RUU KUHP: Antara Unifikasi dan Pluralisme Hukum

Dosen FH Universitas Riau
RUU KUHP: Antara Unifikasi dan Pluralisme Hukum 28/09/2019 4610 view Hukum Peakpx.com

Meskipun ia berbentuk Undang-undang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana berbeda dengan Undang-undang lainnya, karena ia memuat berbagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi pelakunya. Karena itu ia lazim juga disebut sebagai hukum pidana dalam kodifikasi.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana warisan Wetboek van Strafrecht era kolonial yang hingga saat ini berlaku terdiri dari lebih kurang 465 pasal yang memuat berbagai jenis tindak pidana yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kejahatan dan pelanggaran, mulai dari kejahatan yang sangat serius berupa makar yang diatur dalam Pasal 104 hingga pelanggaran yang “remeh temeh” di antaranya seperti yang diatur dalam Pasal 548 yaitu membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, atau Pasal 545 yaitu menjadikan sebagai pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, atau Pasal 540 yaitu menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya.

Demikian luas dan banyaknya persoalan yang diatur dalam KUHP menyebabkan banyak orang hukum sekalipun tidak sempat membaca semua pasal yang ada dalam KUHP tersebut.

Demikian pula dengan penegakan hukumnya, dimana banyak pasal-pasal dalam KUHP tersebut menjadi “dode regel”, hukum yang mati karena tidak pernah digunakan karena tidak banyak laporan kasus-kasus sederhana tersebut dan kalaupun dilaporkan ancaman pidananya tergolong sangat ringan.

Masyarakat agaknya menyadari bahwa melaporkan hal tersebut tidak sejalan dengan asas hukum acara pidana yaitu biaya murah, cepat dan sederhana. Juga disebabkan banyaknya tindak pidana lain di luar KUHP yang mengatur secara khusus berbagai tindak pidana yang bertebaran di luar KUHP yang lazim disebut sebagai hukum pidana khusus.

Berbagai hukum pidana khusus itu beberapa yang penting di antaranya adalah hukum pidana korupsi, hukum pidana terorisme, hukum pidana kekerasan dalam rumah tangga, hukum pidana pencucian uang, hukum pidana perdagangan orang dan seterusnya.

Sebagai hukum pidana yang bersifat khusus ia boleh menyimpangi ketentuan umum yang dimuat dalam Buku I KUHP. Itu lah keunggulan hukum pidana khusus dimana dengan kekhususan itu mudah pula untuk merubahnya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

RUU KUHP yang diharapkan sebagai KUHP Nasional yang berlandaskan rasa keadilan dan nilai hukum yang hidup di tengah masyarakat Indonesia yang sejak tahun 1962 telah dirumuskan oleh para ahli hukum pidana terkemuka yang diakui keilmuan dan integritasnya.

Sebagai pengganti KUHP warisan kolonial, tentu saja ia tidak merupakan kitab undang-undang yang benar-benar berbeda dengan KUHP lama tersebut. Dalam banyak hal tetap dipertahankan kesamaan dan juga delik-delik yang masih dianggap tetap perlu ada.

KUHP baru membawa misi meneruskan delik-delik dalam KUHP lama yang masih relevan dan membuat delik baru yang lebih sesuai dengan rasa keadilan serta membuang delik-delik yang dianggap tidak sejalan dengan nasionalisme bangsa Indonesia. KUHP nasional itu digali dari nilai-nilai yang hidup yang bersumber dari hukum adat, agama dan kebiasaan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip universal dalam hukum pidana modern.

Tugas itu tentu tidak mudah karena tugas tim perumus bukan sekedar membuat hukum. Mengakomodir berbagai pemikiran, ide dan nilai yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia yang sangat heterogen itu adalah pekerjaan yang amat sulit, sehingga patut lah jika RUU KUHP yang hendak disahkan oleh DPR dianggap sebagai karya besar ahli hukum bangsa Indonesia.

Berbagai penelitian dan kajian telah dilakukan. Perdebatan dan masukan dari banyak pihak telah pula didengar dan diakomodir. Bukan itu saja, RUU KUHP itu juga mengatur prinsip-prinsip umum hukum pidana yang menurut pendapat para ahli hukum pidana sudah meletakkan keseimbangan antara perlindungan masyarakat di satu sisi, pelaku kejahatan dan negara di sisi yang lainnya. Telah diperkenalkan model-model pidana alternatif yang dirasakan jauh lebih manusiawi dibanding bentuk pidana zaman kolonial.

Kita semua para pembelajar dan pengajar hukum pidana sempat berbesar hati saat KUHP yang dinanti-nanti itu akan segera disahkan.

Namun apa lacur, KUHP yang dinanti ditunda untuk disahkan atas permintaan masyarakat. Sejumlah pasal delik yang sebenarnya sudah disepakati di DPR masih menjadi kontroversi di tengah masyarakat baik karena belum mendapatkan informasi yang utuh tentang delik-delik tersebut maupun karena perbedaan nilai yang dianut dalam golongan masyarakat Indonesia.

Jika kontroversi disebabkan oleh perbedaan nilai yang dianut maka mengharapkan KUHP Nasional yang berlaku untuk semua orang di Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang dapat disepakati bersama adalah suatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini dapat ditempuh tiga sikap yaitu : Pertama, negara dapat saja memaksakan kehendaknya tetap memberlakukan hukum pidana walaupun tidak disepakati oleh semua orang dan semua etnik dan agama.

Hukum pidana sebagai hukum publik tidak memerlukan persetujuan setiap orang karena menurut mekanisme ketatanegaraan, untuk dapat disahkannya Undang-undang cukup dengan persetujuan DPR saja, maka jadi lah Undang-undang.

Setuju atau tidak setuju tiap orang, bahkan tahu atau tidak tahu itu bukan masalah karena dalam hukum berlaku fictie hukum dimana semua orang dianggap tahu tentang hukum.

Jika pilihan itu yang diambil, maka KUHP Nasional sebagai karya terbaik para ahli hukum pidana Indonesia tak ubahnya seperti KUHP kolonial dahulu yang jalan sendiri-sendiri dengan nilai hukum yang hidup di sebagian orang atau sebagian wilayah, walaupun pada sebagian lainnya selaras dan sejalan.

Kedua, adalah dengan menunda dan menggali perasaan keadilan masyarakat seluas-luasnya. Meskipun tidak akan mendapatkan kesepakatan setiap orang, cukup lah mendapatkan mayoritas dukungan dari masyarakat sehingga kontroversi akan berkurang.

Ketiga, adalah menyederhanakan RUU KUHP Nasional menjadi delik-delik yang bersifat sangat penting dan dapat diterima semua pihak saja dan membiarkan delik yang terdapat perbedaan dalam masyarakat diserahkan kepada bagaimana penilaian masyarakat setempat.

Ide ini sesungguhnya sudah diakomodir dan digagas dalam RUU KUHP yaitu dengan diperkenalkannya perluasan asas legalitas dimana hukum pidana mengakui pula perbuatan yang menurut hukum adat sebagai perbuatan tercela yang tidak ada padanannya dalam KUHP.

Itu lah yang dapat disebut sebagai pluralisme hukum pidana dimana apa yang terlarang dalam setiap masyarakat tergantung sepenuhnya kepada perasaan keadilan masyarakat yang boleh berbeda dengan masyarakat lainnya.

Pilihan ini memang bukan tanpa kelemahan. Kelemahan itu antara lain akan sulit menentukan ketercelaan pada masyarakat sekaligus potensial menjadi multitafsir dalam penerapannya. Kelemahan lainnya model ini cenderung akan mengabaikan prinsip persamaan di muka hukum.

Sebaliknya, di samping kelemahan tentu ada pula kelebihan. Di antara kelebihannya adalah bahwa negara tidak memerlukan tenaga yang ekstra untuk mengawasi perilaku warga negara karena dengan sendirinya mereka sudah mematuhi kaedah hukum yang hidup di tengah masyarakat.

Model ini pun bukan lah hal baru karena selama ini juga sudah diterapkan di beberapa daerah dimana pengadilan mengakui perbuatan yang tercela di tengah masyarakat sebagai perbuatan yang dapat dipidana meskipun tidak diatur dalam KUHP.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya