Teologi Yang Mampu Membebaskan

Mahasiswa
Teologi Yang Mampu Membebaskan 23/07/2020 1416 view Agama Episcopal Café

Bermula pada pemahaman mengenai teologi yang sering kurang diperhatikan oleh publik. Teologi yang jarang direnungkan atau dilakoni oleh publik. Perlu dipahami bahwa teologi itu tidak hanya soal ritus-ritus atau pujian-pujian belaka. Teologi tidak hanya berorientasi pada peribadatan struktural yang selama ini sering didawuhkan oleh pemuka agama saja. Teologi lebih dari itu. Telogi mampu menjadi pembebasan bagi masyarakat. Terutama pembebasan atas segala penindasan yang terjadi.

Berbagai penindasan, keterbelengguan, jerit kaum kecil sering kita dengar dalam lika-liku kehidupan. Memang begitulah kehidupan. Ada yang menangis dan ada pula yang tersenyum. Bahkan ada yang ceria di atas kesedihan orang lain. Kehidupan tidak selalu seindah taman di surga. Kehidupan terkadang hadir secara tragis dengan sedikit meringis. Oleh karena itu, kehidupan perlu diperjuangkan demi sebuah raum wajah senyum manis.

Ngomong-ngomong soal penderitaaan dan teologi. Sering sekali kita temui bahwa teologi hanyalah sebagai ajang pelarian atas tangis hidup di bumi. Teologi hanya sebagai pundak ratapan bagi mereka yang menderita. Selebihnya teologi hanya mengobral janji manis guna mengusap air mata umatnya. Memang hanya sebatas mengusap air mata, tanpa memperbaiki apa yang membuat air mata itu menetes.

Teologi perlu mengalami rekonstruksi atas kehadirannya di muka bumi. Teologi tidak boleh hanya menjadi pundak ratapan. Melainkan teologi harus menjadi sebuah media perjuangan. Teologi harus mampu menumpas segala keterbelengguan bagi mereka yang lemah. Teologi menjadi pembebasan bagi mereka yang di bawah. Sehingga dapat terciptanya masyarakat adil makmur yang terbebas dari penindasan. Agama-agama pun meletakkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial itu sebagai salah satu ajaran pokoknya (Nurcholish Madjid, 1993: 41).

Jika Musa menjadi pembebas bagi bangsa Israel yang tertindas, maka Muhammad adalah Pembebas bagi seluruh umat manusia dengan cara membebaskan golongan masyarakat lemah” (Asghar Ali Engineer, 1999: 34).

Begitulah ungkapan Asghar Ali Engineer, bahwa para nabi hadir dengan mengemban misi pembebasan bagi mereka yang lemah. Oleh karena itu teologi hari ini harus memiliki semangat pembebasan atas segala penindasan. Lalu siapa yang mampu membebaskan?

Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri. Perubahan itu hadir dari kita sendiri. Pembebasan itu hadir dari kita sendiri. ketika seluruh umat manusia memiliki kesadaran kolektif maka pembebasan itu mampu diraih. Hal ini dapat menjadi langkah awal menuju cita-cita pembebasan.

Sebuah kesadaran kolektif mengenai sebuah teologi yang mampu membebaskan. Bukan teologi yang hanya berkutat pada ritus-ritus atau pujian saja. Apalagi teologi yang hanya menjadi pundak ratapan tangis kaum jelata. Akan tetapi teologi yang benar-benar mampu membebaskan segala keterpurukan tangis manusia. Teologi yang benar-benar mampu menciptakan senyum bersama. Teologi yang benar-benar mampu menciptakan bahagia yang sebenarnya.

Lantas bagaimana Teologi bisa membebaskan? Pertama, analisis kondisi lingkungan yang terjadi di masyarakat secara mendalam. Simpatik, empatik dan nalar yang kritis guna menganalisis problem-problem yang terjadi di masyarakat.

Kedua, perlunya pengakajian ulang, intrepetasi ulang terhadap tafsir-tafsir agama yang hanya berkutat pada metafisis maupun ritus-ritus belaka, dengan menambah interpretasi tafsir agama yang beroirentasi pada pembebasan masyarakat dari belenggu penderitaan.

Ketika, menentukan arah gerak yang akan dilakukan guna menjawab tantangan yang ada di masyarakat. Tentunya dengan pondasi agama yang relevan dengan problem di masyarakat. Dapat dikatakan gagasan atas interpretasi ulang tafsir agama yang membebaskan dan problem-problem yang terjadi di masyarakat digabungkan menjadi sebuah realitas pembebasan.

Layaknya Mu’adz ketika ditanyai oleh Muhammad “Dengan apakah engkau menjalankan hukum?”, “Dengan kitab Allah” jawabnya. “Kalau engkau tak dapati?”, “Dengan sunnah Rasul!” jawabnya lagi. “Kalau engkau tak dapati pula keterangannya dalam sunnah Rasul?”, “Saya berijtihad dengan akal saya, dan saya tidak berputus asa!” (Mohammad Natsir, 2015: 168-169).

Di akhir tulisan ini, saya berpesan bahwa melalui tulisan ini maka dapat menjadi bahan reflektif dan dapat menjadi introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini, apa yang telah kita lupakan dan lalaikan selama ini. Perlulah sebuah perenungan yang mendalam pada diri sendiri dan segala tindak laku pribadi.

Daftar Pustaka

Engineer, Asghar Ali,. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Madjid, Nurcholish,. 1993. Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Natsir, Mohammad,. 2015. Islam dan Akal Merdeka: Kritik atas Pemikiran Soekarno Tentang “Islam Sontoloyo” dan Seputar Pembaruan Pemikiran Islam. Bandung: Sega Arsy.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya