Pengaruh Emanasi Neoplatonisme Atas Sufisme Ibnu Arabi

Mahasiswa
Pengaruh Emanasi Neoplatonisme Atas Sufisme Ibnu Arabi 01/01/2023 573 view Agama bincangsyariah.com

Dalam sejarahnya Islam adalah agama yang terbuka, inklusif dan fleksibel terhadap budaya atau ajaran lain. Ketika melakukan ekspansi ke berbagai belahan dunia, Islam tak pernah menutup diri atau bahkan menghardik ajaran yang tak berasal dari Islam. Islam seringkali justru mengakomodasi atau mengawinkan ajarannya dengan ajaran di luar dirinya.

Keinklusifan itulah yang nampak, misalnya, ketika kita beribacara tentang neoplatonisme. Setali tiga uang dengan aristotelianisme atau platonisme, neoplatonisme adalah aliran filsafat yang banyak mempengaruhi dan mewarnai wajah pemikiran Islam, terutama dalam bidang mistisisme. Sebab, kalau kita tilik ajaran neoplatonisme, kita akan menemukan sisi religiusitas dan teologis ketika ia mengeksposisi realitas. Tak ayal bila neoplatonisme mendapatkan minat dan perhatian dari para pemikir yang bercorak sufistik. Salah seorang sufi yang memiliki minat itu ialah Ibnu Arabi. Hal ini nampak ketika ia membicarakan konsep Tajalli-nya.

Seperti apakah pengaruh neoplatonisme atas konsep itu? Bagaimana bentuk konsep tajalli ketika mendapatkan pengaruh dari neoplatonisme? Sebelum menjawab pertanyaan itu, alangkah baiknya kita menjelaskan sedikit tentang pemikiran neoplatonisme.

Selayang Pandang Neoplatonisme

Aliran yang mencoba menggabungkan ajaran Plato dan Aristoteles disebut dengan neoplatonisme. Sistem yang dibangun oleh filsuf besar bernama Plotinus ini tersusun dari tiga kata yakni, Neo, Plato dan Isme. Neo artinya baru, Plato seorang tokoh filsuf Yunani, Isme adalah paham atau aliran. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa neoplatonisme adalah aliran ajaran Plato yang baru. Neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase helenisme Romawi.

Ketika membicarakan neoplatonisme, tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari sosok Plotinus. Ia adalah seorang neoplatonis terkemuka yang lahir pada 205 M dan meninggal pada 270 M. Ia diakui membaca karya-karya Plato dan Aristoteles serta belajar pada sosok pemikir bernama Ammonus Sakka selama kurang lebih 14 tahun. Kontemplasi, analisis dan interpretasi atas karya-karya tersebut menghasilkan catatan-catatan yang di kemudian hari dikumpulkan oleh muridnya, Porphyry menjadi karangan berjudul Enneads. Karangan itulah yang kelak menjadi sumber pokok bagi kajian atas pemikiran Plotinus.

Pada hakikatnya, filsafat Plotinus bercorak eklektik. Sebab, ia berusaha mengawinkan dan memadukan khazanah pemikiran Yunani sebelumnya, terutama pemikiran Plato dan Aristoteles. Perpaduan tersebut nantinya yang melahirkan gagasan tentang emanasi. Secara simplistik, emanasi dapat diartikan sebagai cahaya atau pancaran. Untuk memahami gagasan ini alangkah baiknya kita menggunakan analogi mengenai lampu.

Ketika dinyalakan, lampu akan memancarkan cahayanya dari sumber cahaya hingga tempat terjauh yang dapat dicapai oleh lampu. Artinya, kualitas terang atau bersinarnya suatu entitas tergantung jauh atau tidaknya dengan lampu. Semakin dekat suatu entitas dengan lampu, maka ia semakin terang. Semakin jauh suatu entitas dengan lampu, maka ia semakin kurang terang. Sehingga terdapat gradasi dalam realitas ini. Meski demikian, tidak ada keterputusan cahaya antara yang terang dan yang kurang terang.

Melalui analogi tersebut, kita dapat melihat bahwa Plotinus percaya bahwa antara yang satu dan yang banyak tidak terpisah, sebagaimana lampu satu yang dapat menerangi banyak entitas. Dengan pandangan ini, Plotinus berhasil mendamaikan dualisme Platonian: idea (realitas universal) dan materia (realitas partikular). Sebagaimana sudah diketahui, idea berada di alam adiduniawi yang menurunkan atau menjadi paradigma bagi entitas-entitas partikular di alam semesta.

Plotinus menolak anggapan itu. Ia berpendapat bahwa antara yang universal dan yang particular tidak terpisah, melainkan menyantu secara gradasional. Walau bagaimanapun antara yang terang dan kurang terang tetap menyatu seperti telah dijelaskan tadi. Hanya saja tingkat kemurnian antara yang universal dan yang partikular berbeda. Yang universal jauh lebih murni dari pada yang partikular.

Dalam gradasi tersebut, Plotinus mengemukakan tiga wujud yang utama yakni Yang Satu (The One), Intelek (Nous) dan Jiwa (Soul). Wujud akhir dari trinitas itu disebut dengan alam materi. Trinitas itu bersifat atemporal dan abadi, sementara alam materi tak bisa terlepas dari waktu dan berubah-ubah.

Yang satu beremanasi hingga melahirkan Intelek yang biasanya disamakan dengan Idea Plato atau Causa Prima Aristoteles. Intelek kemudian juga beremanasi hingga melahirkan jiwa. Jiwa juga melakukan hal yang sama hingga melahirkan alam materi.

Tajalli Ibnu Arabi

Doktrin Wahdatul Wujud biasanya dilekatkan dengan Ibnu Arabi karena ia dianggap sebagai pencetusnya. Namun, setelah dilakukan penelusuran dan penelitian secara mendalam teryata Ibnu Arabi tak pernah secara langsung menggunakan kata Wahdatul Wujud. Pelekatan terhadap Ibnu Arabi tersebut lebih karena ajaran Ibnu Arabi mengandung unsur-unsur Wahdatul Wujud seperti, pernyataan bahwa “Semua wujud itu satu dalam realitas”. Oleh karena itu, Wahdatul Wujud sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh para komentator dan murid dari Ibnu Arabi.

Wahdatul Wujud berasal dari kata wahdat yang berarti kesatuan, tunggal dan sendiri; serta kata wujud yang berarti ada. Secara sederhana, Wahdatul Wujud dapat diartikan sebagai kesatuan wujud. Doktrin ini dapat diibaratkan dengan seseorang yang berada di etalase toko yang kanan, kiri dan belakangnya dikelilingi oleh cermin. Gambaran yang berada di cermin tidaklah sejati. Gambaran yang terpampang dalam cermin hanyalah bayangan dari orang yang berada di luar cermin. Meski demikian, antara gambaran yang berada di cermin dengan orang itu sendiri tidaklah berbeda.

Seperti juga ketika kita melihat industri kayu, di mana semua benda yang ada terbuat dari kayu. Entah itu meja, kursi, jendela, mimbar dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa benda-benda tersebut tak bisa terpisah dari kayu. Karena itu, kayu menjadi substansi dari benda-benda tersebut.

Dengan analogi tersebut, kita dapat memahami bahwa segala hal yang ada di seluruh alam semesta ini hakikatnya adalah satu. Hal itu tak mengherankan karena Tuhan menampakkan diri dalam lokus-lokus yang ada di alam semesta ini karena ingin dikenal oleh makhluk-Nya. Selain ingin dikenal, Tuhan juga ingin melihat sifat dan nama diri-Nya secara menyeluruh dan separipurna mungkin dalam cerminannya. Inilah yang dinamakan dengan Tajalli.

Konsep itulah yang mendapatkan pengaruh dari emanasi Plotinus. Dalam proses Tajalli, Tuhan memancarkan dirinya hingga melahirkan akal pertama. Akal pertama juga memancarkan dirinya hingga melahirkan jiwa universal. Dari jiwa universal itulah muncul alam empiris. Seperti juga Plotinus, Ibnu Arabi memahami bahwa entitas yang berada di atas bersifat aktif, sedangkan yang di bawah bersifat pasif.

Keduanya juga mengatakan bahwa manusia mesti kembali bersatu dengan Tuhan. Dengan lain kata, manusia mesti menjalani kehidupan spiritual dan asketis untuk dapat kembali bersatu dengan Dzat Yang Maha Agung. Sebab, kebahagiaan manusia hanya dapat dicapai dengan melakukan demikian.

Terakhir, kesamaan antara keduanya terletak pada bagaimana membuat analogi mengenai hubungan antara Tuhan dengan alam material atau Al-Haq dengan Al-Khalq. Keduanya mengatakan bahwa hubungan tersebut seperti matahari dan cahayanya yang menyatu dan tak terpisah tetapi keduanya berbeda. Cahaya bisa ada karena adanya matahari. Matahari adalah entitas yang menjadi sumber dari cahaya itu. Begitupun juga dengan Tuhan dan alam semesta yang menyatu dan tak terpisah tetapi berbeda. Alam semesta bisa ada karena adanya Tuhan. Karenanya, Tuhan menjadi sumber dari alam semesta itu.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya