Tol dan Puja-Puji yang Menyimpan Luka: Jangan Terjebak dalam Kultus Pemimpin

Di tengah gemuruh pembangunan infrastruktur yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo, kita kerap melihat lautan pujian, seolah semua proyek besar adalah mukjizat dari seorang tokoh besar. Jalan tol dibangun, pelabuhan diperluas, bandara diperbarui—dan masyarakat diajak untuk berdecak kagum. Tapi pertanyaan pentingnya adalah: apakah semua itu benar-benar layak dipuja?
Mari kita tarik satu analogi sederhana. Jokowi, sebagai presiden, ibarat seorang kepala rumah tangga. Ia memang wajib membangun “rumah” yang baik: menyediakan akses, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki ekonomi. Tapi menjalankan kewajiban bukanlah prestasi luar biasa. Memberi makan anak bukan jasa—itu tugas. Dan tugas seorang pemimpin adalah mengabdi, bukan mencari pujian.
Pembangunan jalan tol menjadi contoh yang menarik. Jalan tol selalu dijadikan ikon kemajuan, simbol distribusi logistik, lambang pertumbuhan ekonomi. Tapi kita perlu bertanya: kemajuan untuk siapa?
Faktanya, jalan tol tidak gratis. Ia dibangun dengan utang besar, menggunakan tanah rakyat yang dibebaskan secara paksa atau dibeli dengan harga yang seringkali tidak manusiawi. Banyak warga desa kehilangan sawah, rumah, dan akses sosial. Satu kampung bisa terbelah. Satu kecamatan bisa terisolasi. Mereka yang dulu hidup dari pertanian, kini hanya bisa menatap aspal dari kejauhan.
Dan lebih jauh lagi, tol kini menjadi wajah penjajahan gaya baru.
Bagaimana bisa?
Jalan tol membelah wilayah—secara fisik dan sosial. Ia memisahkan kampung, mematikan usaha lokal, dan membuat sebagian wilayah terpinggirkan, tak lagi bernilai. Wilayah-wilayah yang mati ini perlahan akan dikuasai oleh mereka yang bermodal—karena murah, bahkan kadang gratis. Inilah bentuk penguasaan lahan sistematis yang dibungkus atas nama “kepentingan nasional”.
Dampak sosial ini tidak kecil. Anak-anak kehilangan akses sekolah karena jembatan lama dipotong tol. Orang tua kehilangan mata pencaharian karena sawah mereka berubah menjadi beton. Aktivitas sosial masyarakat pun perlahan menghilang, berganti dengan lalu lintas kendaraan yang tidak bisa mereka miliki.
Kita perlu melihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Jalan tol sejatinya hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kendaraan pribadi—mobil, truk, atau logistik usaha. Masyarakat kelas bawah, buruh tani, nelayan, atau pedagang kecil—tetap berjalan di jalan lama yang rusak, padat, dan terpinggirkan.
Sebagian masyarakat mungkin merasa senang ketika tanah mereka dibeli. Mereka mendapat uang tunai dalam jumlah yang tampak besar. Mereka membeli mobil, motor, televisi. Namun satu tahun kemudian, saat sawah dan ladang telah tiada, mereka sadar bahwa penghasilan tetap mereka telah hilang. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjual kembali mobil itu, demi biaya hidup. Mereka menjadi “kaya sesaat”—lalu miskin selamanya.
Ironisnya, semua ini dibalut dalam narasi kemajuan. Seolah tol adalah tanda Indonesia modern, meski yang menikmati hanya sebagian kecil masyarakat.
Jalan tol dibangun dengan utang. Dan utang itu akan dibayar oleh generasi berikutnya. Bukan oleh pemimpin yang saat ini mendapat pujian, tapi oleh rakyat yang belum lahir—yang mungkin bahkan tidak menikmati tol itu. Inilah bentuk ketimpangan antar generasi: kenikmatan segelintir, beban berjamaah.
Kita bukan anti pembangunan. Kita tidak anti infrastruktur. Yang kita tentang adalah pembangunan yang menindas, pembangunan yang tidak adil, pembangunan yang hanya untuk kelas ekonomi tertentu—sementara masyarakat bawah hanya menjadi penonton, bahkan korban.
Pembangunan yang baik harusnya melibatkan warga, mendengar suara mereka, dan memastikan keberlanjutan hidup mereka. Bukan sekadar menggusur dengan janji “ganti untung” yang tidak pernah benar-benar untung.
Presiden bukan dewa, bukan penyelamat. Ia manusia biasa yang menjalankan amanah. Pantas dihargai jika bekerja, tapi harus siap dikritik jika keliru.
Bangsa yang besar bukan bangsa yang mudah terpesona, tapi bangsa yang bisa membedakan antara tugas dan prestasi. Antara pujian yang tulus dan pemujaan yang membutakan.
Saatnya kita bangun kembali akal sehat publik. Hormati pemimpin, tapi jangan pernah memujanya secara berlebihan. Karena di balik puja-puji yang membabi buta, bisa jadi sedang terjadi penjajahan—bukan oleh bangsa lain, tapi oleh sistem dan kebijakan yang tak berpihak pada keadilan.
Artikel Lainnya
-
101327/03/2023
-
145408/06/2020
-
43102/11/2024
-
Bebaskan Indonesia dari Narkoba
179803/07/2020 -
Sukatani dan Bunyi-Bunyian Perlawanan
51905/03/2025 -
“Seniman Tukang” di Era Pemasungan Berkesenian
13213/05/2025