Sukatani dan Bunyi-Bunyian Perlawanan

Dari sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, suara gitar distorsi mengoyak kesunyian—sebuah grup punk bernama Sukatani melantunkan kritik pedas lewat lagu “Bayar Bayar Bayar”. Tapi, menyanyikan kebenaran seringkali berisiko. Alih-alih mendapat apresiasi, mereka justru diintimidasi Polda Jawa Tengah hingga dipaksa meminta maaf secara publik kepada institusi negara bernama Polri. Dikabarkan melalui postingan terbaru Sukatani di Instagram muncul tawaran menjadi “duta kepolisian” mengular sebagai solusi damai, Sukatani dengan tegas menolak. Kasus ini bukan sekadar drama antara musisi dan polisi, melainkan fragmen pertarungan kekuasaan yang lebih besar: negara versus subkultur, hegemoni versus perlawanan, serta demokrasi yang masih terjebak dalam jerat represi Orde Baru.
Kasus yang menimpa Sukatani mengingatkan saya pada Discipline and Punish-nya Foucault, dalam pemahaman saya, Foucault menggambarkan bagaimana negara modern mengontrol masyarakat bukan hanya melalui hukum, tapi juga mekanisme pengawasan, tekanan psikologis, dan normalisasi perilaku. Polri, dalam kasus ini, bertindak sebagai institusi disipliner yang memaksa Sukatani “mengoreksi diri” tanpa proses hukum. Lagu “Bayar Bayar Bayar”—yang menyindir praktik pungli di tubuh polisi—dianggap ancaman terhadap legitimasi institusi. Tapi alih-alih membawa mereka ke pengadilan, aparat menggunakan cara-cara informal: memanggil, menginterogasi, dan memaksa permintaan maaf. Ini adalah bentuk pemidanaan simbolik, di mana negara tak perlu menembakkan peluru untuk membuat warga takut. Cukup dengan kehadiran seragam yang mengancam, kritik bisa dibungkam, dan seni dipaksa tunduk.
Namun, negara tak hanya bergantung pada represi. Setelah tekanan publik membanjiri media sosial, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengulurkan tangan: Sukatani ditawari menjadi duta polisi. Di sinilah logika hegemoni bekerja. Jikalau kita mengutip pada pendapat Antonio Gramsci, kekuasaan tak hanya dipertahankan melalui paksaan (coercion), tetapi juga melalui persetujuan yang direkayasa (consent). Dengan menjadikan Sukatani sebagai “duta”, negara berusaha mengkooptasi perlawanan mereka—mengubah ancaman menjadi alat legitimasi. Tapi Gramsci juga mengingatkan: hegemoni selalu rentan retak. Sukatani, dengan konsistensi ideologis aliran punk, menolak tawaran itu. Bagi mereka, berjabat tangan dengan polisi bukanlah rekonsiliasi, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip DIY (Do It Yourself) yang menjadi jantung gerakan punk: otonomi, anti-otoritarian, dan penolakan terhadap kolaborasi dengan institusi korup.
Punk, sebagai gerakan kontra-budaya, memang lahir dari kemarahan. Craig O’Hara menyebutnya sebagai “anger as a political weapon”. Lirik-lirik vulgar, riff gitar kasar, dan penampilan urakan bukan sekadar gaya—itu adalah bahasa perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik. Ketika Sukatani menyebut “bayar Polisi” dalam lagunya, mereka sedang menelanjangi mentalitas transaksional aparat yang mempersulit urusan rakyat kecuali diberi “uang jalan”. Kritik ini menyentuh luka lama masyarakat terhadap polisi—institusi yang di era Reformasi masih sering dianggap sebagai tangan besi negara, bukan pelindung.
Penolakan Sukatani menjadi duta polisi adalah puncak dari perlawanan ini. Dalam bahasa punk, mereka memilih “sell out or fuck off”—menolak dijualbelikan atau minggir. Ini bukan sekadar aksi pemberontakan remaja, melainkan sikap ideologis yang konsisten. Di tengah maraknya musisi yang berlomba menjadi “duta” lembaga negara untuk mengamankan karier, Sukatani memilih tetap berada di pinggir. Mereka sadar: menerima tawaran itu berarti mengubur kritik, mengubah diri dari pengkritik menjadi bagian mesin propaganda.
Tapi apa arti semua ini bagi demokrasi Indonesia? Kasus Sukatani mengungkap paradoks pahit: di satu sisi, kebebasan berekspresi dijamin UU, tapi di sisi lain, aparat negara masih menggunakan playbook Orde Baru—intimidasi, panggilan tidak resmi, dan represi non-yudisial—untuk membungkam suara kritis. Polri, yang seharusnya menjadi penjaga hak sipil, justru menjadi aktor yang melanggarnya. Ini adalah bentuk soft repression: kekerasan yang tidak meninggalkan bekas darah, tapi efektif menciptakan budaya self-censorship. Jika dibiarkan, praktik ini akan menggerogoti demokrasi dari dalam, mengubah kritik dari hak konstitusional menjadi “privilege” yang bisa dicabut negara kapan saja.
Namun, ada secercah harapan. Dukungan publik yang meluas untuk Sukatani menunjukkan bahwa masyarakat mulai sadar: demokrasi tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada negara. Seperti teori civil society Cohen dan Arato, ruang publik menjadi medan pertarungan melawan hegemoni. Ketika warganet ramai-ramai membagikan tagar #SaveSukatani, mereka bukan hanya membela sebuah band, tetapi memperjuangkan prinsip bahwa seni harus tetap menjadi ruang kebebasan—tempat di mana kekuasaan boleh ditertawakan, dan polisi tak boleh jadi dewa yang kebal kritik.
Kasus Sukatani adalah cermin bagi kita semua. Di satu sisi, ia memantulkan wajah negara yang masih alergi terhadap kritik, yang menggunakan seragam dan otoritas untuk memaksa patuh. Di sisi lain, ia juga menunjukkan kekuatan subkultur yang menolak diam—gerakan punk yang, meski sering dianggap “kumuh” atau “nakal”, justru menjaga nyala perlawanan ketika demokrasi terancam oligarki dan represi.
Kapolri mungkin berpikir tawaran duta akan meredakan konflik. Tapi bagi Sukatani, menerimanya sama saja dengan menguburkan identitas mereka. Dalam chord-chord punk yang sumbang, ada pelajaran berharga: negara boleh memiliki senjata dan seragam, tapi seni memiliki kekuatan untuk menggedor kesadaran. Dan selama masih ada yang berani menyanyikan lagu-lagu perlawanan, selama itu pula demokrasi belum sepenuhnya mati.
Maka, biarkan Sukatani tetap menjadi pengingat: di negara yang benar-benar demokratis, polisi seharusnya tidak takut pada lagu—dan seniman tidak perlu takut pada polisi.
Artikel Lainnya
-
183126/07/2020
-
107713/05/2022
-
114322/11/2020
-
Integrasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Pendidikan Nasional di Indonesia
22007/12/2024 -
Demokrasi dan Logika Elite Politik Lokal
170517/03/2020 -
Filsafat Moral Ibnu Hazm: Kecemasan Adalah Ketenangan Yang Tertunda
20316/12/2024