Media Sosial Agama Baru Milenial (?)

Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Sebelas Maret
Media Sosial Agama Baru Milenial (?) 27/08/2020 1395 view Lainnya pexels.com

Jika filsuf Prancis, Rene Descartes—yang hidup di abad ke-17—berkata “Aku Berpikir Maka Aku Ada”, maka apabila ia bangkit kembali di zaman sekarang ini, saya rasa ia akan menarik omonganya dan mengantinya dengan “Aku Bermedsos Maka Aku Ada”. Bagaimana tidak, coba Anda lihat di sekeliling kita, siapa saja yang menggunakan jejaring media sosial (medsos)? Bisa dikatakan hampir seluruh—terutama generasi milenial atau generasi Z.

Revolusi industri 4.0 dan kehadiran gawai di tengah milenial memunculkan fenomena bermedia sosial. Seperti yang kita tahu, media sosial merupakan media digital sebagai tempat terjadinya realitas sosial pada ruang waktu yang tak terbatas bagi para penggunanya untuk saling berinteraksi. Media sosial yang secara sadar dipakai oleh masyarakat telah mengubah komunikasi antarindividu. Media sosial rupa-rupanya telah mengambil alih hubungan antara individu. Jika zaman dulu orang-orang berkomunikasi saling tatap muka, berbeda dengan zaman sekarang ini—pasca revolusi industri 4.0—seseorang bisa berkomunikasi lewat media sosial.

Ada sebuah fenomena yang tak kalah uniknya yang berhubungan dengan perkembangan teknologi, yakni munculnya sebuah penyakit baru yang disebut sebagai nomophobia (no mobile phone) terutama di kalangan generasi milenial. Nomophobia merupakan sebuah keadaan di mana seseorang akan merasa ada yang kurang jika terpisah dengan smartphone-nya. Tentu penggunaan smartphone atau gawai ini ditujukan untuk bermedia sosial. Tidak usah jauh-jauh, seperti kita sendiri, kita lebih tenang ketinggalan dompet daripada ketinggalan gawai. Jauh dari gawai kita akan merasa gelisah karena telah mengalami gejala FOMO (Fear of Missing Out), yakni sebuah ketakutan apabila belum mengetahui kabar terkini yang biasa kita scroll di media sosial.

Selain itu, dewasa ini seorang dengan mudahnya menyampaikan uneg-uneg, mengomentari, atau membagikan sesuatu hanya dengan sekali ketik atau klik di media sosial. Hal ini ada dampak positifnya dan juga negatif. Dampak positifnya seseorang bisa mengetahui berita atau peristiwa secara cepat yang dibagikan di media sosial. Dampak negatifnya media sosial menjadi tempat sampah, banyak pesan-pesan lalu lalang, riuh, dan tak tahu arah dan tujuanya, tidak hanya itu media sosial menjadi tempat bersarangnya berita hoaks dan buzzer, terutama era post-truth saat ini kita sering terjebak, tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan.

Media, yang fungsi utamanya sebagai “media dan perantara”, nyatanya mampu menentukan sikap dan perilaku masyarakat—utamanya masyarakat milenial. Bisa Anda saksikan sendiri beberapa konflik yang terjadi, semua berasal dari media, khususnya media sosial.

Seperti realita di media Twitter contohnya, banyak netizen yang terpancing emosi hanya dengan sebuah tweet sampah yang memang sengaja dibuat buzzer untuk mengadu domba atau menyebarkan kebohongan demi kepintingan politik dan SARA. Bahkan, seorang yang mempunyai gelar yang bisa dijadikan teladan pun bisa terpancing untuk memprovokasi pengguna media sosial. Ini membuktikan bahwasanya gelar akademik tidak mencerminkan kedewasaan berpikir, tetapi hanya membuktikan seseorang telah lulus dari lembaga pendidikan.

Media Sosial adalah Candu

Jika Karl Marx mendeklarasikan “Agama adalah Candu”, maka salam tulisan ini saya mendeklarasikan “Media sosial adalah Candu”. Mungkin Anda juga setuju dengan pernyataan saya, media sosial membuat penggunanya kecanduan, pengguna media sosial dewasa ini seperti perokok berat, jika perokok berat mulutnya akan terasa kecut apabila tidak merokok selama 1 jam, maka pengguna medsos pun juga sama, tangannya akan merasa gatal apabila tidak membuka media sosial selama 1 jam. Bahkan, para ilmuwan perilaku di Michigan State University meyakini bahwa pengambilan keputusan berisiko yang dilakukan pengguna internet, mirip dengan para pecandu narkoba dan penjudi.

Seperti yang telah saya sampaikan di atas, seseorang apabila sudah kecanduan media sosial maka bisa dikatakan ia terkena FOMO atau ketakutan ketinggalan informasi terbaru—utamanya informasi di media sosial.

Media sosial sekarang ini telah menjadi agama baru masyarakat milenial. Pengguna media sosial lebih meyakini omongan apa yang ia ikuti di media sosial, seolah-olah ia telah menaruh iman di media sosial. Jika media sosial merupakan sebuah agama yang dianut penggunanya, Tuhanya adalah CEO platform medsos, nabinya adalah apa yang ia ikuti, serta ibadahnya dengan cara mem-posting, nge-like dan, me-reply.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya