Menyoal Revolusi Hijau di Tengah Industri 4.0

Menyoal Revolusi Hijau di Tengah Industri 4.0 11/12/2019 2423 view Ekonomi 123rf.com

Industri 4.O saat ini telah bergerak secara masif dan dinamis. Bidang keilmuan pengetahuan dan teknologi berkembang secara cepat dengan segala perubahan sosial yang dibawa. Salah satu perubahan sosial yang dibawa adalah culture shock atau ketidaksiapan sumber daya manusia (SDM) dalam menerima perubahan.

Perubahan-perubahan yang dibawa industri 4.O menjadi rekonstruksi revolusi hijau yang telah dihadapi bangsa Indonesia sejak orde baru. Revolusi hijau dan industri 4.O memiliki relasi yang tak terbantahkan. Jika dikomparasikan keduanya memiliki makna yang sama sebagai titik nadir urgensinitas periodisasi. Lantas, bagaimana perkembangan revolusi hijau di tengah industri 4.O saat ini?

Revolusi hijau merupakan perubahan teknologi dalam industri pertanian, pergeseran dari sistem pertanian tradisional menuju sistem pertanian modern. Adapun dalam revolusi hijau varietas tanaman hanya terfokus pada beras yang kemudian dapat disebut dengan monokultur.

Revolusi hijau muncul dari pemikiran Maltus, dimana pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat daripada produktivitas pangan. Pertumbuhan penduduk disebut dengan deret hitung sedangkan produktivitas pangan disebut dengan deret ukur.

Pertumbuhan penduduk bergerak secara cepat dan dinamis, Maltus menyebut pertumbuhan penduduk dengan deret hitung yang beregerak dari angka 1, 2, 4, 8, 16, 32, dst. Sedangkan produktivitas pangan disebut dengan deret ukur yang bergerak dari angka 1, 2, 3, 4, 5, 6.

Berdasarkan teori Maltus tersebut, ketahanan pangan perlu dihitung untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, terobosan baru perlu dicanangkan untuk menyeimbangkan antara penduduk yang semakin membludak dan produktivitas pangan yang bergerak perlahan. Maka muncullah revolusi hijau, yang mengoptimalkan produktivitas pangan dengan bibit unggul.

Revolusi hijau di Indonesia telah berkembang sejak periode orde baru. Revolusi hijau masuk kedalam program pemerintah yang dikenal dengan sebutan BIMAS (Bimbingan Masyarakat).

Pada program tersebut pemerintah gencar melakukan sosialisasi dan penyuluhan menggunakan bibit unggul yang disiapkan oleh pemerintah. Akibatnya, para petani mengalami culture shock atau ketidaksiapan terhadap hal baru, dimana bibit yang biasanya di dapat dari benih asli petani harus berganti menggunakan benih yang telah disiapkan pemerintah.

Berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 1992, petani memiliki kebebasan dalam memilih jenis tanaman. Akan tetapi, ayat tersebut dibantahkan dengan ayat yang menuntut petani untuk mengikuti jenis tanaman yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Refleksi dari program tersebut menyebabkan banyak dampak baik dampak negatif ataupun positif. Salah satu dampak positif dari program revolusi hijau versi Indonesia adalah meningkatnya produksi pangan. Namun dampak negatif yang ditimbulkan lebih banyak, utamanya berdampak pada kerusakan lingkungan.

Pencemaran tanah akibat penggunaan bahan kimia mengurangi kualitas tanah. Hal tersebut akibat minimnya pengetahuan petani mengenai dampak penggunaan bahan kimia dan pestisida. Penyuluhan dari pemerintah hanya secara umum, tidak mengakar hingga resiko dampak negatif yang dtimbulkan.

Lantas, bagaimana revolusi hijau di tengah industri 4.O saat ini? Industri 4.O telah memainkan peran dalam segala bidang keilmuan, tak hanya ilmu pengetahuan dan teknologi namun merambah dunia perekonomian, pendidikan, hukum dan sosial budaya.

Dampak yang paling terasa akibat revolusi hijau dalam kaitannya dengan industri 4.O adalah dunia perekonomian. Segmen pasar saat ini dipengaruhi oleh teknologi tinggi hasil industri 4.O. Permainan pasar menjadi realitas semu atau hiperealitas, dimana ketidakteraturan mewarnai perekonomian saat ini.

Pada masa orde baru, revolusi hijau berhasil menjadi program swasembada dimana masyarakat dapat mencukupi kebutuhan pangan beras sendiri tanpa impor dari luar negeri. Namun saat ini, ketergantungan negara Indonesia sebagai negara pengimpor beras dari negara lain semakin meningkat.

Secara nyata, peristiwa yang terjadi baru-baru ini dimana Badan Urusan Logistik (BULOG) yang membuang beras 20.000 ton beras merupakan cerminan gagalnya revolusi hijau ditengah industri 4.O ini. Industri 4.O memainkan peran pasar dengan luasnya jaringan dan mudahnya akses informasi dengan teknologi tinggi yang menjadi identitasnya.

Revolusi hijau yang semula bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pangan berubah menjadi permainan pasar untuk menguntungkaan pihak tertentu. Dengan demikian, peran pemerintah dibutuhkan untuk membongkar kelompok ekonomi tertentu yang merugikan pemerintah dan masyarakat.

Industri 4.O, harus disikapi secara bijak terutama peningkatan kualitas sumber daya manusia. Jika sumber daya manusia berkualitas, maka periodesasi zaman apapun akan dihadapi dengan bijak.

Oleh karena itu, sistem atau struktur masyarakat harus bervariasi dengan varietas yang heterogen. Tujuan yang diharapkan, bangsa indonesia mampu memenuhi tiga masalah utama mengenai pangan yaitu ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya