Jokowi dan Komitmen Pemberantasan Korupsi

Pengamat Senja
Jokowi dan Komitmen Pemberantasan Korupsi 21/09/2019 1688 view Politik

17 September 2019, DPR RI bersama presiden yang diwakili oleh Yasona Laoly selaku Kemenkumham menyepakati revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, artinya RUU telah sah sebagai payung hukum baru yang menjadi pijakan kerja bagi KPK dalam beberapa tahun ke depan. Sebenarnya, revisi UU KPK sudah terjadi sejak tahun 2016. Kala itu DPR RI menginginkan adanya perubahan secara sistemik terkait kinerja KPK.

Sebagai lembaga independen KPK telah mampu menjelma sebagai harapan baru bagi pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin menggurita. Tercatat pada tahun 2014 KPK berhasil menghajar 43 kepala daerah yang melakukan korupsi, dengan catatan 17 kepala daerah berasal dari Golkar dan 13 kepala daerah berasal dari Demokrat.

Tidak hanya itu saja empat pejabat tinggi negara juga berhasil diciduk, dua di antaranya merupakan menteri aktif di era Susilo Bambang Yudhoyono, satu merupakan anggota DPR RI dan yang terakhir merupakan pejabat tinggi sekelas dirjen. Rata-rata kasus korupsi di tahun 2014 lebih condong ke persoalan penggelapan uang negara hingga penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan sendiri (ICW, 2014).

KPK pun semakin menjadi sorotan khalayak, baik yang pro maupun kontra. Secara kinerja mereka melakukan gebrakan yang cukup signifikan, beberapa orang kuat lokal dan tokoh-tokoh nasional tak luput dari sergapan KPK. Sebut saja Idrus Marham yang tertangkap korupsi di sektor energi, Rita Widyasari bupati Kutai Kertanegara yang tersandung korupsi di sektor sumber daya alam, ada juga Fuad Amin mantan bupati Bangkalan yang juga terkenal sangat kebal hukum.

Kinerja positif KPK tak hanya berhenti di situ saja, mereka kemudian menangkap walikota Malang Anton beserta 30 anggota DPRD Kota Malang, Zumi Zola selaku Gubernur Jambi beserta puluhan anggota DPRD Jambi dan yang terbaru korupsi di sektor kementrian agama yang menjerat Romahurmuzy atau akrab disapa Gus Romy.

Banyaknya tokoh-tokoh sentral partai baik nasional maupun daerah yang terjerat kasus korupsi, memunculkan isu kalau KPK harus dilemahkan. Hal itulah yang melatarbelakangi beberapa pihak untuk segera merevisi UU KPK. Beberapa faktor yang diubah, seperti memunculkan adanya dewan pengawas, mengubah aturan penyadapan dan mereduksi wewenang KPK dengan membuat alur koordinasi birokratis.

Mereka yang terusik lantas memainkan isu bahwa KPK seharusnya tidak hanya menangkap dan mengadili, tetapi harus banyak mengalokasikan waktu untuk pencegahan. Masalahnya pencegahan korupsi itu seperti apa? Dan bentuknya bagaimana? Mengingat korupsi merupakan tindak pidana yang kolektif, terstrutuktur dan memiliki jaringan kuat.

Polemik mengenai keberadaan KPK secara tidak langsung mengusik beberapa pihak, terutama mereka yang menjadi bagian dari jaringan korupsi. Dalam buku karya Etty Indriati berjudul “Pola dan Akar Korupsi” (2014), menyebutkan jika korupsi tidak bisa dilakukan sendirian, namun memiliki pola berupa jaringan.

Bentuk jaringan tersebut terdiri dari adanya principal, agent, client dan middlemen, pola tersebut secara ringkas dapat dijelaskan dalam hubungan yang cukup unik, yang mana principal dan agent ini merupakan pejabat negara, lalu client merujuk pada individu atau korporasi dan middlemen merupakan masyarakat biasa.

Pola tersebut terangkai secara sistematis membentuk sebuah jaringan, dari atas seperti principal merupakan otoritas kuasa, sementara client merupakan yang membutuhkan tindakan korupsi, agent sendiri berperan sebagai pihak ketiga sebagai tempat eksekusi dan middlemen merupakan perantara antara principal, client dan agent.

Paling tidak dari gambaran tersebut sudah terbayang di mana posisi KPK, khususnya sebagai pihak independen yang berupaya menghancurkan jaringan korupsi tersebut. Paling tidak dengan adanya KPK beberapa mata rantai jaringan terputus, sehingga korupsi bisa ditanggulangi.

Namun akibat peran KPK yang terlalu dominan tersebut, memunculkan sikap resisten dari para penguasa politik. Banyak di antara kader dari partai terjerat kasus korupsi, sehingga secara tidak langsung mengancam masa depan partai politik terutama dalam sisi elektabilitas. Banyak di antaranya mengalami penurunan suara yang sangat signifikan, seperti Demokrat, PPP atau Golkar itu sendiri.

Gelombang bersih-bersih pejabat tinggi negara oleh KPK telah menjadi momok menakutkan bagi partai-partai mapan. Merekapun was-was dengan gerak KPK yang sangat signifikan dalam memberantas korupsi, sehingga wacana merevisi UU KPK terus digulirkan dan diupayakan secepat mungkin terlegitimasi.

Selain revisi, legislatif melalui fungsi kontrolnya juga berupaya mengkooptasi KPK dengan memasukkan orang-orang yang dianggap ‘jinak’ untuk menjadi komisioner. Ke depan KPK akan dikerdilkan peran dan fungsinya melalui revisi UU KPK, mungkin akan sebelas dua belas dengan Komnas HAM yang tak punya taring dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Setelah terpilih lagi untuk kedua kalinya, komitmen Jokowi sebagai presiden kembali dipertanyakan. Terutama saat ia menyetujui revisi UU KPK dengan menyuruh Kemenkumham untuk hadir dalam rapat pembahasan bersama DPR RI.

Setelah itu sontak publik ramai-ramai mengkritisi Jokowi, karena dianggap mengingkari janji-janjinya selama gelaran pilpres kemarin. Sesaat itu, Jokowi dikabarkan akan menolak beberapa usulan dalam revisi UU tersebut. Penolakan Jokowi pun ramai membanjiri lini masa jagat dunia maya, tetapi di sini titik temunya. Mengingat peran aktif presiden sebagai eksekutif akan menentukan keberlanjutan masa depan KPK.

Tentu kita masih ingat kala Jokowi dikabarkan menolak UU MD3 yang diajukan oleh mayoritas fraksi diDPR RI, karena secara masif ditolak oleh masyarakat, tetapi karena kurang aktifnya ia sebagai presiden aturan tersebut akhirnya lolos dan disahkan.

Memang jikalau berkaca pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan, pada pasal 73 ayat 2 mengatakan jika RUU yang telah disusun tetapi tidak mendapatkan persetujuan presiden, maka dalam waktu 30 hari dinyatakan sah. Namun perlu diketahui sebelum sampai pada pengesahan, terdapat mekanisme-mekanisme yang harus dijalankan.

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, RUU yang telah dibuat dan mendapatkan persetujuan dari fraksi akan dikirimkan drafnya ke presiden untuk disetujui.

Menurut Sulardi (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Peluang Veto Presiden atas RUU KPK” yang diterbitkan oleh Tempo pada 16 September 2019, menjelaskan jika dalam proses persetujuan RUU terbagi dalam dua tahapan. Pertama, DPR menjelaskan dan menjabarkan subtansi terkadi RUU tersebut. Lalu presiden atau perwakilannya dari kementrian terkait menyampaikan pandangannya atas adanya RUU tersebut, serta mengajukan terkait inventaris masalah.

Kedua, mereka duduk bersama untuk menentukan titik temu dikedua belah pihak. Di titik inilah suatu RUU akan dipastikan masa depannya, jika presiden setuju maka akan disahkan. Setelah itu akan segera diterbitkan dalam lembaran negara dan berita negara, sehingga RUU tersebut akan menjadi UU yang sah dan mengikat.

Pada fase inilah peran Jokowi sangat vital, karena langkahnya akan menentukan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dalam sistem presidensial, memiliki peran lebih dalam menolak RUU yang dibuat DPR. Karena pada dasarnya ia yang akan melaksanakannya sebagai kepala pemerintahan, maka presiden memilik suatu ‘veto’ untuk menolak RUU tersebut.

Nasi telah menjadi bubur, presiden tampaknya menyepakati revisi tersebut. Komitmen Jokowi yang terangkum dalam janji-janji kampanyenya kembali diingkari olehnya, sama seperti janjinya saat menegaskan ingin menyelesaikan aneka persoalan HAM di Indonesia.

Ke depan mungkin tidak akan ada yang namanya operasi tangkap tangan oleh KPK, tidak akan ada lagi kasus-kasus besar yang diungkap. Tentu ini sangat riskan pada aneka sektor yang kini juga sedang diutak-atik aturannya. Ada RUU Pertanahan dan Minerba, yang secara substansi sangat erat untuk menyuburkan aneka korupsi di sektor sumber daya alam. Karena pada dasarnya sektor inilah yang kerap dikorupsi untuk keuntungan para oligark, sehingga dengan disahkannya RUU KPK ini akan berimbas pada komitmen untuk menyelamatkan lingkungan hidup, lebih khususnya penyelamatan ruang hidup rakyat.

 

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya