“Seniman Tukang” di Era Pemasungan Berkesenian

Dulu dia melukis penderitaan. Kini dia menulis pujian. Bagus-Bagus. Rapi. Manis. Tapi, hanya untuk kekuasaan.
Dan, dia lebih mirip juru tulis penguasa. Tangannya tak pernah letih memuji, puisinya membela kebijakan, dan setiap karyanya terasa seperti, corong legitimasi kekuasaan.
Dia menulis bukan demi kebenaran, melainkan demi kenyamanan penguasa; selain itu karyanya bukan untuk menggugah kesadaran publik, melainkan untuk mengukuhkan citra elite. Dalam balutan kata-kata indah, sesunggguhnya dia hanya menyulam kepentingan.
Pena yang dulu tajam kini lunak seperti spons, menyerap pujian dan menampik kritik.
Dia tak lagi melukis realita, tapi mendekorasi panggung festival. Kini dia operator: mengatur EO, mempekerjakan seniman lain, menentukan siapa yang layak tampil, siapa yang patut diam.
Dia tak berkarya, ia mengatur karya. Lebih sibuk mengurus tenda, akomodasi, dan undangan pejabat daripada bicara soal isi.
Banyak orang sekitarnya, susah untuk mengkritiknya— karena terlalu banyak orang berutang panggung padanya. Dia menjelma semacam pejabat kultural: berkuasa tanpa jabatan, dihormati tanpa keberanian. Status quo memeluknya erat, dan dia terlalu berguna untuk diganggu, serta terlalu sibuk untuk digugat.
Di tangannya, seni menjadi alat komoditas yang bisa saja diperjualbelikan, namun bukan untuk suara perlawanan.
Salah satu bukti, menjadikan festival menjadi upacara estetika, bukan ruang ekspresi. Musik dimainkan, panggung dinyalakan, tapi suara-suara dibungkam pelan-pelan.
Dia telah berhasil: menyulap seniman jadi tukang, dan dirinya jadi mandor seni yang menetapkan batas imajinasi, sesuai dengan selera kekuasaan.
Penggambaran demikian, banyak orang yang menyebut dengan seniman tukang. Bukan karena mereka tak punya bakat, tapi karena bakatnya diarahkan untuk pesanan.
Mereka bekerja, bukan berkarya. Mereka mencipta sesuai selera klien, bukan kegelisahan hati.
Imajinasi mereka diukur dari format proposal, dan keberanian mereka dihitung dari besar anggaran. Mereka tak lagi bertanya "apa yang penting untuk dikatakan?", melainkan "apa yang laku di pasaran ?"
Seniman tukang hidup di tengah festival yang gemerlap tapi tanpa isi. Mereka menggambar sesuai tema yang sudah disepakati panitia. Menulis puisi tentang "damainya negeri" di tengah jeritan yang dibungkam.
Mereka masih tampil, masih berkarya, tapi kehilangan suara. Seni mereka indah, tapi jinak. Tajam, tapi diarahkan. Kritis, tapi dalam batas yang bisa disensor.
Istilah “Seniman Tukang”
Dan, semua berlalu begitu saja. Tak ada yang benar-benar peduli, apalagi berani mengoreksi atau merefleksikan tindak-tanduk dalam dunia kesenian.
Padahal, istilah "Seniman Tukang" sesungguhnya terinspirasi dari istilah "Intelektual Tukang". Istilah ini bukan hal baru—ia pernah populer di kalangan mahasiswa, khususnya di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan beberapa kampus lain di Yogyakarta pada awal 2000-an.
Kala itu, sosiolog kritis Prof. Heru Nugroho sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sosok intelektual yang bekerja secara teknis dan mekanis—seperti seorang tukang merakit kayu menjadi kursi atau meja.
Intelektual tukang bekerja secara instrumental, bukan reflektif atau kritis. Ia berbeda dari intelektual kritis yang mampu menafsirkan realitas sosial secara mendalam dan menawarkan alternatif-alternatif perubahan.
Begitu pula dengan seniman. Istilah seniman tukang adalah mereka yang terjebak pada kerja-kerja teknis—menggambar, menari, menyanyi, atau membuat karya seni lainnya—tanpa mengendapkan makna, tanpa refleksi, tanpa keberpihakan.
Mereka bekerja atas pesanan, bukan atas kegelisahan. Misalnya, seorang pelukis mural yang hanya membuat gambar-gambar dekoratif untuk kafe atau tempat hiburan, tanpa peduli pada pesan sosial atau politik dalam karyanya. Atau musisi yang hanya mengejar viralitas di media sosial tanpa mempertimbangkan, apakah musiknya memperkaya kesadaran kolektif atau tidak.
Dalam konteks ini, seni kehilangan daya gugatnya. Ia tak lagi menjadi medium kritik, melainkan justru menjadi bagian dari sistem yang ingin dikritik.
Seniman tukang lebih sibuk memenuhi tenggat dan permintaan sponsor daripada menggali keresahan-keresahan zaman. Mereka bisa mengutip lirik protes atau visual revolusioner, tapi tanpa konteks dan kesadaran, semua itu hanya jadi tempelan estetika—kosong secara politis.
Hal itu sangat berbeda dengan para seniman yang kritis. Bagi mereka, seni adalah bentuk keterlibatan dengan realitas. Mereka mengolah teknik bukan hanya untuk menciptakan keindahan, tetapi untuk menyampaikan kegelisahan, mengusik kenyamanan, dan menantang keadaan yang mapan. Karya-karya mereka sering kali tidak menyenangkan, sulit diterima, atau bahkan ditolak, hal demikian karena mereka terlalu jujur dan menggugah.
Seni dalam Pasungan Kekuasaan
Dalam perspektif antropologi, seni tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu lahir dan tumbuh dalam lanskap budaya, politik, dan ekonomi masyarakat tempat ia hidup. Sejalan dengan pendapat Gell, dalam bukunya Art and Agency (1998), memperkenalkan gagasan bahwa seni adalah bentuk agensi. Karya seni, menurut Gell, bukan sekadar objek pasif, tetapi agen aktif yang beroperasi dalam jaringan relasi sosial.
Maka ketika muncul fenomena "Seniman Tukang", kita sebenarnya sedang menyaksikan bagaimana kekuatan-kekuatan struktural—kapitalisme, birokrasi kebudayaan, bahkan represi ideologis—telah mengatur ulang relasi antara seniman, karya, dan masyarakat.
Bourdieu melalui konsep field of cultural production menjelaskan bahwa seniman beroperasi dalam medan yang penuh dengan pertarungan simbolik. Dalam medan ini, ada mereka yang bermain demi "kapital simbolik" (prestise, pengakuan, makna), dan mereka yang bermain demi "kapital ekonomi" (uang, pasar).
“Seniman tukang” adalah hasil dari dominasi logika pasar dalam medan budaya—di mana kapital ekonomi mendesak nilai-nilai simbolik dan kritis. Seni dikontrol oleh selera pasar, sponsor, dan industri, bukan oleh otonomi kreatif.
Istilah seniman tukang menandai pergeseran posisi seniman dari agen budaya yang reflektif menjadi pekerja jasa kreatif. Mereka menghasilkan karya tidak dari kegelisahan batin atau keterlibatan sosial, tetapi dari pesanan, tren pasar, dan logika industri. Secara antropologis, ini menunjukkan terjadinya komodifikasi seni—yakni seni dijalankan bukan lagi sebagai ritus atau ekspresi nilai, melainkan sebagai barang konsumsi.
Era pemasungan berkesenian bukan hanya berarti pelarangan eksplisit oleh negara atau kekuasaan formal. Ia juga terjadi dalam bentuk yang lebih halus dan sistemik: melalui tekanan pasar, algoritma media sosial, dan standar estetika yang dibentuk oleh institusi-institusi budaya dominan.
Dalam konteks ini, seniman tidak dibungkam secara frontal, tetapi dikondisikan untuk membungkam dirinya sendiri. Maka muncullah seniman yang produktif tetapi tidak subversif—rajin berkarya tapi tidak pernah menggugat.
Fenomena ini dapat dianalisis melalui konsep hegemoni Gramsci: kekuasaan bekerja bukan hanya melalui pemaksaan, tetapi juga melalui persetujuan yang diproduksi oleh budaya dominan.
Seniman tukang, secara tidak sadar, menjadi bagian dari aparatus hegemoni itu—mereka mereproduksi nilai-nilai dominan sambil percaya sedang berkarya secara bebas.
Jika seni pernah menjadi ruang sakral untuk menyuarakan yang terpinggirkan, kini ia kerap menjadi ruang nyaman bagi yang mapan.
Dan ketika seni telah kehilangan daya gugah dan daya gugatnya, kita pun patut bertanya: apakah yang tersisa dari seniman, selain keterampilannya?
Jawaban atas pertanyaan itu, bisa anda tanyakan langsung pada diri sendiri- saat melihat karya yang indah tapi kosong, rapi tapi tak bermakna. Sebab, tanpa keberanian untuk bersuara, seni hanya menjadi hiasan, dan seniman hanyalah pekerja tanpa jiwa.
Artikel Lainnya
-
150219/12/2022
-
366715/07/2020
-
20223/07/2024
-
98809/08/2021
-
Peter Singer dan Pandangannya Tentang Egalitarianisme Antar Spesies
60308/05/2024 -
Kecemasan, Kepedulian, dan Masa Depan Covid-19
76101/09/2021