Manipulasi Emosi Gegara Media Sosial
			      	
			      	
			      	
			      	Dewasa ini, masifnya perkembangan internet tidak terlepas dengan kemunculan platform aplikasi media sosial. Hadirnya beragam aplikasi media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, WhatsApp, dan sebagainya menjadikannya sebagai media berkomunikasi dan berbagi informasi terpopuler pada abad ke-21. Hal ini sangat memudahkan bagi setiap orang yang memiliki hasrat terhubung sebagai warga dunia.
Kehadiran media sosial bisa membawa berkah sekaligus bencana jika tidak dikelola dengan bijak. Sisi berkahnya, mereka bisa bertukar pengetahuan atas kondisi geografis dan geopolitik suatu negara. Alih-alih membahas demikian, transfer pengenalan dan pemahaman budaya di antara kedua pihak sangat mungkin terjadi asalkan terhubung dengan internet. Fitur obrolan, unggah story, dan publish konten menjadi menu wajib bagi sosial media agar tetap eksis.
Sementara, masih ada aplikasi media sosial yang hanya menyediakan fitur tertentu, seperti Interpals dan Penpals. Menariknya, aplikasi ini masih menjadi wadah komunikasi khusus komunitas sahabat pena sedunia. Selain itu, aplikasi ini sangat cocok bagi orang yang berminat belajar bahasa asing dan kurang tertarik dengan aktivitas media sosial.
Kekuatan media sosial semakin menguat berkat pandemi Covid-19. Pemerintah sukses memanfaatkan media sosial untuk mengedukasi masyarakat tentang seluk beluk virus Corona. Melalui strategi ini, diharapkan masyarakat merasa aman saat menjalani rutintitas tanpa menyepelekan bahaya virus Corona. Bahkan organisasi filantropi, instansi pendidikan, partai politik, organisasi kepemudaan, organisasi kemasyarakatan, dan perusahaan start-up juga memanfaatkan sosial media sebagai pusat informasi dan strategi menanggulangi Covid-19.
Harus diakui, meningkatnya penggunaan media sosial berdampak terhadap kesehatan mental.. Jika memiliki ketahanan jiwa yang kokoh, hal ini tidak menjadi masalah ketika menerima beragam posting dan komentar dari warganet. Yang menjadi masalah ialah ketika seseorang yang memiliki ketahanan jiiwa yang rapuh, sehingga masalah psikologis pun terjadi.
Media sosial memberikan peluang kepada pengguna berperan sebagai produsen, distributor, dan konsumen informasi. Akibatnya, banjir infomasi menjadi tak terbendung. Pemicu banjir informasi bisa dilakukan siapapun. Kadangkala informasi yang tersebar tidak sepenuhnya objektif dan bahkan terdapat berita hoaks. Oleh karena itu, kita perlu menguatkan budaya literasi dan memverifikasi setiap informasi yang datang agar tidak terjadi kesalahan memahami dan menyebarkan informasi.
Pemicu banjir informasi disebabkan akibat era post-truth. Dosen Ilmu Komunikasi UGM, Zainuddin, dikutip dari balairungpress.com (28/11/2019), menyatakan bahwa post-truth ialah situasi di mana kebenaran informasi dari para ahli terabaikan. Hal ini terjadi karena semua orang dapat memproduksi dan menyebarkan informasi apapun pada publik. Fenomena berita konspirasi, berita hoax dan pseudo-science merupakan contoh dari post-truth. Akibatnya, terjadilah kekacauan infomasi yang menyebabkan masyarakat sulit memilah informasi yang beredar.
Zainuddin membagi atas tiga jenis kekacauan informasi, yakni misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi ialah penyebaran informasi keliru dilakukan pada orang yang tidak tahu bahwa informasi itu salah. Disinformasi ialah penyebaran informasi keliru pada orang yang mengakui bahwa informasi itu salah. Malinformasi ialah penyebaran informasi yang benar dengan tujuan menyerang individu dan kelompok tertentu.
Merebaknya kekacauan informasi mampu menurunkan mutu jurnalisme itu sendiri. Jurnalis seharusnya memiliki critical thinking untuk mengolah informasi sebelum memasuki tahap publikasi. Septian Aji Nugroho, biasa dipanggil Aji, menambahkan bahwa sikap kompetitif bisnis media mainstream merupakan pangkal kekacauan informasi, alih-alih mereka melaksanakan kode etik jurnalistik.
Momen pandemi Covid-19 merupakan titik kritis masyarakat memperoleh kebenaran informasi. Beragam narasi yang menyesatkan menjadi konsumsi publik dan diyakini kebernarannya. Kemudian, narasi tersebut dibagikan ke media sosial supaya mendapat kicauan dari warganet. Parahnya lagi, sosial media dapat menjadi ‘jalan tol’ untuk menyebarkan informasi sesat bin menyesatkan. Akibatnya, terjadilah gangguan emosi manusia gegara sosial media.
Serangan akun pribadi, ujaran kebencian, dan menyebarkan berita palsu merupakan salah satu dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental seseorang. Sindrom insecure, gila hormat, rasa dengki, dan kekerasan verbal marak terjadi saat mengakses sosial media. Pengguna media sosial juga berpotensi mengindap sindrom narsisme dan korban narsisme saat mengakses media sosial.
Kondisi narsisme terjadi bila seseorang haus pujian atas capaian mereka, lalu memamerkan atas capaian terbaik mereka pada semua orang. Sementara sindrom korban narsisme terjadi bila seseorang tersakiti gegara komentar negatif orang lain. Hal ini bisa terjadi pada sosial media karena arus peredaran informasi saat ini serba virtual.
Baru-baru ini kita mendengar berita dari kompas.com (2/12/2020) bahwa kediaman ibunda Mahfud Md di Pamekasan diserbu oleh oknum massa yang berartibut FPI. Sontak peristiwa ini membuat Mahfud Md berang. Menurut hematku, kemungkinan besar kejadian ini merupakan siasat lawan untuk menjatuhkahnya. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan perilaku keji lewat media sosial. Sontak, berita tersebut sukses memancing emosi warganet dengan beragam komentar.
Alih-alih membahas berita tersebut, kemudian ada berita hoaks lain yang menjelaskan seputar Covid-19, sebagaimana dimuat dalam detikheatlh (22/7/2020). Beberapa kesalahan pemahanan informasi seputar Covid-19 yang sering terdengar, yaitu mitos bawang putih, meninum air putih setiap 15 menit, mitos thermo gun merusak otak, dan mandi air panas bisa bunuh virus. Alih-alih berhasil membunuh virus, malah tubuh manusia menjadi tumbal gegara menelan informasi keliru tersebut mentah-mentah.
Penguatan budaya literasi dan berpikir kritis menjadi solusi tepat untuk menanggulangi dampak buruk media sosial. Media sosial bak lautan menyimpan sejuta informasi untuk diolah oleh manusia. Oleh karena itu, manusia harus memilah informasi dengan cermat agar tidak salah tangkap. Dengan demikian, kesehatan mental terjaga dari dampak buruk media sosial terhadap kestabilan mental manusia.
Artikel Lainnya
- 
		                      
		                      122814/03/2022
 - 
		                      
		                      94529/03/2020
 - 
		                      
		                      26917/09/2024
 
- 
		                      
		                      
Pemimpin Terpilih, Drama Kekuasaan, dan Tugas Masyarakat
139427/02/2021 - 
		                      
		                      
Adakah Madah Requiem Bagi Lia Eden?
151112/04/2021 - 
		                      
		                      
Harmoni Iman di Tengah Kekerasan
55106/03/2024 
