Tolong! Saya Buta Akan Norma Sosial

Dulu ketika duduk di bangku sekolah dasar, rasanya doktrin “manusia adalah makhluk sosial” sering sekali digaungkan oleh para guru hingga melekat erat di pikiran saya. Manusia adalah makhluk sosial karena manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia yang lain, katanya.
Bertahun-tahun saya hidup dengan menelan doktrin ini mentah-mentah. Wajar saja, karena sekilas tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut. Namun belakangan ini, dengan banyaknya kejadian yang menggangu saya, saya jadi mempertanyakan keabsahan doktrin legendaris ini.
Beberapa waktu silam saya iseng bertanya dengan beberapa rekan saya tentang doktrin tersebut. Ajaibnya, mereka mengaku mendapat pernyataan yang sama persis, kata per kata. Jika memang doktrin ini sudah terbentuk di kepala semua anak se-Indonsesia saat itu, masihkah doktrin ini relevan untuk disangsikan?
Diketahui atau tidak, banyak perdebatan di antara masyarakat Indonesia yang terjadi di media sosial. Ambilah contoh konten prank youtube yang dianggap mendiskreditkan kaum transgender, perdebatan tentang kewajaran seorang istri membuatkan bekal “wah” untuk sang suami, hingga kehebohan mengenai seorang pelanggan ojek online yang keberatan dengan sapaan “kak” dari sang driver.
Merasa asing dengan perdebatan-perdebatan seru di atas? Cobalah berbincang dengan generasi milenial yang menjadikan media sosial sebagai salah satu resource utama dalam mendaptakan informasi.
Jika sudah kenal dengan hingar-bingar masalah sosial yang ramai di media sosial, mungkin keresahan saya akan kekeliruan doktrin yang diberikan oleh guru SD kita dulu bisa mulai anda rasakan. Saya beranggapan bahwa doktrin tersebut sedikit banyak bertanggung jawab atas terbentuknya karakter masyarakat kita bahwa “orang lain butuh kita”. Dalam hal ini mungkin saya perjelas menjadi: “orang lain butuh pendapat kita”.
Entah bagaimana dengan anda, tapi saya sendiri terheran-heran kenapa masyarakat kita sangat terobsesi dengan memberikan pendapatnya kepada orang lain yang bahkan sama sekali tidak mereka kenal? Saya paham dan bisa merasakan suara-suara kontra argumen seperti: “tapi dengan berpendapat, kita bisa merubah pandangan orang – orang terhadap sebuah isu”.
Lalu saya berpikir lagi dalam hati, orang-orang yang dijadikan objek berkomentar pun beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak salah, sama seperti orang-orang yang berkomentar ini beranggapan bahwa komentar mereka adalah benar. Lalu bagaimana kita bisa menjustifikasi mana yang benar dan mana yang salah?
Katakanlah ambil satu kasus terakhir mengenai pelanggan ojek online yang merasa keberatan dipanggil dengan sapaan “kak” oleh sang driver. Bagi dia, sapaan “kak” tidak tepat karena dia merasa sapaan “kak” hanya diperuntukan bagi orang lain dengan hubungan sedarah. Banyak orang kemudian berbondong-bondong memberi komentar negatif terhadap pelanggan tersebut.
Tetapi apakah salah si pelanggan jika tidak mau dipanggil kak? Apa dasarnya? Apakah ada hukum yang dilanggar seandainya beliaunya menghendaki dipanggil namanya saja? Kebanyakan kontra argumen yang saya temukan adalah: panggilan “kak” secara norma sosial di masyarakat adalah sesuatu yang sangat wajar. Dari sini saya semakin yakin bahwa ada yang salah dengan norma sosial di masyarakat kita.
Keresahan saya terhadap norma sosial sudah tertumpuk sejak lama. Masyarakat seolah selalu membenarkan sebuah isu dengan dalih norma sosial. Beberapa contoh nyata yang pernah saya lihat dan rasakan, antara lain: Jika ingin bertanya pada seseorang di tengah jalan, harus turun dari motor, lepas helm, baru bertanya.
Saya pernah mendapat hardikan karena tidak melakukan sesuai dengan urutan langkah yang barusan saya uraikan. “Nggak sopan kamu” kata bapak-bapak yang sedang asyik bersantai di warung.
Contoh lainnnya, orangtua saya mengajarkan untuk menyapa tetangga bila berpapasan. Masalahnya, buat apa saya harus berbasa-basi jika tidak ada hal yang ingin disampaikan? “Ya supaya sopan, masak sama tetangga sendiri kayak orang gak kenal?” kata ibu saya. Iya saya kenal dengan tetangga saya, saya tahu namanya dan nama anak-anaknya, bukankah itu udah cukup untuk menjamin saya mengenali tetangga saya tanpa harus memaksakan ngobrol bertanya hal yang saya bahkan tidak peduli dengan jawabannya?
Contoh lainnya lagi, beberapa teman saya berencana mengontrak sebuah rumah untuk ditinggali bersama. Di dalamnya ada beberapa orang pria dan beberapa orang wanita. Namun kemudian ditolak oleh pemilik kontrakan. “Nggak boleh tinggal satu rumah cowok dan cewek, mas” katanya.
Lah, padahal apa salahnya kalau memang tidak melakukan hal yang tidak semestinya? Bagaimana jika teman-teman saya memilih tinggal satu rumah kontrakan murni karena motif ekonomi? Apa pelanggaran yang mereka lakukan jika tidak melakukan hal-hal negatif sebagaimana dilarang dalam undang-undang KUHP?
Lagi-lagi hal yang kita anggap benar, atau minimal tidak salah, dibenturkan dengan dalih norma sosial, yang mana saat ini saya tidak bisa melihat batas aturannya. Saya yang buta atau aturan yang lahir dari norma sosial ini hanya terlihat oleh orang-orang tertentu saja? Mereka bilang hormati orang yang lebih tua. Saya bilang hormati orang sesuai dengan konteksnya. Mereka bilang sayangi sesama. Saya bilang pastikan dulu kebutuhan diri sendiri terpenuhi sebelum menolong yang lain.
Bagi saya, ada yang salah dengan norma sosial. Yang mana berarti juga ada yang salah dengan aturan yang lahir dari norma sosial. Banyaknya keributan di media sosial seperti yang saya utarakan di atas, mengindikasikan bahwa saya tidak berdiri sendiri dalam kebutaan akan batas aturan yang lahir dari norma sosial.
Jika memang aturan norma sosial itu ada, kenapa tidak dituliskan saja agar semua orang punya perspektif yang sama sehingga tahu betul batas-batas aturannya. Kalau tidak ada aturan tertulis, bagaimana kita bisa tahu dengan pasti mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak?
Belum lagi satu daerah bisa jadi punya norma sosial yang berbeda dengan daerah lain. Belum lagi kalau kita berbicara tentang sistem keberlanjutan dari aturan norma sosial. Apakah ada yang bisa menjamin aturan ini akan tetap relevan sepanjang waktu? Atau apakah mungkin aturan dalam norma sosial ini direvisi? Jika bisa direvisi bagaimana sistemnya? Bagaimana masyarakat bisa tahu dengan pasti mana amandemen aturan yang terbaru?
Pertanyaan yang timbul bisa diteruskan lebih panjang lagi. Semakin banyak pertanyaannya, semakin jelas pula bagi saya bahwa ada yang salah dengan norma sosial yang ada di masyarakat kita. Yang saya khawatirkan, ke depannya akan lahir generasi yang sangat kritis, lebih kritis dari kita, yang berarti lebih buta dengan aturan-aturan tidak baku yang hidup di lingkungan sosial.
Apakah ini berarti aturan sosial akan dengan sendirinya hilang ditelan zaman? Atau justru malah timbul berbagai versi pembaharuan yang dihadirkan oleh berbagai kalangan masyarakat sehingga orang akan semakin bingung atas batas-batas norma sosial? Saya pribadi tidak sabar menunggu hadirnya generasi kritis ini. Kejutan apa lagi yang akan diberikan oleh zaman ketika saya menginjak masa tua saya nanti.
Artikel Lainnya
-
65322/11/2024
-
146527/06/2020
-
202427/03/2021
-
Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia
29105/07/2024 -
Penampilan Tanpa Merusak Bumi dan Sesama
33612/05/2024 -
The New Normal: Harus Bangkit dan Bertahan Menjalaninya
171322/05/2020