Menuju Indonesia Gelap Gulita

Mahasiswa PBSI UNJ 2022
Menuju Indonesia Gelap Gulita 26/03/2025 346 view Politik pixabay.com

Hari demi hari, masyarakat selalu disuguhi berita yang tidak mengenakan hati. Kita semua tahu bahwa kondisi negara kita beberapa tahun belakangan ini dapat dikatakan tidak baik-baik saja.

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah penduduk kelas menengah dan penduduk menuju kelas menengah turun. Di tahun 2019 penduduk kelas menengah berjumlah 57,33 juta jiwa kemudian turun di tahun 2024 menjadi 47,85 juta jiwa. Menurut hitungan kasar, berarti ada 9,48 juta jiwa yang turun kelas.

Kasus di atas adalah satu dari beberapa banyak warisan masalah yang diberikan oleh rezim sebelumnya. Namun sangat disayangkan, masalah-masalah yang diwariskan dari rezim sebelumnya, bukannya membaik malah semakin memburuk.

Kita bisa melihat lapangan pekerjaan semakin sempit mengakibatkan pengangguran yang merajalela, antri gas melon sampai ada yang meninggal, biaya hidup yang semakin tinggi membuat banyak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tercekik karena daya beli masyarakat yang turun drastis, upah buruh yang masih rendah, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan hal-hal lainnya yang tidak cukup kalau saya sebutkan semua.

Kecemasan masyarakat akan kondisi negara ini pun terekam dalam Survei Kepemimpinan Nasional Kompas 4-10 Januari 2025. Sebanyak 60,8 persen masyarakat kita tidak punya tabungan. Mereka pun menyatakan tidak siap menghadapi kondisi perekonomian yang semakin buruk. Dari 60,8 persen tersebut, 47 persennya adalah masyarakat dari kelas bawah dan kelas menengah bawah.

Namun sayangnya, pemerintah kita malah menunjukan kebodohannya dan sifat angkuhnya. Mereka bukannya memperbaikinya, mereka malah merespon masalah tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang akhirnya malah memperkeruh keadaan.

Dari permulaan, kita lihat pemerintah memaksakan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak tetap sasaran di tengah kondisi keuangan negara yang sedang sakit. Kemudian untuk mengatasi itu, pemerintah malah menaikan pajak, melakukan efisiensi anggaran untuk menyokong MBG dan membentuk Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang diisi oleh orang-orang toksik. Bahkan, ketua tim pakarnya adalah eks-narapidana kasus korupsi.

Selain itu, ironisnya Danatara luput dari pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kita bisa bayangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diawasi BPK dan KPK saja bisa korupsi. Sementara, Danantara yang dananya dikelola empat kali lipat dari APBN, malah tidak melibatkan BPK dan KPK. Tidak berlebihan kalau kita menyebutkan bahwa Danantara berpotensi menjadi ladang korupsi.

Kita bisa lihat contohnya Malaysia. 1Malasysia Development Berhad (1MDB) perusahaan yang mirip Danantara yang didirikan Perdana Menteri Najib Razak pada 2009. Pada tahun 2015, terjadi skandal korupsi terbesar dalam sejarah Malaysia. Dalam skandal tersebut, Najib Razak dan para pejabat tinggi Malaysia dituduh mencuri uang negara sebesar 4,5 dollar AS dari 1MDB selama 2009-2015.

Tak berhenti di situ, masalah kembali datang, Kamis (20/03/2025) Dewan Perwakilan Rakat (DPR) resmi menetapkan revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-undang (UU).

Dalam UU tersebut kita bisa melihat beberapa pasal-pasal bermasalah. Misalnya, pada pasal 47 yang awalnya menyatakan bahwa anggota TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan di Kementerian/Lembaga yang berjumlah 10 direvisi menjadi 14.

Kejadian di atas sangat tidak etis. Ketika banyak lulusan-lulusan perguruan tinggi yang menganggur karena lapangan kerja yang semakin sempit, bisa-bisanya pemerintah menetapkan UU yang tidak punya urgensi dalam tersebut. Pemerintah malah mempermudah anggota TNI aktif untuk mendapatkan jabatan sipil.

Sebenarnya, sebelum direvisi saja, kita telah melihat beberapa anggota TNI aktif yang berulang kali melanggar ketentuan. Entah terlibat dalam kampanye politik praktis sampai pengangkatannya sebagai sekretaris kabinet (Seskab).

Maka seharusnya, jika pemerintah ingin merevisi aturan dalam pasal 47 adalah mengurangi anggota TNI aktif menduduki jabatan sipil, bukan menambahkannya. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan pasal-pasal agar kasus prajurit TNI yang melanggar ketentuan tidak terulang kembali.

Kita mundur sebentar, pada tahun 2023, ada kasus dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang menyeret nama anggota TNI aktif, Marsdya Henri Alfiandi.

Ketika melakukan operasi tangkap dan penetapan tersangka, KPK mendapatkan protes dari Markas Besar (Mabes) TNI. Menurut Mabes TNI, KPK telah menyalahi aturan karena memproses anggota TNI aktif, tanpa berkoordinasi dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.

Memang dalam UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Pasal 64 Ayat (2), telah mengatur bahwa prajurit TNI aktif yang melakukan tindak pidana yang bersifat umum itu diadili oleh peradilan umum. Faktanya, pelaksanaan agar anggota TNI tunduk kepada peradilan umum sangatlah sulit. Ada Pasal 74 Ayat (2) yang membuat anggota TNI aktif tidak bisa diadili di peradilan umum meskipun dia melakukan tindak pidana umum.

Sejak diberlakukannya UU TNI, peradilan militer masih memiliki wewenang mengadili anggota TNI aktif ketika melakukan tindak pidana umum selama UU Peradilan Militer yang baru belum di bentuk. Ini tertulis dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Maka, kita tidak usah heran kalau ada kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang masuk ke peradilan militer, pelakunya tidak dihukum dengan setimpal.

Melihat pola-pola kasus di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa penetapan RUU TNI menjadi UU adalah kebijakan tidak pro-masyarakat sipil. Seharusnya yang perlu direvisi oleh pemerintah adalah UU tentang Peradilan Militer karena tidak relevan dengan lahirnya UU tentang TNI.

Kemudian, setelah RUU TNI dijadikan Undang-Undang, masyarakat juga diteror oleh RUU Polisi Republik Indonesia (Polri). Di media sosial, beredar Surat Presiden (Supres) yang membahas RUU Polri.

Revisi ini dinilai tidak memprioritaskan perlindungan hak-hak masyarakat sipil. Misalnya, Pasal 14 Ayat 1 huruf (o) dan huruf (g) yang mengatur mengenai penyadapan. Pasal tersebut berpontensi melanggar hak atas privasi masyarakat sipil di negeri ini. KPK saja, kalau ingin melakukan penyadapan harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas KPK terlebih dahulu.

Kemudian Pasal 16 Ayat (1) menyatakan kepolisian bisa melakukan pendidikan dan pemblokiran dan upaya perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri yang berkoordinasi dengan kementerian di bidang komunikasi dan informatika.

Pasal tersebut berpotensi menyempitkan ruang kebebasan berekspresi, khusus untuk isu-isu yang mengkritik pemerintah. Padahal, kebebasan berekspresi adalah hal dasar yang harus dilindungi. Ini tercantum dalam Deklarasi HAM dan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Selain itu, Indonesia juga terikat terhadap perjanjian-perjanjian internasional seperti Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau bisa dikenal Internasional Convenant on Civil and Political Rights. Di situlah, kebebasan berekpresi juga terkandung di dalamnya.

Lagi-lagi tidak berhenti di situ, masyarakat juga masih diteror oleh RUU Kejaksaan. Menurut Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, Pujiyono Suwadi, hal tersebut dapat mengecilkan peran Kejaksaan sebagai aparat hukum dalam memberantas korupsi.

Nah, sebagai masyarakat Indonesia yang baik dan budiman, apakah kita harus membiarkan negara tercinta kita ini menjadi gelap gulita? Aku rasa, kalau kita hanya diam, kita bakal menjelma kabut yang menambah kesuraman malam yang gelap gulita.

Lalu, kita harus apa? Aku yakin kalian tahu jawabannya!

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya