Revitalisasi Paradigma Kota Berekosistem

Milenial
Revitalisasi Paradigma Kota Berekosistem 26/01/2022 858 view Lainnya id.depositphotos.com

“Menurut lu, ini kota masih kurang apa?” tanya Nimus pada Ose dalam dialek setempat.
“Menurut beta, ini kota punya satu kekurangan sa. Dia pung warga masih banyak yang jomblo,” jawab Ose.
“Hmm, lu mulai sembarang. Begini su jawaban ketong pung orang, sonde peka deng lingkungan yang sementara menangis,” balas Nimus kesal.

Sorotan publik Kota Karang alias Kota Kasih (sapaan manja Ibu Kota NTT) mancakup ranah lingkungan alam. Bukan tanpa sebab, mereka yang sebelumnya dibius oleh nuansa ekosistem tropis ‘adem’, kini dimanjakan amis dan joroknya udara kota. Penggalakan bibit-bibit tanaman hijau sepertinya justru mengimbau masyarakat untuk tidak ambil hati terhadap persoalan lingkungan yang lebih besar pengaruhnya terhadap kesehatan.

Jumlah tong sampah yang bertebaran di seluruh penjuru kota tak sebanding dengan kuota sampah yang mesti ditimbun per harinya. Sempat menjadi perhatian sebelumnya, yaitu ketika masyarakat mulai menggalakan kegiatan bersih-bersih, tetapi yang terhentak malah sebaliknya.

Sebagian warga malah melampiaskan keegoisannya dengan menumpahruahkan hasil konsumsi saban hari ke dalam ‘brankas sampah ilegal’ sepanjang jalan dalam kota. Tontonan yang menarik, saat kebanyakan orang berusaha mendesak kehidupan adem yang sudah lama terlelap, malah muncul segelintir pengusik yang memanjakan kaki tangannya dengan keegoisannya.

Fakta di lapangan telah membuktikan. Setiap harinya, warga kota berkontribusi dalam ‘jasa menyampah’ ratusan kilo banyaknya. Pada saat yang sama, warga berkeluh-kesah soal drainase perkotaan yang amburadul nan menjijikan. Etalase kota malah melahirkan tampilan kemomos (istilah setempat, arti: kotor, jorok, tidak rapi).

Perjalanan menjadi membosankan manakala orang harus mengakali dirinya agar terhindar dari aroma yang amat sangat tak sedap sepanjang jalan dengan skill berkendara (memegang kemudi sembari menguji pernapasan). Sampah jalanan menjadi momok hampir sepanjang tahun sebelum ada yang berinisiatif mengelaborasinya ke tempatnya yang layak.

Slogan-slogan manusiawi yang menyuarakan etika berekosistem terpampang hampir di setiap penjuru kota. Labih maraknya, banyak literatur menarik yang mengangkat problem yang sama. Namun, sekali lagi sikap manusiawi itu mesti dimuntahkan kembali oleh parahnya kerusakan ekosistem oleh ulah sesama spesies pencipta slogan tersebut.

Media-media online resmi ramai memberitakan program rekonstruksi ekosistem yang rusak dengan berbagai macam solusinya. Organisasi yang bergerak atas nama ‘cinta lingkungan’ pun dibuat berdaya meski untuk beberapa waktu saja. Para akademisi pun hanya mampu berlagak sembari beretorika dampak lingkungan terhadap kelangsungan hidup, aksi nihil.

Para pemikir idealis mencoba untuk mengutarakan kebisingan alam dengan mereboisasi lingkungan yang sudah rusak. Sepak terjangnya pun tak tanggung-tanggung. Program ‘Penanaman 1000 Pohon’ masih menjadi topik jadul nan hangat sampai pada detik ini.

Lagi dan lagi, masih ada ‘oknum’ yang bertahan hidup dengan idealisme khusus ‘merusak lingkungan’. Saya sempat berharap penuh pada walikota agar mendatangkan ahli sihir Marvel Universe, Dr. Stephen Strange, secara khusus untuk mengubah paradigma buruk yang telah lama menjamur pada masyarakat.

Sesungguhnya, satu hal yang menjadi poin penting adalah selain penggalakan kegiatan perubahan besar-besaran terhadap lingkungan, tetapi juga tinjaulah reboisasi dalam diri setiap warga yang menyatakan bahwa dia hidup. Hidup sebagai manusia berarti hidup dengan alam. Itu harga mati. Menghargai hidup pribadinya berarti menghargai hidup makhluk yang lain.

Sosialisasi bukan sebatas jangkauan kaum akademisi bergelar dan berpredikat resmi, melainkan mencakup semua mereka yang ingin hidup ‘adem’ dalam lingkup ekosistem bersih. Kota Kasih akan menyajikan panorama indah kalau masalah pola pikir manusia yang amburadul direduksi. Problem ini hanya sebagian kecil dari hal besar apa yang nantinya berdampak sejagat.

Alam menyajikan keelokannya sembari ia pun melindungi para simpatisan yang menaruh hati padanya. Sudah menjadi sebuah kepantasan bahwa, kaum berakal dan bermorallah yang menyajikan kegiatan yang juga mengangkat harkat dan martabat sesama makhluk yang lain. Sebab, pada hakikatnya manusia ada guna mengupayakan kesejahteraan yang dianugerahkan Sang Empunya Alam, bukan hanya bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi makhluk hidup lainnya.

Memulai dari diri sendiri, melihat lingkungan tempat ia hidup, dan melakukan apa yang harus dilakukan adalah langkah-langkah awal setiap warga. Kita tak memerlukan superhero bak Gotham City. Kota Kasih bernaung atas pilar-pilar para pemerhatinya, dibentengi atas usaha melindungi oleh para penduduknya, serta dikonstruksi dan dikokohkan oleh aksi para tokoh konstruksinya. Akan menjadi lebih berfaedah eksistensinya ketimbang masyarakat hanya menunggu disuap para pemimpin dan berupaya menjadi yang kesekian hingga telat untuk mengupayakan pembaharuan.

Langkah pembangunan demi keasrian kota tengah digalakkan. Warga kota semestinya menjadi partner kerja pemerintah dalam membangun kota. Sederhana, cukup dengan menjaga kebersihan dari sampah rumah tangga atau mengolahnya menjadi utilitas yang berdaya guna.

Harapannya, tugu Adipura yang berdiri kokoh tepat di pertigaan jalan arah bandara kota menjadi stimulan warga serta pengingat bahwa kita pernah diberkahi penghargaan sebagai kota bersih dan berhasil dalam pengelolaan lingkungan perkotaan pada hampir tiga dekade yang silam. Artinya, bukan tidak mungkin untuk mewujudkan mimpi menjadi kota terasri. Semua elemen mesti berkontribusi agar ide pembangunan ini bukan menjadi sekedar utopia semata.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya