Takluknya Hegemoni Negara di Jalanan

Mahasiswa Terujung
Takluknya Hegemoni Negara di Jalanan 09/01/2020 1775 view Hukum Eramuslim

“Peraturan ada untuk dilanggar”, adagium ramah tamah dan merusak ini, amat familiar di telinga manusia Indonesia, khususnya masyarakat Sumatera Barat.

Berdasarkan catatan dari Polda Sumbar, angka pelanggaran lalu lintas di Sumatera Barat pada tahun 2018 sebanyak 123.456 kasus, sedangkan pada tahun 2019 meningkat 22 persen. Namun, yang tercatat dalam statistik laporan Polda tentu saja yang ditilang oleh pihak kepolisian, yang tidak terjaring razia –padahal yang tidak taat aturan- sejatinya berlimpah ruah.

Karena setiap hari dengan mata telanjang kita dapat menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran lalu lintas dilakukan oleh supir angkot, dan kendaraan roda dua: mulai dari berhenti sekehendak perut, melahap infrastruktur pejalan kaki, mengambil hak pengendara yang diizinkan belok kiri atau kanan saat lampu merah, bahkan menerobos lampu merah tanpa rasa bersalah.

Tidak jarang, mereka yang bersalah, mereka pula yang melemparkan peletotan tajam –seperti ingin memakan orang- pada seseorang yang menegur kesalahannya atau mereka yang sedang berjalan di koridor yang benar, tetapi berani memaksakan diri menggangu kesempatan para pelanggar lalu lintas untuk melanggar aturan negara.

Kelompok pelanggar lalu lintas, yang didominasi oleh supir angkot dan pengendara roda dua ini seperti punya hukum jalanan sendiri, bahkan hegemoni negara pun dipaksa tunduk pada hukum jalanan mereka.

Hegemoni mereka terhadap pengendara yang taat aturan amat kentara kita rasakan, bahkan Pemprov/Pemda/Pemkot tak dapat berbuat banyak -atau memang tak mau banyak berbuat- atas berbagai kesalahan yang mereka lakukan.

Para pengendara yang taat aturan dipaksa -tanpa kekerasan- untuk mempercayai bahwa hukum jalanan ala supir angkot dan pengendara roda dua bar-bar ini merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja, walau pun mereka tahu bahwa apa yang sedang terjadi di depan matanya adalah kesalahan yang nyata.

Ibarat kata, kesalahan yang berulang-ulang dan dibiarkan terus menerus hidup di sekeliling kita, lama-kelamaan akan menjadi sebuah kebenaran.

Studi kasus kecil dari seribu kasus dalam berbagai bentuk hegemoni yang dilakukan oleh supir angkot, dapat kita lihat di sepanjang jalan di Kota Padang: di mana para pengendara mobil, sepeda motor, secara tidak langsung terhipnotis untuk melanggar aturan yang telah dibuat negara untuk kepentingan bersama.

Malahan tak jarang, para pelaku yang terhegemoni oleh kuasa golongan supir angkot adalah mahasiswa yang mengaku kaum terpelajar dan terdidik.

Menariknya supir angkot sebagai kelompok yang acapkali melanggar aturan jalanan yang dibuat oleh negara untuk kepentingan bersama, sama sekali tidak menggunakan kekerasan atau menyebarkan ide-ide tertulis yang mengikat dalam menghegemoni masyarakat.

Mereka cenderung berupaya menaklukkan hegemoni negara dengan tindakan yang tidak beraturan.

Bagi mereka peraturan hanya berlaku ketika ada razia atau aparat yang sedang berjaga disekitaran lampu merah. Jika tidak ada, alamat lah kapal peraturan hanya tinggal simbol tanpa kuasa. Sebab, sekali lagi: peraturan bagi mereka, hanya ada untuk dilanggar. Seakan-akan di jalanan mereka adalah kelompok yang paling kuat dan mendominasi bahkan hegemoni negara pun dapat mereka kangkangi.

Meskipun kita melihat merah adalah tanda berhenti, kuning hati-hati, hijau silahkan jalan, tapi karena golongan supir angkot dan para pengikutnya mengatakan bahwa hijau langsung kebut lalu kelakson sana-sini, kuning masih ada kesempatan, merah terobos saja, kita terpaksa harus mengalah.

Hegemoni yang dilakukan oleh supir angkot dan para pengikutnya, terhadap golongan lain, menurut teori Gramsci, merupakan suatu bentuk hegemoni, di mana seseorang disadarkan terlebih dahulu akan tujuan hegemoni tersebut, lalu setelah mereka sadar, mereka tidak akan merasa dihegemoni lagi, bahkan secara sukarela melakukan hal yang serupa dengan golongan yang menghegemoni mereka.

Walaupun sebenarnya teori hegemoni Gramsci ini ditujukan pada negara yang mengekang hak hidup orang banyak atau membuat aturan-aturan yang mengikat lalu menanamkannya lewat ide, sampai dengan jalur pemaksaan. Akan tetapi, hukum jalanan yang dibuat oleh golongan supir angkot dan para pengikutnya justru lebih kuat dan lebih mengikat dari pada hukum negara.

Persoalan pelanggaran hukum negara di jalanan sudah sangat kompleks. Bahkan, tak jarang mereka yang bertugas mengatur agar hukum tersebut berjalan dan dipatuhi masyarakat, malah melanggar aturan tersebut.

Lalu bagaimana upaya selanjutnya dari negara untuk mengatur langkah kongkrit agar para pengendara yang kurang kesadaran dalam berkendara menjadi taat pada aturan negara?

Barangkali kita perlu baraja ka nan manang, mancontoh ka nan sudah: salah satu kiblat yang paling pantas untuk dituju adalah Jepang. Sebab, kalau bicara tertib, Negeri Sakura ini layak jadi juara. Sebab semua peri-berkendaraan telah diatur dengan amat sangat ketat oleh Jepang: aturan parkir, aturan kecepatan, dan perihal sabuk pengaman. Masyarakatnya pun dengan sami’na wa atho’na mendengarkan segala aturan tersebut.

Jika ditilik, sejatinya ketaatan masyarakat Jepang telah diatur sejak masa pembuatan Surat Izin Mengendarai (baca: SIM): dalam proses inilah masyarakat Jepang sadar bahwa SIM sangat penting bagi mereka, karena proses mendapatkannya yang sangat sulit, rata-rata orang Jepang harus mengulang pendaftaran pembuatan SIM sampai empat kali.

Hal ini tentu saja di luar catatan mahalnya pembuatan SIM –mencapai angka 40 juta- di Jepang. Oleh karena itu, ketika mereka lulus dalam ujicoba pembuatan SIM, mereka akan senang dan memberi tahu pada teman-temannya bahwa mereka sudah memiliki SIM, bahkan ada yang sampai mengadakan pesta untuk merayakan keberhasilannya.

Bandingkan dengan Indonesia: sudahlah harga pembuatannya murah –hanya sekitar seratus atau dua ratus ribuan- dan proses mendapatkannya yang sangat mudah, bahkan yang lebih radikalnya bisa menggunakan jasa calo (SIM tembak) untuk memilikinya. Bahkan tanpa SIM pun, toh banyak juga masyarakat Indonesia yang memiliki kendaraan lebih dari satu.

Oleh karena itu wajar saja, hegemoni negara dan segala hukumnya dapat mereka kangkangi, karena pendidikan untuk taat dan sadar hukum melalui proses pembuatan SIM adalah hal yang remeh-temeh bagi masyarakat Indonesia.

Jika hukum pembuatan SIM Indonesia, berkiblat pada Jepang, maka, masyarakat tentu saja sami’na wa atho’na pada aturan negara, lebih-lebih calo yang selama ini menjadi benalu dalam hukum kita telah diberantas, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi contoh juga bagi negara lain dalam berbagai hal, terutama tertib lalu lintas.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya