis yang berbau kapitalis. Lugasnya, Tiongkok secara politik masih komunis, tetapi secara ekonomi telah sangat kapitalis. Meskipun kapitalisme Tiongkok bukanlah kapitalis murni.

Setelah dirasa cukup berhasil membangun ekonomi Tiongkok dan mengangkat taraf hidup rakyatnya, Deng Xiaoping kembali melontarkan mantranya yang kedua. Bahwa "menjadi kaya itu mulia atau terhormat".

Di sini Abah mengajak peserta webinar membayangkan paradoksal mantra kedua Deng Xiaoping dengan status Tiongkok sebagai sebuah negara komunis. Ide dasar komunis yang semestinya bertujuan melawan orang-orang kaya, justru Deng Xiaoping selaku pemimpin tertinggi komunis Tiongkok, memfatwakan agar rakyatnya bekerja keras untuk kaya. Terbukti, Tiongkok akhirnya sukses menjadi negara yang kaya raya.

Sepeninggal Deng Xiaoping, Jiang Zemin mencatatkan diri sebagai pemimpin ketiga RRT. Layaknya pemimpin baru, ia pun mengeluarkan mantra baru. Mantra Jiang Zemin berbunyi, "komunisme Tiongkok adalah komunisme tiga kaki (buruh, tani, dan pengusaha)."

Hal ini gila menurut Abah, karena bagaimana mungkin komunis memiliki tiga kaki yang salah satunya pengusaha. Aslinya, pengusaha yang notabene kapitalis, merupakan rival komunis. Kendati demikian, Tiongkok malah tambah maju dan sejahtera.

Anomali komunisme Tiongkok berlanjut di bawah kepemimpinan Hu Jintao. Pewaris tahta Jiang Zemin ini melihat "komunisme tiga kaki" perlu diperkuat dengan menambahkan kaki satu lagi. Kaki keempatnya adalah ilmu pengetahuan, sehingga segalanya harus sesuai dengan ilmu pengetahuan. Apapun yang tak berdasarkan ilmu pengetahuan tidak boleh dilakukan.

Pada titik ini agama kemudian menjadi problem. Sebab, kenyataannya tidak semua hal menyangkut agama dapat diukur dengan ilmu pengetahuan. Namun, hemat Abah, "komunisme empat kaki" Tiongkok merupakan tantangan bagi umat Islam untuk mengampanyekan agama Islam yang sesungguhnya kompatibel dengan ilmu pengetahuan.

Sebagai pemungkas, setidaknya ada dua pesan Abah Dahlan yang begitu penting direnungkan. Pertama, Abah berpesan kepada segenap diaspora muslim Indonesia yang tinggal di Tiongkok supaya menjadi wali sanga di sana. Persisnya, jangan bersikap keras sebagaimana Salafi Wahabi dan sejenisnya. Dengan begitu, diharapkan masyarakat Tiongkok dapat melihat image hakiki umat Islam juga bangsa Indonesia, yang ramah dan toleran.

Pesan selanjutnya, karena Tiongkok diprediksi sepuluh tahun lagi akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia, maka sudah seharusnya bangsa Indonesia mengantisipasi momentum tersebut. Abah menganalogikan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia, ibarat vacuum cleaner yang akan menyedot bebatuan kecil di sekitarnya.

Terlebih, dengan letak geografis tidak terlalu jauh dari Tiongkok, Indonesia mesti berupaya menjadi batu besar agar tidak mudah dihisap Tiongkok. Adapun satu-satunya cara Indonesia untuk dapat menjadi batu besar ialah dengan terus maju. Bahkan, seyogianya Indonesia juga harus menjadi vacuum cleaner yang mampu menyedot Tiongkok.

Selain itu, dalam rangka mengimbangi kekuatan besar Tiongkok tersebut, sudah saatnya masyarakat Indonesia lebih membuka diri untuk memahami atau mempelajari attitude dan budaya mereka yang jelas-jelas berbeda dengan kita. Bukan malah memusuhi mereka, pungkas Abah.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya