Ketika Takdir Disalahpahami: Antara Pesantren yang Lalai dan Masyarakat yang Kehilangan Kendali Iman

Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh robohnya bangunan di sebuah pondok pesantren di Sidoarjo. Puluhan santri meninggal dunia, puluhan lainnya luka-luka. Di tengah suasana duka, muncul pernyataan yang begitu cepat menyebar: “Ini sudah takdir Allah.” Kalimat itu, yang biasanya dimaksudkan untuk menenangkan, justru menimbulkan gelombang kemarahan di tengah masyarakat. Mereka tidak hanya berduka, tetapi juga merasa ada yang salah ketika tragedi sebesar itu seolah diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Tuhan tanpa pembahasan tentang tanggung jawab manusia di baliknya.
Padahal, jika dilihat dari sisi empiris, setiap peristiwa fisik memiliki sebab yang dapat dijelaskan. Sebuah bangunan tidak roboh begitu saja; ada perhitungan teknis, material, atau pengawasan yang mungkin keliru. Semua itu merupakan bagian dari hukum sebab-akibat yang berlaku dalam ciptaan Tuhan. Dalam konteks ini, masyarakat tentu wajar menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban. Bagi mereka, menyebut semua itu sebagai takdir tanpa evaluasi seolah menghapus dimensi moral dari sebuah peristiwa yang sebenarnya sangat manusiawi.
Namun di sisi lain, umat Islam diajarkan untuk meyakini bahwa semua kejadian terjadi dengan izin Allah. Dalam teologi Asy’ariyah yang menjadi arus utama pemikiran Islam di Nusantara, diyakini bahwa tidak ada satu pun peristiwa di dunia yang lepas dari kehendak Tuhan. Akan tetapi Asy’ariyah juga mengajarkan bahwa manusia memiliki peran melalui konsep kasb, yaitu perolehan atas tindakannya sendiri. Allah menciptakan kemampuan dan peluang bagi manusia untuk bertindak, namun manusialah yang mengusahakan dan menanggung akibat dari tindakannya. Dengan kata lain, kehendak Allah tidak menghapus tanggung jawab manusia; justru manusia menjadi bagian dari mekanisme kehendak itu melalui pilihan dan kesadarannya.
Masalah muncul ketika pemahaman tentang takdir direduksi menjadi bentuk pasrah yang meniadakan tanggung jawab. Kalimat “sudah takdir” bisa menjadi bentuk kesalehan, tapi juga bisa menjadi bentuk pelarian dari akuntabilitas. Ketika tragedi yang melibatkan nyawa santri dijelaskan semata-mata dengan kalimat itu, publik menangkapnya bukan sebagai pernyataan iman, melainkan sebagai bentuk penyangkalan terhadap kemungkinan kelalaian manusia. Masyarakat merasa kecewa, bahkan marah, karena nilai-nilai moral yang seharusnya dijaga oleh lembaga keagamaan justru terkesan diabaikan.
Kemarahan itu sebenarnya tidak muncul dari kebencian terhadap agama, tetapi dari kekecewaan yang lahir dari cinta. Masyarakat mencintai nilai-nilai yang diwakili pesantren, seperti amanah, kejujuran, dan tanggung jawab moral. Ketika institusi yang membawa nama agama gagal menampilkan keteladanan itu, muncul rasa dikhianati. Namun di balik amarah itu, sesungguhnya tersimpan harapan besar agar lembaga keagamaan kembali pada fungsinya sebagai penjaga nurani publik. Sayangnya, jika kemarahan ini tidak diarahkan dengan benar, ia bisa berubah menjadi distraksi spiritual. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan, bukan hanya kepada institusi keagamaan, tetapi juga kepada makna iman itu sendiri.
Untuk itulah, penting mengembalikan makna takdir ke posisi yang benar. Takdir seharusnya tidak dipahami sebagai alasan untuk diam, tetapi sebagai ruang bagi manusia untuk memperbaiki diri. Mengatakan bahwa musibah adalah takdir Allah memang benar, tetapi kalimat itu seharusnya dilanjutkan dengan kesadaran bahwa tanggung jawab memperbaiki keadaan juga bagian dari takdir yang sama. Tuhan tidak menuntut manusia untuk menolak takdir, tetapi untuk belajar darinya. Dengan begitu, iman tidak berubah menjadi fatalisme, melainkan menjadi kekuatan moral untuk bertindak.
Dalam situasi seperti ini, peran pemimpin agama menjadi krusial. Publik tidak butuh penjelasan teologis yang berbelit-belit di tengah duka, melainkan kehadiran moral yang jujur dan empatik. Ketika masyarakat mendengar ulama berkata, “Kami berduka, dan kami bertanggung jawab memperbaiki ini,” maka kepercayaan akan kembali tumbuh. Kejujuran dan empati jauh lebih kuat daripada pembelaan teologis yang kering. Bahkan, dalam pandangan Islam sendiri, kejujuran di hadapan musibah adalah bentuk ibadah yang paling tinggi, karena ia menegakkan keadilan dan menenangkan hati yang luka.
Transparansi, akuntabilitas, dan kesediaan belajar dari kesalahan bukanlah urusan duniawi semata. Dalam perspektif etika Islam, itu bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan kebaikan dan mencegah kerusakan sosial. Maka membangun ulang pesantren dengan lebih aman dan bertanggung jawab bukan sekadar tugas teknis, melainkan juga wujud keimanan. Di sinilah iman dan tanggung jawab bertemu, iman yang tidak berhenti di mulut tapi menjelma menjadi tindakan yang menyelamatkan hidup orang lain.
Pada akhirnya, tragedi seperti ini bukan sekadar ujian bagi para korban, tetapi ujian bagi seluruh masyarakat beriman. Pertanyaannya, apakah kita akan menjadikan takdir sebagai alasan untuk berhenti, atau sebagai panggilan untuk bertanggung jawab. Dalam pandangan Asy’ariyah, Allah memang menentukan segalanya, tetapi di dalam kehendak itu juga tersimpan perintah untuk berusaha. Jika kelalaian manusia mengakibatkan musibah dan kita hanya berkata “itu takdir Tuhan”, maka yang runtuh bukan hanya bangunannya, melainkan juga fondasi moral iman kita sendiri.
Musibah selalu membawa luka, tetapi ia juga membawa cermin. Ia memantulkan kepada kita wajah keimanan yang sesungguhnya: apakah kita masih sanggup melihat Tuhan sebagai sumber tanggung jawab, atau hanya sebagai pelarian dari kesalahan. Di titik itulah iman diuji, bukan oleh bencana, tetapi oleh cara kita memaknainya. Dan mungkin, dari reruntuhan itu, Tuhan sedang mengajarkan satu hal sederhana: bahwa takdir bukan untuk ditakuti, melainkan untuk dipertanggungjawabkan.
Artikel Lainnya
-
106623/03/2020
-
73031/10/2024
-
127728/06/2020
-
Mbakyu Erni Si Tante Pemersatu Bangsa
181723/05/2020 -
Pay It Forward Merespon Dampak Pandemi Covid-19
245130/11/2020 -
Progresivitas Pembela HAM untuk Menghapus Impunitas
77409/08/2022