Oligarki dan Perang Kelas

Akademisi dan Peneliti
Oligarki dan Perang Kelas 11/06/2020 3187 view Politik www.pinterest.com

Hujan riuh akhir Juni adalah pertanda bahwa tidak lama lagi tahun akan berujung, dan mantra-mantra politik baru akan dibuat. Petrikor dan cerah bunga tidak meneduhkan. Angin sepoi dan tampias hujan tidak lagi menyejukkan. Siluet senja dan lagu cinta benar-benar memuakkan. Dampak buruk dimensi psikologis di atas disebabkan oleh semakin absolutnya skema produksi kapitalisme dan negara yang memporak-porandakan tatanan bahagia kehidupan manusia.

Kegembiraan bersuka-ria merayakan liburan, Natal, dan kebebasan akhir tahun diganggu oleh sekelindan penderitaan kewargaan yang berdampak pada ketidakadilan struktural; korban penggusuran di Tamansari Bandung, korban penggusuran di Tambakrejo, korban penggusuran di Jabres Tengah, warga terdampak limbah PT.RUM di Sukoharjo, warga korban PLTU Cilacap, race and the crisis of humanism in West Papua, warga korban represifitas negara di Urut Sewu, Omnibus Law dan teman-teman Aliansi Reformasi Dikorupsi yang menjadi korban kriminalisasi authoritarian regime.

Rezim otoritarian-infrastruktur hari ini adalah rezim muka tebal. Lapis utama berwajah sipil, ndeso, pro-rakyat, dan tetek-bengek lainnya yang bila dimodifikasi dalam akan menampakkan wajah sesungguhnya, yaitu, kapitalis-teknokratik yang dijaga ketat oleh kekuatan oligarki politik-bisnis dan senjata tentara. Kesadaran palsu yang dihasilkan oleh hegemoni demi hegemoni negara mengglorifikasi pendisiplinan dan keseragaman.

Distorsi demi distorsi membatalkan politik partisipatif warga negara. Proposal agenda politik kerakyatan menjadi fasilitas kampanye kekuasaan untuk mengguyur harapan publik melalui beragam program populis. Tujuannya satu; akumulasi statistik suara warga negara yang kemudian diajukan sebagai fasilitas untuk melegitimasi institusi kekuasaan ekonomi dan politik ekstraktif.

Agenda Negara Kesejahteraan bertransformasi menjadi agenda Negara Menggusur. Agenda sosial justice berakhir menjadi social injustice. Agenda dekomodifikasi masyarakat madani menghasilkan kenahasan komodifikasi pasar. Dst. Kapitalisme merupakan babak tercerahkannya umat manusia dan tersibaknya tabir kenyataan sosial, bahwa kekayaan itu bukan sarana belaka. Kekayaan itulah tujuan utama yang sebenarnya.

Segala hal di luar penimbunan dan pelipat-gandaan kekayaan tidaklah penting. Bahwa menyantuni rumah yatim piatu, memberi pengobatan gratis, membangun sekolah gratis, dan segala bentuk solidaritas dan kebaikan lainnya adalah catatan kaki (Dede, 2010). Sialnya, dalam era neo-kapitalisme, logika pasar menjadi dikotomi asosiatif nation-state untuk meminimalisir komodifikasi kapitalisme negara di antara dominasi agresif non-state-actor yang, misalnya, mempersempit ruang demokrasi sosial dengan pertandingan kapital; ada uang, ada kebijakan.

Oligarki

Dalam buku Why Nation Fail (2017), ekonom Acemoglu dan James Robinson mengajukan keterangan menyoal institusi ekonomi dan politik ekstraktif yang menempatkan kekuasaan di tangan segelintir kecil kelompok elite di mana masyarakat memiliki kontrol yang sangat lemah sekali terhadap kekuasaan tersebut. Dalam terminologi politik Jakarta atau politik lokal daerah, kita melihat bagaimana monopoli ekonomi dan politik ekstraktif itu dikendalikan oleh basis struktur ekonomi oligarki, dan di daerah, oleh market dominant minorities (oligarki lokal) yang menyelundup diam-diam di dalam suprastruktur negara.

Kita menyaksikan realitas politik yang dioperasionalkan oleh para orang kaya; Pertama, meski kondisi ekonomi nasional atau neraca perdagangan mengalami defisit yang signifikan, pertumbuhan ekonomi tetap bisa dihasilkan apabila kelompok elit dengan alat produksi bisa secara langsung menyalurkan sumber-sumber daya yang mereka kuasai ke dalam kegiatan produksi yang mereka kontrol. Hal ini dicontohkan oleh feodalisme Karibia pada abad ke-16. Kegiatan ekspor berlangsung, tetapi kelas pekerja hidup miskin dan termarjinalkan.

Kedua, pertumbuhan ekonomi dalam lokasi politik ekstraktif bisa muncul jika institusi-institusi tersebut memberikan kesempatan bagi perkembangan institusi ekonomi yang inklusif; membuka pasar seluas-luasnya. Seolah-olah, keadilan distributif bisa diandalkan pada gerombolan oligarki yang sama sekali memiliki tradisi etis dengan pesakitan warga. Setelahnya, eskalasi investasi yang besar justru berakibat fatal, tidak hanya menyebabkann ketidakadilan struktural bagi masyarakat dengan atau tanpa alat produksi, tetapi juga buruk bagi kesehatan lingkungan dan perempuan.

Tidak mungkin ada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang akan dihasilkan oleh rezim. Pun, dua percontohan di atas merupakan fakta politik brutal dan manifestasi kesejahteraan delutif dari apa-apa yang diimpikan oleh kekuasaan hari ini; Pertama, bila di waktu-waktu sebelumnya para good local financial capitalism berdiri di luar garis politik, kendati membonekakan elit politik pragmatis sebagai partner in crime untuk meloloskan akumulasi kapital bisnis mereka.

Maka hari ini, mereka adalah aktor politik yang juga berdiri di dalam garis politik; mereka adalah politisi, penguasa ekonomi ekstraktif, produsen, konglomerat, sekaligus pengontrol rakyat yang sesungguhnya.

Kedua, struktur politik nasional menjadi sangat eksklusif dengan mengabaikan banyak mekanisme hukum untuk membuka dan mempersilahkan hilir-mudiknya arus besar penamaan modal di Indonesia. Artinya, akan lebih banyak yang dirampok dan dicuri dan berakibat pada terampasnya hak-hak warga negara di bawah bendera-bendera pembangunan.

Namun, yang harus dipahami setelahnya adalah, bahwa pertumbuhan ekonomi tidak paralel dengan pemerataan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak berarti berdampak pada meningkatnya kesejahteraan individu atau komunitas. Kesejahteraan universal hanya mungkin dihasilkan bila terjadi reformasi nilai dalam tubuh birokrasi. Mentransformasikan secara fundamental institusi ekonomi dan politik menjadi tidak ekstraktif, menghalau dominasi agresif oligarki, mengaktivasi public sphere yang tidak tertutup, dan tidak boleh ada birokratisasi pikiran yang mengontrol serupa Orwellian State.

Perang Kelas

Tesis menyoal egalitarianisme dan pembebasan kelas harus dirumuskan ulang. Bila bentuk baru akumulasi primitif bekerja melampaui prinsip dasar ekonomi, maka metode perjuangan kelas harus direkonstruksi dan/atau mengalami proses radikalisasi. Tujuan utamanya adalah penghancuran rezim kekuasaan absolut yang menyelundupkan dominasi agresif kapital borjuis yang menjadi ciri republik oligarkis.

Oleh karena itu, bila perjuangan kelas hanya merupakan akibat determenistik dari hukum akumulasi. Kita mesti merumuskan ulang metode perjuangan itu melampaui kondisi material objektif. Sehingga, tidak lagi terjebak pada utopia determinisme ekonomi chauvinistik yang ekstraktif. Lalu setelahnya, merancang kebaharuan antagonisme untuk menghasilkan masyarakat komunal tanpa kelas.

Seperti penolakan Badiou, kita juga harus menoak ramalan kemungkinan para Leninis bahwa ide komunisme dapat dilembagakan dalam suatu negara jenis baru. Bila hendak konsisten pada cara berpikir Marx, maka ide tersebut mesti mewujud dalam rangka pelenyapan negara dan penghancuran representasi.

Konsekuensi praktisnya, seperti yang dipraktekkan oleh Badiou dalam I’Organisation Politique (Martin, 2011) adalah visi politik yang mengambil peranan dalam struktur kekuasaan, menolak pendanaan negara dalambentuk apapun, menolak ikut pemilu, menolak penyeragaman dan pendisipinan pikiran, dan mengorganisisr gerakan kiri radikal yang non-hirarkis yang, misalnya, melakukan proses infiltrasi ke dalam kelompok buruh dan petani, juga kaum tertindas lainnya, guna diaktifkannya kesadaran sinis dan pembangkangan kelas terhadap negara, oligarki dan kapitalisme.
 

Daftar Pustaka

Acemoglu, Daron & Robinson, James. Why Nation Fail?: The Origin of Power, Prosperity, and Poverty. New York: Crown Bussines. 2012

Mulyanto, Dede. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus. 2010

Suryajaya, Martin. Alan Badiou dan Masa Depan Marxisme. Yogyakarta: Resist Book. 2011
 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya