Revolusi Moral Berbasis Cinta dan Akal Sehat

Pekerja Seni
Revolusi Moral Berbasis Cinta dan Akal Sehat 25/12/2020 1565 view Politik pixy.org

Sejak beberapa tahun belakangan, kata revolusi ramai lagi diperbincangkan. Seorang pemuka agama yang kini terjerat kasus pelanggaran protokol kesehatan dan penghasutan, mempolulerkan Revolusi Akhlak. Menurutnya, Revolusi Akhlak adalah jalan menuju Indonesia yang lebih baik.

Sebelum itu, seseorang yang kini duduk di pucuk pimpinan Indonesia membuat jargon Revolusi Mental. Senada dengan pemuka agama itu, ia meyakini Revolusi Mental sebagai resep jitu memperbaiki hidup di Tanah Air ini.

Puluhan tahun silam, di Indonesia, kata revolusi lekat dengan golongan kiri. Komunisme gaya lama memang menganjurkan, bahkan mengharuskan, revolusi negara demi terciptanya masyarakat tanpa kelas. Dalam banyak catatan sejarah, revolusi kaum kiri di berbagai negara selalu mensyaratkan kekerasan sebagai jalannya.

Pada tahun 1917, Kekaisaran Rusia yang telah berdiri sejak 1721, runtuh diguncang Revolusi Bolshevik. Berbagai pertempuran tak terelakan. Kaisar terakhir mereka, Nikolai II, beserta keluarganya dieksekusi mati pada 17 Juli 1918 oleh kaum komunis Rusia.

Kekerasan sebagai jalan revolusi juga terjadi di Cina. Negeri Panda itu diguncang perang hebat pada tahun 1949. Partai Komunis Cina pimpinan Mao Ze Dong bermaksud merebut kekuasaan dari tangan kelompok nasionalis. Lebih dari satu juta orang menjadi korban peperangan itu.

Tak hanya komunisme, kekerasan dalam revolusi juga terjadi atas nama isme-isme lain. Di Prancis, revolusi menggulingkan monarki yang telah berusia berabad-abad terjadi pada akhir abad ke-18. Rakyat Prancis menghendaki lahirnya sebuah republik yang demokratis dan sekuler.

Napoleon Bonaparte yang legendaris itu moncer sebagai pemimpin revolusi. Alih-alih membawa kehidupan yang lebih baik dan damai, ia malah memantik sejumlah perang besar di Eropa. Jutaan nyawa menjadi korban.

Apakah revolusi harus selalu melibatkan kekerasan? Sejumlah fakta sejarah memang mengatakan demikian. Namun, kekerasan dalam rangka apa pun, termasuk dalam revolusi, tidak pernah menghasilkan apa pun selain kekerasan yang lain. Tidak ada kedamaian dan kebaikan melalui kekerasan. Demikian Leo Tolstoy berpendapat.

Lahir di Rusia pada tahun 1828, Leo Nikolayevich Tolstoy, dikenal luas sebagai seorang sastrawan dunia. Ia disebut-sebut sebagai sastrawan terbesar Rusia. Pemimpin Revolusi Bolshevik sekaligus diktator-proletar pertama Uni Soviet, Vladimir Lenin, menyebutnya “cermin Revolusi Rusia”.

Sejumlah karyanya yang bergenre realis banyak menggambarkan luka-liku kehidupan rakyat Rusia era kekaisaran yang acap diwarnai perang yang menyengsarakan mereka.

Meski Lenin memujanya, namun Tolstoy tidak sejalan dengan apa yang ditempuh kaum komunis: revolusi melalui kekerasan.

Ia menganjurkan anarkisme. Kondisi a-narki (tanpa pemerintah/otoritas/kekuasaan) adalah yang terbaik. “Kontrak Sosial” antar manusia akan terjadi secara alamiah dan wajar. Tidak ada koersi. Tidak ada represi. Tidak ada yang menguasai dan dikuasai. Semua hidup dalam posisi yang sejajar. Kalaupun terjadi kekerasan, tidak akan sampai terorganisir sebagaimana kekerasan yang dilakukan pemerintah.

Di mata Tolstoy—dan secara umum di mata anarkis—pemerintah adalah sumber malapetaka karena mereka mengeskploitasi rakyat demi keuntungan mereka dan lingkarannya sendiri. Rakyat ditindas dengan kejam seraya dipunguti pajak bukan demi kesejahteraan dan kebaikan rakyat, melainkan demi kelanggengan kekuasaan dan pemenuhan ambisi pemerintah.

Perang, penguasaan tanah oleh segelintir orang, pemusatan modal, perbudakan, dan kekejaman lain yang dilakukan pemerintah atas nama negara yang menyengsarakan orang banyak, tidak bisa dibenarkan menurut nalar dan hati nurani.

Kondisi ini diperparah karena rakyat tak berdaya dan terperdaya. Alih-alih melawan, rakyat justru ikut serta dalam kekejaman pemerintah dengan terus membayar pajak dan mendaftarkan diri menjadi tentara, dua hal yang menurut Tolstoy merupakan senjata utama pemerintah melanggengkan kekuasannya.

Manusia sebagai makhluk berakal dan memiliki hati nurani sepatutnya mempertanyakan keikutsertaannya dalam segenap tindakan pemerintah yang bertentangan dengan nalar dan hati nurani.

Rakyat harus melawan namun bukan dengan kekerasan. Kondisi a-narki yang idamkan tidak bisa dicapai melalui revolusi berbasis “dinamit dan belati” sebagaimana yang kerap dilakukan para anarkis dan nihilis. Hal demikian justru memburuk keadaan sebab merusak opini puiblik, senjata utama people power.

Terhadap kaum revolusioner yang kompromistis, ia juga mengajukan keberatannya. Kelompok ini masuk ke pemerintahan dengan niat menghancurkannya dari dalam. Namun, pemerintah telah memperhitungkan segala kemungkinan.

Sebagaiamana yang dipraktekan dalam percaturan politik Indonesia dewasa ini, daripada “oposisi” ini berkeliaran di luar pemerintah dan membuat gaduh, “merangkulnya” ke dalam jajaran penguasa adalah pilihan yang lebih cerdas.

Pemerintah dapat memantau dan mengontrolnya, mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mengancam kekuasaan mereka bahkan sebelum menyeruak ke permukaan. Alih-alih menjadi Kuda Troya, mereka malah jadi alat penguasa meredam segala gejolak yang meresahkan.

Baik yang menentang dengan jalan kekerasan atau yang kompromistis, keduanya sama-sama tidak membuahkan apa-apa selain menjauhkan mereka dari tujuan revolusi: menghapuskan pemerintah.

Sebagai solusi, dalam esainya “Tentang Anarki” (1900), ia mengajukan Revolusi Moral sebagai “satu revolusi permanen”. Tidak ada jalan lain yang mungkin selain merevolusi moral manusia melalui apa yang ia sebut “kelahiran kembali batin manusia”.

Demi hidup yang lebih baik, manusia harus merdeka akal dan nuraninya. Cinta dan kearifan harus menjadi dasar segala tindakan. Bagi Tolstoy, hal ini sejalan dengan ajaran Kristus, “bukan karena Kristus adalah Tuhan atau manusia agung, tetapi karena ajarannya tidak dapat disangkal.” Ia yakin bahwa tidak akan kejahatan yang lahir dari “cinta dan kearifan”, dua hal ajaran universal Kristus.

Sebagai mahluk rasional, manusia tahu bahwa dirinya akan mati. Terlepas dari percaya atau tidak akan adanya Tuhan dan kehidupan pasca kematian, hal itu adalah fakta tak terbantahkan. Bagi seorang yang percaya Tuhan, mereka meyakini bahwa seluruh tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, mereka senantiasa menyelarasakan segala tindakan dengan ajaran Tuhan, melawan penindasan adalah salah satu di antaranya.

Sementara, bagi seorang atheis yang menjungjung tinggi nalar dan cinta sebagai pondasi hidup, setidaknya sekali sebelum mati, melawan kesewenang-wenangan pemerintah yang irasional dan melecehkan cinta kasih adalah suatu keharusan.

Maka, bagi siapa pun, melawan pemerintah adalah patut, demi hidup yang lebih baik. Mengganti pemerintah dengan pemerintah hanya akan memperpanjang kekerasan sebab pemerintah dan kekerasan bak dua sisi mata uang. Satu-satunya jalan adalah ditiadakan sama sekali. Anarki.

Menggugah kesadaran adalah awal dari “kelahiran kembali batin manusia”. Rakyat harus menyadari bahwa malapetaka yang diakibatkan pemerintah yang menderanya dapat diubah hanya dengan cinta dan akal sehat, bukan dengan kekerasan.

Di akhir esainya yang ia tulis di tahun pertama abad ke-20, Tolstoy menulis sebuah refleksi mendalam yang, meski ditulis seratus dua puluh tahun silam, masih sangat relevan dengan kondisi hari ini: “Namun, di dunia kita semua, orang berpikir untuk mengubah kemanusiaan, dan tidak ada yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.”

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya