Usaha Merawat Lara, Suara untuk Elit politik

Mahasiswa STFD
Usaha Merawat Lara, Suara untuk Elit politik 13/03/2021 1274 view Politik transparency.org

Politik itu kotor atau politisi yang busuk? Adalah sesuatu yang wajar mengajukan pertanyaan yang demikian menohok tersebut di tengah pembicaraan mengenai politik hari-hari ini. Setidaknya pertanyaan ini mewakili keresahan dan sakit hati masyarakat akan permasalahan yang senantiasa ada, sebut saja korupsi. Namun terlepas dari menohok ataupun tidak pertanyaan tersebut, perlu diberikan distingsi yang jelas antara politik dan politisi. Politik memiliki arti yang luas, namun mengalami konkretisasi di mata publik lantaran penyelewengan dalam kehidupan politik mengarahkan pandangan masyarkat terkait politik hanya pada aktivitas para elit politik di level pemerintahan.

Berpijak pada konsep Plato ( + 347 SM) yang menuliskan buku tentang Negara Ideal (Politea) dan Aristoteles ( + 322 SM) dalam bukunya tentang ketatanegaraan (Politikon), singkatnya dikatakan bahwa politik adalah seni penataan dan pengaturan kota atau negara yang mencakup segala kebijakan atau tindakan dalam urusan negara terhadap rakyatnya. Karena menyangkut sebuah seni, maka sampai di sini perlu ditegaskan bahwa politik tentu memiliki makna baik secara estetis, adalah suatu penataan kota atau negara maka setiap warga negara memiliki kewajiban moralnya untuk terlibat secara aktif sesuai dengan kadar dan kemampuan dan fungsi kedudukan masing-masing.

Seni di sini terletak pada keterlibatan semua warga negara dalam upaya penataan kota atau negara karena masing-masing pihak ikut memberikan kontribusi yang saling melengkapi untuk membangun wajah bangsa. Dengan demikian tulisan ini pun termasuk dalam suatu upaya seni penataan. Definisi politik sebagaimana telah ditunjukkan sekaligus menyiratkan arti ungkapan terkait politisi, sebagai semua orang yang bergerak dalam bidang politik (semua yang terlibat dalam upaya seni penataan negara atau kota).

Sejatinya ada rasa ketidakpuasan yang tampak dari pendefenisian politisi, bahwasannya dengan mengatakkan politik itu kotor dan politisi (semua yang terlibat dalam upaya seni penataan negara atau kota) itu busuk sama artinya mengatakan bahwa usaha menata negara oleh semua warga masyarakat berada dalam ketimpangan. Tentunya ini adalah generalisasi yang keliru. Oleh karena itu, kata politik dan politisi sebagaimana tersirat dialamatkan secara khusus bagi suatu entitas atau komponen yang lebih kecil yaitu ruang lingkup dinamika pemerintahan dan para pejabat pemerintah. Dalam tataran ini, pandangan Maurice Duverger dapat mewakilinya, dalam mana ia mengartikan politik sebagai perjuangan dalam dinamika konfiktual melalui mana mereka (para elit pemerintah) yang mengendalikan kekuasaan memastikan tampuk penentuan atas jalannya tatanan masyarakat dan memperoleh keuntungan darinya (1971: xii).

Politik itu kotor dan politisi itu busuk adalah ungkapan yang sebenarnya berangkat dari suatu pertanyaan yang lebih subtil,-“Siapa yang semestinya mengurus negara dan rakyat yang semakin ruyam ini?” Mungkin, ini salah satu rumusan pertanyaan paling sederhana yang membersit di level publik berhadapan dengan persoalan korupsi yang massif dan terus terjadi. Korupsi membawa serta suatu sikap pesimistik masyarakat berhadapan dengan pemerintah dan para politisi. Kekecewaan masyarakat menumpuk di tiang pengharapan bahwasannya masalah korupsi yang dilakoni oleh oknum-oknum yang tergolong politisi masih belum dapat diatasi. Ada apa dengan para politisi kita? Sepintas, ini merupakan pertanyaan yang terbaca dari dari berita Kompas (07/03/2021) dengan judul, “Katakan Tidak Padahal Korupsi”.

Ambil saja satu contoh praktik korupsi ter-update, Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah. Tentunya banyak pihak kaget mendengar sosok elit ini ditangkap oleh pihak KPK. Betapa tidak, Nurdin adalah satu dari segelintir kepala daerah di Tanah Air yang dikenal cerdas, inovatif, berintegritas, dan punya segudang prestasi (Kompas, 07/03/2021). Tidak sedikit penghargaan yang diberikan atas dasar prestasi Nurdin dalam membenahi pelayanan publik hingga membangun budaya antikorupsi.

Prestasi tersebut seperti penghargaan dari Kejaksaan Agung atas kepeduliannya terhadap pengelolaan dan pengembangan kantin kejujuran di Kabupaten Bantaeng, penghargaan dari Ombudsman RI atas predikat kepatuhan terhadap standar pelayanan publik pada 2017, penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2017, People of The Year tahun 2012 dari harian Seputar Indonesia, dan tentunya masih banyak lagi. Namun, belum genap tiga tahun menjabat sebagai gubernur, Nurdin tersandung kasus hukum. Nurdin ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur mencapai Rp 5,4 miliar di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa praktik korupsi lantas mengaburkan sejuta kebanggaan dan kebaikan oknum politisi terkait. Bagaimana mungkin para pelaku kekuasaan secara menyeluruh mampu meretas kebuntuan (korupsi) yang ada ketika tangan-tangan kekuasaan politik lebih berat mengenggam kekayaan. Bagaimana para elit pemerintah dapat merawat lara (demokrasi) masyarakat. Sudah cukup terkuras kepercayaan masyarakat di awal saat memilih para elit politik. Keluhan publik senantiasa tampak dengan mengharapkan pemimpin yang jauh dari praktik penyelewengan.

Dari Nurdin Abdullah ada hal yang mesti dipelajari oleh masyarakat bahwa elit politik dengan seluruh kebanggaannya berupa penghargaan yang didapatkan tidak harus selalu luput dari jerat korupsi. Banyak kasus korupsi di negeri ini senantiasa menunjukkan bahwa kebanyakan elit yang awalnya dinilai baik, malah melakukan penyelewengan. Di satu sisi dapat dikatakan bahwa tidak semua orang sempurna hingga akhir atau tidak semua orang luput dari masalah. Namun di sisi lain, jika setiap orang tenggelam dalam pengertian yang demikian, tentunya masalah (korupsi) akan senantiasa ada.

Tentunya para penguasa tahu benar apa yang dilakukan. Langkah paling pertama barangkali berusaha melepasakan diri dari borgol-borgol yang menyandera demokrasi. Kesadaran diri akan politik yang diabdikan sepenuh hati kepada kebaikan bersama (public). Membangun jarak kritis atas kekuasaan yang ada dalam genggaman merupakan langkah penting untuk meluputkan pelaku dan tubuh kekuasaan dari rasa enak yang menyuburkan kejahatan politik (korupsi) yang ada. John Gledhill (2004) dalam Power and Its Disguises mengetengahkan dua aspek penting yang harus dimiliki setiap pelaku politik dan kekuasaan untuk menciptakan budaya politik beradap. Aspek pertama yang harus dimilki tak lain adalah intimasi personal terhadap krisis politik (korupsi) yang berimbas pada kehidupan publik politik.

Intimasi mengandung secara konsisten keprihatinan atas persoalan kebangsaan (politik). Hal tersebut serentak menyiratkan adanya kesetiaan pada perjuangan populis, yakni pengorbanan yang harus diberikan secara konsisten oleh para pejabat politik (kekuasaan). Itulah komitmen. Tidak sebatas janji pada publik tetapi ketekunan pada panggilan pribadi untuk berdiri di pihak yang benar dan menerobos apa yang dianggap menghalangi jalan menuju keadaban demokrasi politik. Janji politik pada diri sendiri yang diikuti dengan kesetiaan pada kebenaran dan keadilan.

Korupsi adalah penyakit, maka penyelesaiannya tidak hanya dengan menghukum para pelakunya. Sejauh ini segala upaya sejatinya telah dilakukan, namun keberadaan lembaga-lembaga anti korupsi tidak cukup ampuh untuk memberhentikan praktik tercela ini. Peraturan perundang-undangan yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh pemerintah pun seakan juga diabaikan dan menjadi meaning less. Asas utama dalam hukum yang selama ini ditegakkan, seperti reward and punishment dengan pengertian bahwa orang yang menaati hukum harus dihargai dan orang yang melanggar hukum harus dihukum, masih belum terlaksana dengan baik, maka perlu untuk semakin ditegakkan.

Oleh karena itu, selanjutnya diperlukan langkah kedua, yaitu mengupayakan suatu tindakan preventif di bidang pendidikan, yaitu setelah kejahatan korupsi ditumpas melalui penegakan hukum yang benar, maka tugas negara dan masyarakat (pendidik) selanjutnya adalah membina masyarakat melalui pendidikan formal, pendidikan masyarakat dan pendidikan rumah tangga yang berasas pada nilai kemanusiaan.

Segala upaya senantiasa dilancarkan demi mewujudkan suatu keadaan yang lebih baik. Kembali pada pernyataan di awal tulisan ini, politik sebagai seni penataan kota atau negara, menunjukkan adanya gerak kepada suatu keadaan yang diharapkan. Menata harus dimengerti dalam upaya membenahi suatu keadaan yang tampaknya belum tertata (chaos) menjadi tertata, suatu harapan estetis akan suatu keindahan atau keadaan yang lebih baik. Tapi bagaimana negara dapat menjadi indah, jika sejatinya masih ada oknum-oknum politisi tertentu kecanduan untuk merusaknya, kecanduan untuk melakukan korup? Politik yang sejatinya bermakna baik, dikotori, maka oknum politisi korup (pengotor) yang busuk.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya