Antara Setuju dan Tidak Setuju: Keadaan Menuntut Kita untuk Menerima Kenormalan Baru

Tidak menyenangkan hidup dalam keadaan yang tidak pasti. Keadaan yang tidak pasti itu tentang kapan pandemi covid-19 akan berakhir. Direktur Jenderal WHO (World Health Organization), Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada 23 April 2020 menyatakan bahwa virus corona masih akan terus berada di dunia untuk waktu yang lama. Alasannya adalah di negara-negara awal yang terkena virus corona mulai muncul kasus-kasus baru (Detiknews, 23 April 2020).
Atas dasar keadaan yang tidak pasti itulah kemudian muncul wacana new normal atau kenormalan baru di berbagai negara, termasuk Indonesia. New normal atau kenormalan baru adalah konsep yang menjelaskan tatanan baru yang akan dihidupi oleh masyarakat di tengah pandemi covid-19 yang belum mereda secara signifikan. Dalam new normal ini, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan dilonggarkan. Masyarakat akan kembali beraktivitas di ruang-ruang publik tetapi dengan mengikuti protokol kesehatan.
Keharusan memakai masker ketika keluar rumah, mencuci tangan secara rutin, menjaga jarak dari orang lain, memakai kaus tangan, tidak berkerumun di ruang publik, dan membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat adalah tindakan-tindakan yang mesti masyarakat jalankan dalam situasi kenormalan baru di tengah pandemi corona. Dalil dari akan diterapkannya new normal itu adalah daripada kita menantikan dengan tidak pasti terkait kapan virus corona akan berakhir, lebih baik kita belajar membiasakan diri untuk hidup berdampingan dengannya. Manfaat yang dapat diambil dari kenormalan baru itu adalah upaya pemulihan terhadap ekonomi yang lesu dapat digenjot kembali.
Memang apabila melihat kasus corona yang masih terus bertambah di Indonesia, new normal idealnya belum layak untuk diterapkan. Risikonya besar. Namun, terutama karena pandemi corona tidak pasti kapan berakhirnya, sementara saat ini kondisi ekonomi Indonesia sedang lesu, maka alangkah baiknya segenap masyarakat Indonesia mengafirmasi secara bijak terhadap wacana pemerintah ini. Logika “kasar” yang dapat menjadi “pembenaran” untuk menerima new normal adalah: ketika new normal tidak dilaksanakan, kasus tetap meningkat dan ekonomi tetap lesu karena kebijakan seperti PSBB. Sedangkan ketika new normal dilaksanakan, kasus mungkin akan tetap meningkat tetapi ekonomi dapat kembali dipulihkan.
New normal menghadapkan kita pada sebuah pilihan simalakama. Sebuah pilihan yang serba salah. Namun, ketika mengambil pilihan berisiko itu, ada sebuah tujuan fundamental lain yang akan pasti tercapai guna mendukung keberlangsungan hidup masyarakat di tengah pandemi corona yang tidak pasti ini yakni pemulihan kehidupan ekonomi masyarakat.
Ketegasan pemerintah
Terlepas dari pertimbangan layak atau tidak layak new normal itu dilaksanakan, bagaimanapun pemerintah telah menyatakan tekadnya untuk menerapkannya dalam beberapa waktu ke depan. Pilihan ini juga tidak boleh secara tendensius dianggap sebagai pilihan yang sembrono karena pemerintah mengeluarkan berbagai protokol kesehatan demi mengefektifkan pelaksanaan new normal itu. Protokol kesehatan ini diharapkan dapat meminimalisi terjadinya kasus-kasus corona baru di tengah pelaksanaan new normal yang bertujuan menggenjot kembali ekonomi kita yang sedang lesu.
Sementara itu, berdasarkan fakta yang terjadi selama ini, harus jujur diakui bahwa penyebab utama masih banyaknya masyarakat yang tidak mengindahkan aturan pemerintah misalnya tidak menjaga jarak fisik, berkeluyuran di jalan, dan tidak memakai masker disebabkan tidak adanya sanksi yang tegas dari pemerintah terhadap masyarakat yang melanggar aturan tersebut. Aturan tanpa disertai sanksi bagi orang yang melanggarnya tidak akan efektif untuk mendorong orang agar patuh pada aturan itu. Aturan tanpa sanksi bagaikan tubuh tanpa jiwa karena sanksi itulah pada dasarnya yang menjadi roh yang memberi hidup bagi aturan-aturan itu sehingga kemudian dipatuhi oleh masyarakat.
Agar new normal berjalan efektif nantinya, tugas penting yang mesti dilakukan oleh pemerintah adalah memastikan bahwa dalam setiap kebijakan yang dibuat seperti protokol kesehatan, harus disertai dengan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Travis Hirschi (1935-2017), ahli teori kontrol dari Amerika, menyatakan bahwa setiap manusia cenderung untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum (Rahayu, 2011: 116). Diyakini, penerapan sanksi yang tegas bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan dari pemerintah dapat menjadi sarana untuk mengurangi potensi masyarakat melanggar protokol kesehatan itu. Akhirnya, keadaan tidak pasti menuntut kita menerima tatanan baru, mari kita secara bersama bahu-membahu menyambutnya!
Artikel Lainnya
-
90813/04/2025
-
173219/10/2020
-
29802/03/2025
-
Sampah dan Kesadaran Etis Masyarakat Kita
206113/07/2020 -
Strategi Mengatasi Penyebaran Covid-19 di NTT
109406/02/2021 -
Corona Adalah Cermin Mistisnya Negeriku
147927/02/2020