UAS dan Netizen Tidak Sedang Ingin Membeli Kapal Selam
Nanggala 402 karam. Tapi perasaan anda dan saya tak kalah kelamnya.
Tiga hari kita membakar semangat untuk mencari kapal itu, tiga hari pula kita saling meyakinkan bahwa prajurit bunga bangsa pasti pulang dengan selamat. Untuk kemudian menjerit kecewa ketika pemerintah berbisik lirih, “Nanggala potong tiga di dasar laut sana, semua prajurit gugur…”. Api harapan yang tiga hari berkobar itu… lindap. Padam. Berganti dengan sendu.
Nanggala dibuat tahun 70-an. Banyak yang bilang, kapal itu sudah cukup tua. Amat sukar untuk beroperasi secara ideal, apalagi jika harus membuat musuh gentar.
Dulu sekali ayah saya sering bercerita tentang kehebatan peralatan tempur kita yang membuat ciut nyali musuh. Demi mencegah anak bungsunya ini berkeliaran di siang bolong, ia merayu saya dengan cerita-cerita peralatan tempur fantastis menjelang tidur siang. Tank amphibi yang bisa berenang, Senjata Serbu (SS-1) yang mematikan, pesawat amphibi yang bisa mendarat di air, dan pesawat Hercules yang bisa angkut tank baja adalah sedikit dari sejumlah cerita menarik yang keluar dari mulutnya.
Dan imbasnya… Anda bisa tebak kan, bagaimana genre sebagian mimpi tidur siang saya waktu itu? Saya ini, saoedara-saoedara… Jangankan hidoep dan mati, mimpipoen “Saya Indonesia!”.
Tapi itu dulu. Semakin ke sini cerita tentang peralatan tempur Indonesia semakin berbeda. "Di sebuah perang...", kerabat saya bercerita, "...sebuah pasukan berhadapan dengan Amerika, Jepang dan Indonesia. Kalau pesawat Amerika dan Jepang lewat, semua rudal ditembakkan. Tapi kalau Indonesia, tak perlu. Karena akan jatuh sendiri...".
Saya tak terlalu menikmati lelucon itu karena tak sesuai dengan kisah-kisah yang diceritakan ayah saya dulu. Tapi sekarang, ketika bukti yang ada menyebutkan Nanggala sudah tua dan lama gak diservis, terbelah tiga pula di kedalaman delapan ratus meter, saya mulai mengiyakan cerita satire tersebut. Sebagian alutsista kita memang sudah tua. Pemerintah musti menyediakan yang baru supaya Indonesia kembali disegani dunia, dan, yang tak kalah pentingnya, tidak membahayakan nyawa prajurit itu sendiri.
Dan di sini pula persoalannya. Bagaimana caranya memaksa pemerintah melakukan itu? Bukan persoalan gampang bagi kaum sudra kuasa seperti kita bisa mendikte para penguasa.
Dulu saya berpikir media massa bisa menjadi solusi. Kalau pemerintah masih ngik-nguk ngik-nguk, media massa bisa membetulkannya, mengoreksinya.
Tapi kok ya semakin hari saya semakin tak yakin dengan itu. Maksud saya, media massa besar mana sih yang masih bebas dari intervensi politik dari pemilik perusahaan yang juga dekat atau bahkan politisi itu? Memang masih ada yang tetap independen dan kritis. Tapi tak banyak. Itu pun habis digebuki buzzerp-buzzerp bayaran saban hari.
Kata Ross Tapsell dalam Kuasa Media di Indonesia (2018), pengusaha media yang juga politisi itu semakin berkuasa di era media onlen seperti sekarang ini. Dan saya sukar membayangkan ada perusahaan media milik pengusaha tersebut yang berani mengkritik dirinya.
Selain itu, untuk tetap bertahan di era digital seperti sekarang ini, sebagian media massa ibu kota harus berubah. Mereka cenderung menulis berita yang mendatangkan duit ketimbang menyuarakan kepentingan rakyat.
Heychael (2018) bercerita tentang Tribunnews, salah satu media onlen terpopuler di Indonesia. Katanya, “…Tribunnews memang pantas disebut sebagai “tuyulnya Kompas-Gramedia". Karena berita-berita yang diturunkan Tribunnews tentang rangkaian teror tahun 2018 tak esensial. Tak penting. Hanya supaya orang-orang mau ngeklik beritanya. Ketika diklik, uang pun masuk. Semakin banyak diklik, semakin banyak uang yang masuk.
Ini semua sebetulnya imbas dari perubahan ekosistem bisnis di era digital. Maksud saya, ketika perkembangan digital mengubah perilaku perusahaan-perusahaan pemasang iklan, media massa merasakan dampaknya.
Dulu perusahan-perusahaan besar memasang iklan di media cetak maupun elektronik. Kalau sekarang, anda tahu sendiri. Selebgram aduhai, akun twitter berfollower gemuk, bahkan youtuber nir logika yang menikmati uang iklan itu. Pendapatan dari iklan semakin berkurang, media dalam situasi sulit. Dan mau tak mau, ya menemukan sumber pendapatan baru dengan bermain klik-klikan itu tadi. Membuat berita yang sensasional ketimbang esensial.
Intervensi pemilik media dan naluri bertahan di masa-masa transisi digital telah memutus harapan anda dan saya ke sebagian media massa ibu kota. Kita punya maksud, mereka punya mau. Dua hal yang tak selalu bersahutan.
Dan ini juga yang terjadi pada upaya kita meremajakan alutsista yang sudah usang. Kita punya harapan supaya media menguliti pemerintah, "kok bisa anggaran alutsista cuma segitu, kok bisa penggunaan anggarannya jadi nganu…?" (Dengar-dengar proyek Kementerian Pertahanan membuat Komponen Cadangan menelan duit 1 trilun!) Harapannya kan sederhana, supaya Pemerintah bilang “…oh, oke oke. Segera kami perbaiki. Kapal selam kita beli selusin!”
Tapi coba lihat apa yang diberitakan sebagian media besar itu. Mereka menulis berulang-ulang bagaimana proses menghilang dan menemukan kembali Nanggala. Ini masih mending. Yang ra jelas blass itu berita perasaan sedih keluarga, atau pejabat yang bertandang ke keluarga prajurit yang syahid dengan membawa santunan.
Saya bukannya sinis terhadap kesedihan keluarga yang ditinggalkan. Tapi mengeksploitasi kesedihan untuk mendapatkan klik berita sama sekali tak asyik, karena ada privasi keluarga yang dikomoditaskan.
Tapi beberapa hari terakhir ada hal baru yang terjadi. Ustad Abdul Somad (UAS) bilang di akun medsosnya, ayo iuran untuk membeli kapal selam baru untuk TNI AL. Ajakan ini disambut meriah jagat maya.
Coba ketik di twitter, “beli kapal selam”, akan tampak bagaimana kehebohan netizen menyambut ajakan itu. Tinggal dicek saja, berapa jumlah akun berfollower gemuk yang menyambut positif. Misalnya akun twitter @hnnurwahid yang punya 1,4 juta follower. Atau di instagram, akun @yusufmansur berfollower 2,9 juta.
HAMAS (Himpunan Anak-Anak Masjid) Jogokariyan di Jogja lalu mengubah himbauan virtual itu menjadi nyata melalui gerakan berinfaq beli kapal selam. Sampai saat ini, donasi yang terkumpul kabarnya sudah mencapai Rp. 1 miliar. Dan itu hanya dalam waktu tiga hari! Sedemikian pentingnya, sampai-sampai hampir semua media menulis berita tentang itu.
Inilah “kontra oligarki” ala Ross Tapsell. Kita-kita bisa menggunakan media sosial untuk mempengaruhi isi berita media massa agar sesuai dengan kepentingan kita. Ajakan UAS untuk mentraktir, eh..maksud saya membelikan Indonesia kapal selam membuat geger jagat maya. Itu membuat media massa ibu kota meliput dan memberitakan peristiwa tersebut. Ya jelas tho ya, kejadian ini bernilai jual kalau ditulis menjadi berita. Orang-orang akan mengklik link berita itu. Duit masuk.
“Tapi mas, apa ya masuk akal…? Rakyat lagi sulit kok disuruh patungan buat beli kapal selam? Apa ya bisa?”
Memang tidak masuk akal. Sebiji kapal selam harganya 5 triliun! Dan angka 1 miliar itu masih jaauuuuhhhh sekali.
Tapi tujuan akhir gerakan tersebut bukanlah membeli kapal selam dengan uang rakyat. Melainkan supaya media memuat berita yang bisa memaksa pemerintah meremajakan alutsista.
Anda pikir saja. Ketika banyak media massa memuat berita tersebut, kan jadinya sentilan rakyat bisa terdengar nyaring di telinga Pemerintah, “… kalau gak sanggup ngurusi masalah ini, ya gak apa-apa. Biar rakyat saja yang turun tangan..”. Makjleb gak sih? Berita-berita di media massa itu membuat Pemerintah seolah tak kredible.
Belum lagi foto HAMAS Jogokariyan di media massa. Anak-anak seumuran SD memegang poster bertuliskan “Infaq Bantuan Pembelian Kapal Selam Pengganti KRI Nanggala 402”. Coba fokus pada “anak kecil” dan “infaq”. Anak kecil ikut turun tangan mengurusi persoalan negara melalui infaq, yang biasanya untuk membantu orang-orang miskin. Itu kan sama saja bocil-bocil itu menggelitik-gelitik pemerintah. Apa ya pemerintah gak ‘kegelian’? Mau tak mau, Pemerintah pasti akan memperhatikan persoalan peremajaan alutsista.
Jadi dengan gadget di tangan, kita-kita bisa mempengaruhi isi pemberitaan media massa dan memaksa pemerintah memenuhi keinginan kita. UAS cerdas. Ia dan netizen tidak sedang ingin membeli kapal selam, melainkan mendikte isi pemberitaan media massa agar memaksa pemerintah melakukan peremajaan alutsista. Itu.***
Artikel Lainnya
-
193523/02/2020
-
115006/12/2021
-
195706/12/2019
-
Menentang Mitos Anak-Anak STM Pericuh
338813/10/2020 -
Pneumonia Covid-19: Perang Untuk Menjadi Pahlawan Atau Korban?
133805/04/2020 -
119026/02/2021