Tangentopoli, Korupsi, dan Belanja Sektor Publik

Pegiat Rumah Baca Philosophia, Makassar
Tangentopoli, Korupsi, dan Belanja Sektor Publik 06/08/2021 1458 view Ekonomi unsplash.com

Pada tahun 1992, Italia mengalami salah satu pergolakan dalam negeri yang menyita banyak perhatian di seluruh dunia. Peristiwa tersebut disebut dengan nama Tangentopoli. Para politisi yang diberi kewenangan untuk mengelola negara, malah melakukan praktek suap untuk memenuhi saku pribadi dan kantong partai mereka sendiri. Antonio Di Pietro, salah satu jaksa yang memulai investigasi tersebut, menangkap salah satu petinggi partai politik yang melakukan suap, dan mulailah skandal para politisi tersebut terbongkar satu per satu. Peritiwa Tangentopoli jelas memberi dampak besar pada proses demokrasi dan perpolitikan Italia. Namun, dampaknya dari segi ekonomi juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Selama beberapa dekade, Italia selalu tercatat sebagai salah satu negara dengan belanja modal tertinggi di antara negara-negara OECD. Akan tetapi, peristiwa Tangentopoli dengan cepat mengubah catatan tersebut. Dalam kurung waktu 3 tahun, belanja modal negara tersebut mengalami penurunan yang drastis. Biaya pembangunan rel kereta api mengalami penurunan sebesar 52%, sementara biaya pembangunan kereta api bawah tanah terjun sebesar 57%. Biaya pembangunan bandara udara pun tak ketinggalan dengan ikut jatuh sebanyak 59%. Kesenjangan biaya konstruksi yang dibutuhkan sebelum dan setelah skandal korupsi terjadi jelas tidak bisa dianggap remeh.

Belajar dari fenomena tersebut, Tanzi dan Davoodi (1997) tertarik meneliti hubungan antara korupsi dan belanja modal di sektor publik. Menggunakan data dari 68 negara pada periode 1980-1983, mereka menemukan bahwa tingkat korupsi yang tinggi cenderung diikuti peningkatan investasi sektor publik dan belanja gaji dan upah. Kabar buruknya, peningkatan tersebut justru mengurangi kualitas infrastruktur dan total penerimaan negara.

Tanza dan Davoodi tidak sendirian. Beberapa peneliti selanjutnya juga menegaskan hal serupa. Sanjeev dkk.,(2000) menemukan bahwa sementara korupsi meningkatkan biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan, korupsi justru menurunkan kualitas pelayanan di dua sektor prioritas tersebut. Dua penelitian lainnya juga datang dari Delavallade (2006) dan Jajkowicz (2005). Mereka menemukan bahwa korupsi dengan lebih mendorong belanja pada sektor pertahanan, minyak dan energi, dan layanan publik, tapi mengurangi belanja pada sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Secara teoritis, terdapat beberapa alasan mengapa korupsi bisa memengaruhi belanja sektor publik. Pertama, pada dasarnya, orang-orang memang cenderung mementingkan dirinya sendiri (self-interest). Pada sektor publik, potensi merusak self-interest semakin meningkat, mengingat besarnya kekuasaan dan sumber daya yang terlibat di dalamnya.

Kedua, para politisi seringkali dikelilingi oleh pihak-pihak yang dapat memicunya melakukan perilaku rent-seeking. Mereka bisa melakukan kerjasama dengan pihak swasta untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di tangan mereka (Mauro dan Paulo, 1997).

Ketiga, untuk menutupi mahar politik, para politisi pun bisa menemukan rasionalisasi untuk melakukan pengaturan struktur belanja sektor publik yang menguntungkan mereka (Sjafrina, 2019).

Agar tidak terdeteksi, pelaku korupsi cenderung melakukan penggelapan pada sektor-sektor yang susah diawasi (Mauro dan Paulo, 1997). Tapi inti dari hal tersebut adalah koruptor akan mengutak-atik anggaran yang paling bisa memberinya peluang untuk menambah pundi-pundi keuangan tanpa ketahuan. Dengan demikian, pengaturan anggaran tidak lagi didasarkan pada prioritas tidaknya sektor tersebut. Pengadaan barang jadi cenderung lebih diutamakan ketimbang belanja operasional dan pemeliharaan (Tanzi and Davoodi, 1997). Sementara belanja sektor pertahanan jadi lebih diprioritaskan (Gupta dkk., 2001) ketimbang belanja pada sektor pendidikan dan kesehatan (Mauro, 1998, and Gupta et al., 2000).

Delavallade (2006) sendiri, telah membuat beberapa catatan mengenai bagaimana korupsi mampu menggangu efesiensi dan efektivitas anggaran. Dalam lingkungan birokrasi yang korup, struktur anggaran seringkali tidak seimbang. Selain karena korupsi mampu menurunkan pendapatan negara, korupsi juga mampu meningkatkan persentase pengeluaran pemerintah atas Produk Domestik Bruto. Dampak dari meningkatnya pengeluaran pemerintah ini juga bersifat kontroversial sebab seringkali tidak menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat (Dellavade, 2006). Di sisi lain, belanja publik pada sistem perpolitikan yang korup cenderung kurang efisien. Pejabat yang korup seringkali hanya mengutamakan sektor belanja yang memudahkan mereka melakukan penggelapan uang ketimbang benar-benar mengutamakan sektor prioritas.

Oleh karena itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Tanzi dan Davoodi (1997), para ahli ekonomi tidak bisa serta merta mendewakan tingginya belanja sektor publik sebagai ukuran kemajuan. Terutama sekali jika negara yang dimaksud memiliki indeks korupsi yang tinggi. Untuk konteks Indonesia, Transparancy International melaporkan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari peringkat 85 ke peringkat 102 dari 180 negara. Menariknya, sektor yang paling banyak di korupsi adalah belanja sektor publik. Berdasarkan data yang dirilis ICW (2019), jumlah kasus korupsi yang ditemukan di sektor belanja tersebut adalah sebanyak 212 dari total 271 kasus.

Sebagai tambahan, belanja sektor publik juga harus direncanakan dan diawasi dengan baik. Tidak hanya dipersoalan prioritas tidaknya, tapi juga dipersoalan efektif dan efesiensinya.

Menurut World Bank (2020), meskipun Indonesia telah meningkatan belanja publik di sektor prioritas, jumlah tersebut masih belum memadai. Pada tahun 2012-2014 misalnya, belanja kesehatan dan bantuan sosial pemerintah Indonesia masih setengah dari rata-rata pengeluaran Negara Berpenghasilan Menengah ke Bawah (LMIC). Untuk sektor pengairan dan sanitasi, belanja sektor publik Indonesia malah menjadi yang paling rendah dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.

Selanjutnya, sumberdaya yang ada dialokasikan di sektor prioritas tidak selalu disalurkan ke program yang tepat. Dalam bidang pendidikan, pemerintah hanya mengalokasikan belanja untuk pendidikan dan perkembangan anak sebesar 4,5% dari total anggaran, padahal investasi di bidang tersebut terbukti dapat memberi manfaat jangka panjang. Sedangkan untuk infrastuktur, belanja Operasional dan Pemeliharaan (O&M) hanya berkisar 15% sampai 20% dari total anggaran yang dialokasikan.

Ketika sumber daya tersebut telah disalurkan ke bidang yang tepat, belanja tersebut seringkali masih belum signifikan. Belanja untuk pemeliharaan jalan telah meningkat sebanyak 37% di tahun 2015, tapi umur dan kualitas jalan justru tidak meningkat secara signifikan. Pada sektor pendidikan, pemerintah mewajibkan belanja sebesar 20% dari total anggaran tapi masih banyak sekolah yang tidak memiliki perlengkapan kelas dan buku yang layak. Sedangkan di sektor kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) malah mengalami banyak defisit termasuk di tahun 2017.

Dengan tiga catatan tersebut, ditambah dengan indeks persepsi korupsi yang semakin menurun, potensi diotak-atiknya belanja sektor publik oleh agen yang korup besar kemungkinan bukan isapan jempol semata. Meski membutuhkan penelitian lebih lanjut, tidak memadainya belanja di sektor prioritas, penyaluran anggaran yang seringkali tidak tepat sasaran, dan masih kurang signifikannya pengaruh program yang dijalankan bisa menjadi penanda yang kuat untuk indikasi tersebut.

Belum ada resep yang terbukti jitu untuk mengatasi masalah korupsi terutama di sektor publik. Namun beberapa mekanisme pencegahan korupsi sektor publik yang rekomendasi dari United Nation of Drugs and Corruption (UNODC), mungkin bisa dipertimbangkan. Selain penguatan pengendalian internal, UNODC juga menyarakan penggunakan mekanisme lain seperti whistleblowing, penguatan etika, dan penggunaan e-government.

Akan tetapi, peristiwa Tangentopoli telah memberikan kita pelajaran. Mitigasi korupsi yang baik, dimulai dari penegakan hukum tanpa pandang bulu kepada politisi-politisi yang suka berlindung di balik kekuasaan. Hanya saja, mengingat banyaknya potongan hukuman untuk para koruptor belakangan ini, hukuman yang tegas dan adil tersebut tampaknya masih butuh waktu untuk benar-benar dilaksanakan.

Kita butuh orang-orang seperti Antonio Di Pietro untuk memulai perubahan. Masyarakat yang selama ini menjadi korban utama dari korupsi, juga harus berpartisipasi dengan memberikan dukungan dan pengawasan terhadap budaya anti-korupsi yang diidam-idamkan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan. Tapi salah satu yang paling direkomendasikan adalah dengan tidak memilih dan memberi dukungan kepada para politis yang terbukti korupsi untuk mengurusi kebijakan negara.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya