Pernikahan Usia Dini: Menyikapi Perkara Dilematis
Kekerasan seksual merupakan problem sosial yang sering terjadi, dalam beberapa kasus bahkan sampai terjadi pembunuhan terhadap korban. Banyak motif yang melatar belakanginya, mulai dari minimnya pendidikan, kultur sosial, kurangnya monitoring orang tua, sampai motif terselubung juga ikut menandainya, semisal demi melaksanakan ajaran agama.
Motif terakhir ini cukup risih untuk didengar, pasalnya ada sebagian kasus kekerasan seksual dengan bermotifkan ajaran Islam demi menutupi hasrat libidonya. Hal ini bisa dilihat dalam banyaknya kasus pernikahan usia dini di kalangan remaja, kekersan dalam rumah tangga, pemerkosaan yang terjadi dalam pondok pesantren. Bahkan sampai kelompok ISIS pun pernah melakukan pemerkosaan dengan bermotifkan ajaran Islam. Begitu parahnya problem ini, sehingga butuh kajian serius untuk membahasnya.
Berdasarkan sekelumit alasan tersebut, tulisan ini hendak mengupas secuil kasus kekerasan seksual dengan bermotifkan ajaran agama sebagai selubung dari hasrat seksual tak terbendung yang merupakan motif sebenarnya, yaitu kasus pernikahan usia dini. Meski motif ini bukanlah motif utama, setidaknya motif inilah yang menarik.
Pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang keduanya masih dalam usia remaja, sehingga pernikahan tersebut dilakukan tanpa adanya kesiapan secara lahir maupun batin. Dengan kata lain, pernikahan ini dilakukan tanpa mempertimbangkan kematangan ekonomi maupun mental.
Majelis Ulama Indonesia pernah mengeluarkan fatwa mengenai kasus ini, tepatnya fatwa tersebut muncul dalam rangka memberi respon terhadap banyaknya diskusi yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai pernikahan dini. Diskusi ini dilatarbelakangi oleh seorang pengusaha di Jawa Tengah yang melangsungkan pernikahan dengan perempuan yang masih berusia 12 tahun. Bahkan, kehangatan diskusi ini sampai pada taraf membenturkan hukum Islam dengan hukum positif.
Paradoks ini tampak tatkala hukum Islam tidak membatasi usia untuk melangsungkan akad nikah, sementara pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menegaskan bahwa pernikahan hanya diizinkan apabila pihak laki-laki telah mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan telah mencapai usia 16 tahun. Hal ini menjadi suatu dilema bagi sebagian masyarakat, sehingga tak jarang masyarakat mengacuhkan salah satunya.
Respon MUI ini melahirkan beberapa poin dalam menetapkan kasus pernikahan dini, klasifikasinya sebagai adalah pertama, pada dasarnya, Islam tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan secara definitif. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyah al-ada’ wa al-wujub), sebagai ketentuan sinnal-rusyd.
Kedua, pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat. Kedewasaan usia merupakan salah satu indikator bagi tercapainya tujuan pernikahan, yaitu kemaslahatan hidup berumah tangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan.
Ketiga, guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan kepada standarisasi usia pernikahan sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai pedoman.
Selain putusan tersebut, Majelis Ulama Indonesia juga memberikan beberapa rekomendasi, antara lain adalah pertama, untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini yang berdampak pada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan dan hikmah pernikahan, pemerintah diminta untuk lebih meningkatkan sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kedua, pemerintah, ulama, dan masyarakat diminta untuk memberikan sosialisasi tentang hikmah perkawinan dan menyiapkan calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan.
Ketiga, ketentuan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan ketentuan fikih Islam mengenai pernikahan dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tantang Perkawinan perlu disinkronisasi.
Di antara keputusan MUI tersebut adalah pernikahan usia dini hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat. Putusan tersebut jikalau dikaji metodologi pengambilan hukumnya, dapat dilihat bahwa salah satunya menggunakan Maslahah al-Mursalah berdasarkan indikasi dari kata mudharat. Maslahah al-Mursalah adalah salah satu istilah dalam ilmu ushul fikih yang dapat memproduksi suatu hukum Islam. Secara gamblang Maslahah al-Mursalah dapat dipahami sebagai kemaslahatan yang terlepas dari pensyariatan hukum Syari’ (Allah dan Rasulnya) dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas dinilainya maslahat tersebut atau diabaikan.
Sebagai contohnya adalah pembuatan penjara oleh para sahabat untuk menghukum para pelaku pidana, pembuatan mata uang, dan pemungutan pajak oleh negara. Keseluruhan contoh tersebut adalah penerapan kemaslahatan murni oleh para sahabat tanpa berlandaskan dalil Al-qur’an dan sunnah sama sekali, karena kemaslahatan tersebut telah ditunjukkan oleh dalil aksioma yang merupakan representatif dari sumber hukum Islam secara universal (Kulli). (Abdul Wahab Khollaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 84)
Oleh karena itu, MUI menetapkan hukum haram pada pernikahan dini apabila mengakibatkan mudharat. Karena, hal tersebut tidaklah relevan dengan ketentuan yang ada dalam maslahah mursalah sebagai salah satu metode untuk memproduksi hukum Islam. Adapun mengenai rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan yang dimaksudkan oleh MUI, Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab menerangkan sebagai berikut:
أركانه خمسة زوج وزوجة وولي وشاهدان وصيغة
Rukun nikah ada 5, yaitu: calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, sighat.
Karena yang berkenaan dengan pernikahan dini cuma rukun pertama dan rukun kedua, maka syarat-syarat yang akan dikupas cuma akan diterangkan pada dua rukun tersebut. Syarat untuk calon mempelai laki-laki adalah berupa orang yang halal untuk menikah (tidak sedang ihram), tidak ada unsur paksaan, orangnya tertentu, dan mengetahui kehalalan calon mempelai wanita tersebut untuknya. Sementara syarat untuk calon mempelai perempuan adalah berupa orang yang halal untuk menikah, orangnya tertentu, dan tidak bersuami ataupun tidak sedang iddah.
Berdasarkan keterangan dalam kitab tersebut, menjadi jelaslah bahwa pernikahan dini telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, jangankan usia, ciri balig yang merupakan indikator kedewasaan seseorang bukanlah merupakan syarat sahnya nikah menurut Syekh Zakaria al-Anshari yang bermadzhab Syafi’iyyah itu. Namun, kalau melihat pada banyaknya fakta yang terjadi di lapangan, pernikahan dini kerap kali dilakukan oleh seorang remaja yang belum berkecukupan cuan. Sehingga, tak jarang berujung dengan perceraian yang tragis.
Menurut beberapa ahli penyebab perceraian itu karena pasangan suami istri masih berusia muda dan kurang mampu mengontrol diri. Ketika diterpa persoalan, pasutri usia muda memilih berpisah. Ini karena mereka belum mencapai taraf usia dewasa. Telah banyak fakta dan penelitian yang mengungkapkan dampak buruk dari pernikahan usia muda, baik dari aspek kesehatan, psikologis, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.
Fakta-fakta tersebut bertolak belakang dengan kemaslahatan yang menjadi sumber disyariatkannya hukum Islam. Kendatipun hukum pernikahannya tetap berstatus sah, namun haram berdasarkan faktor eksternal (haram lighairihi). Faktor tersebut adalah kondisi terhimpitnya ekonomi, kandungan yang tidak sehat, serta kondisi-kondisi mudharat lainnya. Sebagaimana diketahui dalam keilmuan ushul fikih bahwa hukum haram ada 2 macam, yaitu haram lidzatihi dan haram lighairihi.
Haram lidzatihi maksudnya adalah barang atau perilaku itu sendiri mengandung kerusakan (mafsadah) dalam dirinya, oleh karena itu diharamkan. Misalnya mencuri, berzina, minum khamr, berjudi, dan lain-lain. Sementara maksud dari haram lighairihi adalah barang atau perilaku itu sendiri tidak mengandung mafsadah dalam dirinya, melainkan mengandung kerusakan karena faktor eksternal. Misalnya melakukan transaksi jual beli di hari Jum’at menjelang pelaksanaan shalat Jum’at, shalat menggunakan sajadah hasil curian, keharaman alat musik, dan lain sebagainya.
Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pernikahan dini adalah merupakan kategori jenis haram yang kedua. Dengan demikian, pernikahan dini berstatus sah secara hukum. Namun, tidaklah dianjurkan karena faktor eksternal, hal ini jika mengakibatkan mudharat karena banyak juga kasus nikah dini malah mendatangkan maslahat, semisal dibacking oleh kedua orang tuanya yang kaya raya serta kedua calon pasutri tersebut sudah matang mental dan fisik, meski usia tidak terlalu matang. jika demikian, tentu tidaklah diharamkan. Wallua’lam
Artikel Lainnya
-
311031/08/2021
-
409824/04/2021
-
425103/10/2019
-
Jokowi 404 Not Found: Kontroversi dalam Media Aspirasi
108623/08/2021 -
Pilkada dan Kualitas Seorang Pemimpin
30207/08/2024 -
Sampah dan Kesadaran Etis Masyarakat Kita
211613/07/2020
