Seragam Sekolah : Antara Tren Fesyen, Agama, Budaya dan Regulasi

“Lagi di sekolah SMK Negeri 2 Padang. Saya dipanggil karena anak saya tidak pakai jilbab (kerudung), kita tunggu saja hasil akhirnya, saya mohon didoakan ya”.
Begitulah kira-kira keterangan pada video siaran langsung Facebook yang diunggah oleh Elianu Hia pada 21 Januari 2021 lalu. Video itu berisi perdebatan antara dirinya dengan perwakilan SMK Negeri 2 Padang. Pasalnya, Jeni Cahyani Hia putrinya menolak memakai jilbab (kerudung) di sekolah karena ia adalah siswa nonmuslim.
Tidak sampai satu bulan video tersebut berhasil membuat Tiga Menteri menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang diterbitkan pada 3 Februari 2021. Sebegitu urgenkah masalah seragam dan atribut sekolah sehingga harus dibuat sebuah regulasi?
Cara berpakaian terutama dalam dunia pendidikan tentunya sangat perlu diatur dalam bentuk regulasi. Sebab, tanpa adanya aturan yang jelas, penggunaan seragam yang semaunya akan mempengaruhi citra dunia pendidikan itu sendiri.
Untuk tenaga pendidik, aturan tentang cara berbusana telah dimulai sejak pendidikan bagi calon guru. Teringat pada tahun 2008, ketika penulis mengambil program akta 4 di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Riau. Bagi mahasiswa wanita diwajibkan memakai bawahan rok dan pakaian yang sopan (panjang, rapi dan tidak ketat). Sedangkan laki-laki diharuskan memakai celana kain yang tidak ketat. Hal ini dimaksudkan agar terciptanya tenaga pendidik yang berwibawa. Bukan hanya dari sikap dan intelektualitas, melainkan juga dari cara berpakaian.
Begitu juga dengan anak didik. Tanpa aturan yang tegas, mereka akan cenderung menggunakan seragam sekolah dengan model sesuai perkembangan zaman. Seperti dilansir dari beautynesia (Desember,2017), pada tahun 80an penggunaan seragam sekolah pada masa itu bagi peserta didik putri biasanya menggunakan rok panjang sepan yang longgar dengan panjang di bawah lutut. Jangan berharap melihat baju-baju ketat yang membentuk tubuh.
Anak sekolah zaman dulu justru menggunakan kemeja sekolah dengan ukuran lebih besar dari yang seharusnya. Selain itu, bagi kaum laki-laki, celana yang sedikit flare menjadi tren pada masa itu. Selain itu, kancing baju para laki-laki juga dibuka untuk mengikuti gaya. Dengan kata lain, tidak ada yang namanya baju kurang bahan atau kekecilan.
Memasuki era 2000an, perubahan memang tidak terlalu signifikan. Namun, sudah tidak ada lagi baju kebesaran atau longgar. Semuanya pas sehingga terlihat lebih nyaman untuk dilihat. Munculnya film-film remaja seperti Ada Apa Dengan Cinta cukup memengaruhi gaya anak SMA dalam berpakaian. Mereka memilih baju yang lebih sesuai dengan ukuran tubuhnya alias pas badan.
Namun, tanpa disadari tren fesyen anak sekolah kembali berubah perlahan. Baju-baju para peserta didik putri terlihat semakin sempit. Tidak hanya baju, tetapi juga rok dengan model sepan yang sangat membentuk lekuk tubuh. Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh gambaran anak SMA yang ditayangkan oleh media masa kini yakni rok panjang sepan super ketat atau rok rimpel longgar yang super pendek.
Untuk itulah pemerintah mengeluarkan regulasi yang mengatur cara berpakaian yakni Permendikbud nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada lampiran 1 disebutkan pakaian peserta didik putri yang tidak menggunakan hijab (muslim/nonmuslim) terdapat dua pilihan yakni menggunakan rok pendek dengan panjang rok 5 cm di bawah lutut atau rok panjang sampai mata kaki. Kebijakan ini sudah sangat bagus dan sejalan dengan syariat agama dan budaya tertentu untuk berpakaian yang tertutup bagi perempuan.
Di Provinsi Riau khususnya Kota Pekanbaru, Penduduknya merupakan mayoritas muslim dengan budaya melayu yang identik dengan baju kurung. Pemerintah daerah telah mengeluarkan Perda nomor 12 tahun 2001 tentang Pemakaian Busana Melayu di Lingkungan Pendidikan, Pegawai Negeri Sipil, Swasta, atau Badan Usaha Milik Daerah. Pada bab 6 pasal 7 tentang motif busana, disebutkan bahwa prinsip busana melayu bagi wanita adalah baju kurung yang tidak ketat, tidak jarang (menerawang) dan menutup aurat.
Namun Perda ini bisa menjadi masalah, sebab tidak ada pernyataan eksplisit pengecualian penggunaan tutup kepala bagi peserta didik putri yang nonmuslim. Hal ini disebabkan tutup kepala memang sudah menjadi bagian dari budaya melayu. Begitu pun yang terjadi di Padang dan kota-kota lainnya yang mana pemakaian tutup kepala sudah menjadi suatu budaya atau tradisi. Jadi sebenarnya hanya perlu dijelaskan secara eksplisit di pasal tersebut tentang pengecualian bagi peserta didik putri yang nonmuslim, sehingga tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Begitu juga dengan SKB Tiga Menteri yang sedang heboh saat ini. Hal yang dikritisi dari aturan ini ada pada poin kesatu yaitu "Peserta didik, tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah berhak memilih untuk menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu atau dengan kekhasan agama tertentu". Disini sebaiknya dijelaskan secara eksplisit bahwa kebebasan itu hanya diberikan kepada peserta didik yang nonmuslim saja dan bukan berarti bebas berpakaian semaunya, melainkan juga tetap menyesuaikan. Misalnya tetap berbusana melayu tetapi tidak perlu menggunakan penutup kepala.
Lalu pada poin keempat disebutkan "Pemerintah daerah dan/atau kepala sekolah sesuai dengan kewenangannya wajib mencabut peraturan, keputusan, instruksi, kebijakan atau imbauan tertulis terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah”. Semestinya pemerintah membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik para siswa untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama siswa.
Selain itu, memakai pakaian khusus keagamaan (pakaian seragam khas muslimah) merupakan bagian dari pelaksanaan ajaran agama sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Karenanya pemerintah harus melindungi hak siswa dalam menjalankan ajaran agamanya melalui peraturan sekolah yang bijaksana dan moderat Sehingga hal ini dapat menumbuhkan keberagaman siswa yang religius, damai, toleran, serta meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional.
Jadi, regulasi yang ada saat ini sebenarnya sudah bagus. Hanya perlu sedikit direvisi agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Karena ini bukan hanya menyangkut pemeluk agama nonmuslim yang keberatan dengan penggunan kerudung, melainkan juga pelarangan penggunaan kerudung bagi muslimah sebagaimana yang terjadi di sekolah negeri di Bali yang sempat heboh beberapa tahun lalu.
Seperti ungkapan “Busana mencerminkan kepribadian”, tentunya pemerintah ingin citra Indonesia tercermin dari cara berpakaian para insan dunia pendidikan yang rapi dan sopan. Namun jangan lupa juga pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bahwa kita juga harus bisa menyesuaikan dengan budaya dimana kita berada.
Artikel Lainnya
-
137304/08/2020
-
267401/09/2021
-
138807/09/2020
-
Kemiskinan dalam Teropong Ajaran Sosial Gereja
22419/10/2024 -
Integrasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Pendidikan Nasional di Indonesia
11107/12/2024 -
Bonus Demografi dan Masa Depan Generasi Islam Indonesia
196024/01/2021