Menuju Pendidikan Erat Kehidupan

Menuju Pendidikan Erat Kehidupan 30/01/2022 883 view Pendidikan Dokumen pribadi

Beberapa hari yang lalu, usia Ujian Akhir Semester dirampungkan, saya memantapkan niat hati untuk pulang ke kampung halaman. Bagi mahasiswa perantauan seperti saya yang menghabiskan usai remaja di kota orang, ‘pulang kampung’ adalah suatu hal yang sentimentil. Seakan niat untuk pulang urung disebabkan dengan fantasi lingkungan perantauan yang kian nyaman dan mengasyikkan.

Namun, kehendak hati tetap memilih untuk pulang kampung, bukan hanya karena sudah lama tidak merasakan suasana rumah, tetapi sebagai recharge identity; sedikit berjarak dengan hingar bingar kota yang disesaki penyakit disrupsi dan geliat ambisi. Dari tanah perantauan ke kampung halaman adalah belajar memahami bahwa hidup tidak selamanya soal perjuangan dan perlawanan, sesekali menepi untuk merefleksikan diri bahwa ‘kita adalah makhluk Tuhan yang serba kekurangan.’

Yang terjadi bukan gambaran gembira pulang kampung dengan membayangkan suasana rumah yang sudah lama tidak terjamah, justru yang lumrah terjadi adalah perasaan sepi dan sunyi. Tentu, saya bukanlah orang yang pertama merasakan itu, kebanyakan mahasiswa bakal merasa sepi, sunyi bahkan asing tatkala pulang menuju kampung halaman. Pikirku, kampung halaman tidak seenak dan mengasyikkan tanah perantauan yang dipenuhi canda tawa teman.

Sajak yang Menyentak

Kala itu, saya memilih moda transportasi bus untuk pulang dari Semarang menuju Madiun. Sebelumnya, tidak jarang menggunakan transportasi pribadi, namun karena saat itu bertepatan dengan libur Natal dan Tahun Baru, akhirnya memutuskan untuk naik angkutan umum. Macet dan padatnya lalu lintas menjadi alasan utama untuk lebih memilih menggunakan transportasi umum dibandingkan transportasi pribadi.

Bus melaju menapaki aspal jalan raya, terik matahari itu menyengat memasuki ruangan bus yang terpantulkan lewat kaca, sedangkan saya masih melamun membayangkan “apa yang akan saya lakukan ketika sudah sampai di kampung halama?” Di tengah lamunan yang membosankan, saya sesekali membalas pesan WhatsApp dari teman-teman, sesekali juga melihat story WhatsApp.

Dengan tiba-tiba, lamunan itu buyar seketika melihat story WhatsApp dari salah seorang teman. Walaupun story itu terlihat biasa, hanya foto bunga di pekarangan rumah, namun yang membuat saya tersentak adalah caption-nya yang berisikan salah satu sajak penyair masyhur di Indonesia, WS. Rendra. Kira-kira begini caption, alias sajaknya: Apakah gunanya seseorang belajar teknik, kedokteran, filsafat, sastra, atau apa saja, ketika ia pulang ke rumahnya, lalu berkata, “Di sini aku merasa asing dan sepi!”

Sajak itu singkat, tetapi bikin menyanyat. Hanya satu dua kalimat, tetapi menjadikan semangat semakin membulat. Tanpa disadari, sajak itu seakan mengingatkan saya untuk memperlakukan pengetahuan yang sudah dipelajari demi kemaslahatan dan keberlanjutan, menunjukkan kepada saya, sebagai mahasiswa, akan pentingnya peran di lingkungan, juga mengingatkan kepada kita untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi kehidupan.

Tidak terasa, bus telah sampai di kota Solo. Dan sebentar lagi akan memasuki Terminal Tirtonadi untuk transit bus arah Madiun. Jauh sebelum moncong bus memasuki gerbang terminal, di samping kanan saya melihat Rumah Sakit Universitas Negeri Surakarta (UNS). Saya bergumam dalam hati, “Andai semua mahasiswa usai purna bisa menjadi abdi manusia yang sesuai dengan bidangnya. Tentu sangat membahagiakan dan suatu capaian yang luar biasa.”

Pendidikan Untuk Kehidupan

Saya masih penasaran dengan sajak yang digubah oleh WS. Rendra itu. Melalui penelusuran Google, sajak itu saya temukan dalam versi lengkapnya yang diberi tajuk ‘Sajak Seonggok Jagung.’ Saya merasakan erangan kuat dari sosok Rendra yang mempertanyakan pendidikan yang kian jauh dari permasalahan kehidupan. Demikian, pendidikan sekarang hanyalah berbicara soal peringkat dan nilai, perihal penerapan dan implementasi dibicarakan di kemudian hari.

“Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupannya! Aku bertanya, apakah gunanya pendidikan, bila hanya akan membuat seseorang asing di tengah kenyataan persoalan? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibu kota, menjadi sekrup-sekrup di Schlumberger, Freeport, dan sebagainya, kikuk pulang ke daerahnya?”

Berbekal sajak gubahan Rendra, amatan dan lamunan pribadi ketika perjalanan pulang, dan berdirinya Rumah Sakit UNS, saya membayangkan bahwa sudah harusnya pendidikan mengabdikan dirinya untuk kehidupan dengan segala permasalahan. Pendidikan tidak hanya melulu soal nilai dan angka. Itu hanya eksistensi cangkangnya yang jauh dari esensi hakikatnya. Pendidikan tidak seperti itu.

Tujuan pendidikan, seperti yang dituliskan dalam plakat besar yang ditempel di tembok-tembok sekolah (dan kuliah), adalah dicapainya nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar dan indah untuk kehidupan. Namun, apa jadinya jika tenaga pengajar dan anak didik sama-sama memiliki kesamaan dalam pandangan pendidikan; mengejar eksistensi, mengubur substansi. Alih-alih atas dalih akreditasi, semuanya bisa dibeli dengan segala fasilitas yang memadai, piala berjubel di dalam lemari, dan piagam menumpuk di dalam laci.

Barangkali yang sering luput dalam lintasan dunia pendidikan adalah implementasi konkrit dari apa yang sudah dipelajari dan dipahami. Kelihatan sukar, dan itu yang menjadi alasan kebanyakan orang. Alasan itu juga yang kemudian menjadikan pelajar (mahasiswa) asing dan sepi ketika pulang ke rumahnya. Konsep itu sudah matang terbentuk dalam ruang pikiran, tetapi masih sulit untuk diaplikasikan, terlebih untuk kebermanfaatan dan keberlanjutan kehidupan.

Sekali lagi, pendidikan untuk kehidupan. Saya mengimajinasikan, jika mahasiswa yang usai belajar di kota-kota dan kembali ke desa dengan mengamalkan ilmunya sesuai bidangnya secara teratur dan sempurna, tentu iklim pendidikan Indonesia sudah tidak lagi berbicara soal angka dan nilai, tetapi mampu menancapkan keberadaannya dalam akar permasalahan kehidupan.

Pemandangan itu lebih mudah ditemukan jika guru dan murid sama-sama memiliki kesamaan cara pandang dalam memperlakukan pendidikan untuk mengabdi terhadap kehidupan dan segala persoalannya. Mewujudkan iklim pendidikan seperti ini memang tidak mudah dan tidak cepat. Namun yang pasti, selalu ada kesenjangan antara nilai ideal dengan realitas sosial.

Dalam perjalanannya yang lebih jauh dan panjang, pendidikan yang identik dengan teori dan konsep sudah mampu mengabdikan dirinya sebagai problem solver di segala lini kehidupan sosial. Tetapi, alangkah indahnya jika pelajar turun dari kota menuju desa untuk membangun, mengembangkan dan mempraktikkan segala ilmu dan pengetahuan yang holistik untuk peradaban yang lebih beradab.

Semoga saja, usai purna dari belajarnya di kota, pelajar-pelajar di Indonesia tidak merasa asing dan sepi ketika pulang ke rumahnya. Adalah ruang yang tepat untuk implementasi teori dan konsep. Percuma muluk-muluk dan ndakik-ndakik membicarakan pengetahuan yang teoritis, tapi absen dalam ihwal praksis.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya