Yang (Mungkin) Tak Akan Tergantikan

"Mata air lahir dari tanah yang bergolak", begitu kira-kira nasehat Romo Mangun kepada seorang pemuda di Aachen, Jerman, puluhan tahun lalu. Si pemuda sedang dihadapkan dua pilihan, cinta perempuan dan negerinya.
Dua pilihan fatalistis. Menikahi gadis Jerman namun berjarak dengan negerinya. Atau kembali membangun negeri dan berpisah dengan kekasihnya itu.
Ah, tak perlu berpanjang-panjang. Anda sudah tahu ini tentang kisah siapa. Dan sudah paham pilihan apa yang kemudian diambilnya.
"Selamat jalan Pak BJ Habibie. Guru dan teladan bangsa", cuit banyak platform medsos. Ucapan perpisahan ini berdesakan dengan gambar dan untaian jasa besar beliau. Mulai 11 September 2019, kita tak bisa lagi melihat dan bersapa langsung dengan BJ Habibie. Legenda hidup kini sudah berubah menjadi legenda.
Dulu waktu saya kecil, Habibie adalah nama wajib yang disebut bocah TK dan SD ketika ditanya, "besok besar engkau mau jadi apa?"
"Mau jadi Habibie!", lengkap dengan "bisa buat pesawat terbang". Sebuah cita-cita terasa sah dan bergengsi dengan menyebut nama itu berikut kontribusinya.
Dan ketika beliau kembali ke pelukan ilahi, saya meragukan motivasi orang-orang menuliskan ucapan perpisahan. Bukan. Saya tak sedang menuduh kita pura-pura sedih. Kita seutuhnya sedih. Tapi kalau mau jujur, ada hal lain yang hadir bersama perasaan itu. Yakni takut lantaran belum ada pengganti.
Habibie adalah legenda yang sampai kini belum tampak ada penggantinya. Ia sedemikian kokoh mendampingi perjalanan negeri ini. Meski ada cacat, tapi sosok dan apa-apa yang telah diberikannya untuk manusia dan Indonesia, tak bisa dibantah, sangat berharga.
Habibie adalah si jenius imajinatif yang sudah melihat sesuatu saat semua orang belum mampu melihatnya. Futuristik. Saat politisi di zaman itu berbicara bagaimana mempertahankan kemerdekaan, ia telah berpikir bagaimana mengisi kemerdekaan.
"Indonesia negara kepulauan. Kita butuh kapal terbang", ucapnya.
Kecerdasan didedikasikan untuk memecahkan persoalan umat manusia. Dengan sadar mengorbankan tubuh yang sakit demi memecahkan persoalan crack pada pesawat terbang. Temuan paling bermanfaat pada masa itu bagi umat manusia. Dan terus digunakan dan dikembangkan hingga kini.
Ia pun tak pernah ragu menyerahkan hidupnya untuk negeri. Ah, andai kata kita dalam posisi Habibie di atas, entah bagaimana.
Perempuan cantik Eropa, cerdas, baik hati, cocok dalam berkomunikasi. Ilona ia punya nama, sedap betul didengar telinga.
Lalu dihadapkan dengan pilihan lain. Yaitu mengabdi bagi negeri yang baru merdeka, acak-awut, entah beberapa tahun ke depan masih bisa berdiri sebagai negara merdeka. Tapi Habibie memilih negerinya.
Demikianlah seorang tokoh lahir dan berjumpa takdirnya. Tak ada yang lain. Kecerdasan didedikasikan untuk manusia dan negerinya.
Dan ini pula yang kita temukan dengan sosok-sosok besar yang telah meninggalkan kita. Sebut saja beberapa diantaranya Mbah Moen dan KH. Hasyim Muzadi. Kita bukan hanya sedih, tetapi juga takut belum ada ganti. Bahkan barangkali, takut mereka tak akan pernah lagi tergantikan.
Tak ada yang salah. Ketakutan itu demikian beralasan.
Kalau mau sedikit merenung, betapa berubahnya standar penokohan zaman sekarang.
Masih ingat bukan, bagaimana kita berusaha dan memaksa anak muda yang sekolah dan menang lomba bergengsi di luar negeri disama-samakan dengan sosok Habibie. Walau kemudian ketahuan bohong belaka.
Atau baru-baru ini anak muda yang mandaku karyanya cukup mampu berkompetisi dengan film holywood. Dan entah bagaimana kita percaya saja meski kemudian banyak hal meragukan pada kisah besarnya itu.
Berubah. Standar penokohan itu coba diubah. Dari yang semula futuristik, menjadi sekedar memenuhi perubahan zaman. Menang kompetisi riset yang katanya bergengsi. Atau sekolah dan menang lomba di luar negeri. Lalu diliput dan diklaim sebagai tokoh masa depan negeri.
Dari yang semula kemanusiaan, berubah demi kebutuhan pasar. "Inilah tokoh muda inspiratif", kata orang-orang. Hanya lantaran bisa menaklukan persaingan pasar nasional dan global.
Dan yang semula demi negeri, beralih demi profit. "Karya anak bangsa, menyelamatkan jutaan orang dari pengangguran". Kenyataannya tetap sama, penghisapan.
Tapi pertanyaannya sekarang, apa ada yang bisa menghindar dari cengkraman "tuntutan zaman"? Situasi di mana institusi, norma bahkan agama dikendalikan oleh pasar. Bekerja demi hidup dan mempekerjakan untuk keuntungan.
Jika jawabannya hampir mustahil untuk terlepas dari cengkraman ini, maka konsekuensinya pun jelas. Hampir mustahil pula mendapatkan pengganti para tokoh-tokoh itu.
Alih-alih untuk umat manusia dan negeri. Kecerdasan anak bangsa dididik untuk menghasilkan profit pemodal.
Inilah muasal rasa takut yang menyertai rasa sedih ketik mengucapkan rasa bela sungkawa untuk para tokoh bangsa yang berpulang. Diam-diam kita mengakui hal tersebut. Bahwa amat sukar menemukan pengganti mereka.
Jadi jangan takut untuk merasa takut ditinggal para tokoh bangsa. Karena itu amat beralasan.
Artikel Lainnya
-
38810/08/2024
-
34402/05/2024
-
143914/07/2020
-
487905/05/2022
-
Momentum Perubahan Pendidikan Virtual Pasca Pandemi
148115/11/2020 -
151716/05/2020