Tantangan Energi Eropa: Embargo Rusia dan Upaya Diversifikasi Pasokan

Tantangan Energi Eropa: Embargo Rusia dan Upaya Diversifikasi Pasokan 30/06/2024 210 view Politik idntimes.com

Aneksasi wilayah Krimea oleh Russia yang dimulai pada tahun 2014 telah menjadikannya sebagai sumbu api bagi stabilitas benua Eropa. Penggulingan Viktor Yanukovych pada akhirnya membuat Russia mengadakan referendum bagi masyarakat Krimea yang menghasilkan Krimea sah menjadi bagian dari Federasi Russia, meskipun referendum ini tidak diakui secara hukum internasional.

Masalah tidak hanya sampai di situ, pada 2022 Presiden Vladimir Putin secara tegas menyatakan Russia akan menginvasi ke wilayah Ukraina sekali lagi. Separatis Pro-Moskow juga secara de facto mendeklarasikan pembebasan wilayah Luhansk dan Donetsk. Aksi yang dilakukan oleh Russia ini telah memantik gelombang cercaan dari negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa. Akibatnya, produk-produk Russia terkena embargo dari Uni Eropa termasuk minyak yang menjadi komoditas ekspor utama Russia selama berdekade-dekade.

Dengan putusnya sumber minyak dari Russia, Uni Eropa harus memutar otak untuk memperoleh minyak alternatif. Tercatat, negara-negara Teluk menjadi pemasok minyak bagi negara-negara Uni Eropa. Sebelum adanya embargo, Russia mengekspor minyak 7,5 juta barel per hari kepada Uni Eropa, sedangkan Negara Teluk saat ini hanya mampu mengekspor 3 juta barel per hari. Tentunya dengan situasi seperti ini, Uni Eropa masih sangat butuh pasokan minyak alternatif lainnya. Uni Eropa saat ini hanya bisa menghemat penggunaan minyak karena jika tidak Uni Eropa akan mengalami krisis energi yang akan berdampak luas nantinya. Negara-negara terkurung daratan seperti Republik Ceko dan Austria harus mengakali pasokan minyak karena akses laut sangat sulit dijangkau.

Faktor lain yang menyebabkan kemarahan negara-negara barat adalah pengembangan tenaga nuklir secara masif oleh Russia. Amerika Serikat yang menjadi pemimpin negara barat tentunya sangat kelimpungan, dimana belum selesai dengan perkembangan tenaga nuklir yang pesat oleh Korea Utara, Pakistan, dan India, sekarang harus dihadapi oleh kenyataan bahwa Russia telah membangun sumber nuklir secara masif.

Perkembangan tenaga nuklir di Rusia menunjukkan kemajuan yang signifikan dan strategis dalam peta energi global. Saat ini, Rusia memiliki 37 reaktor nuklir operasional dengan total kapasitas terpasang sebesar 37,7 GW, menempatkannya di urutan ke-11 dunia dalam hal kapasitas terpasang nuklir. Di tengah upaya untuk memperkuat posisinya, Rusia sedang membangun 4 reaktor nuklir baru dengan total kapasitas 4,3 GW. Tenaga nuklir memainkan peran penting dalam bauran energi Rusia, dengan kontribusi sekitar 18% dari total pembangkit listrik negara.

Selain itu, Rusia terus mengembangkan teknologi nuklir canggih, termasuk reaktor VVER-1200 yang dianggap sebagai salah satu desain reaktor paling aman dan efisien di dunia. Tidak hanya berfokus pada pengembangan domestik, Rusia juga memiliki ambisi global untuk menjadi pemimpin dalam teknologi nuklir dan berupaya untuk mengekspor reaktor nuklir ke berbagai negara lain.

Dengan belum ditemukannya solusi perdamaian antara Ukraina dan Russia, selama itu juga Eropa akan kekurangan pasokan minyak dan mungkin saja akan terjadi krisis energi di wilayah ini. Perdamaian adalah solusi konkret dimana Russia harus menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah Ukraina, selain itu Ukraina harus mengurungkan niatnya untuk bergabung dengan NATO demi terjaganya stabilitas kawasan dan ditemukannya win-win solution bagi kedua negara.

Saat ini Uni Eropa masih belum mempunyai Undang-Undang yang mengatur masalah terkait Russia dan Ukraina, sehingga resolusi hanya bisa dilakukan oleh kedua negara tanpa ada aturan yang mengikat dari organisasi manapun. Krisis energi adalah suatu hal yang mengerikan jika benar terjadi, semua daratan Eropa akan mengalami penurunan pendapatan perkapita, kenaikan harga barang, dan kemiskinan akan meningkat pesat. Hal yang bisa dilakukan oleh kedua pihak adalah sama-sama menurunkan ego demi keberlangsungan hidup orang banyak.

Meskipun di dunia maya, masyarakat Indonesia cenderung pro-Russia, namun tidak dinafikan beberapa golongan di tanah air banyak yang mengecam tindakan Russia dan pro terhadap negara barat.

Selain itu, Indonesia yang merupakan penggagas gerakan non-blok saat ini harus berupaya menjadi fasilitator mediasi bagi kedua negara. Indonesia tidak boleh gegabah dalam menentukan sikap, setiap langkah Indonesia dalam konflik Russia dan Ukraina harus sangat diperhatikan mengingat jika salah langkah sedikit saja tentu Indonesia akan masuk ke dalam konflik ini.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya