Sumbangsih Kaum Milenial: Mengritik Pemerintah Secara Ideal

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah (CNN Indonesia.com, 08/02/2021). Permintaan atau ajakan Presiden ini menimbulkan beragam reaksi dan komentar. Ada yang menyambut ajakan itu dengan optimisme tinggi dan ada juga yang menyambut ajakan itu dengan nada pesimis. Sebab, ajakan atau permintaan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang selama ini terjadi di Indonesia, khususnya selama beberapa tahun terakhir dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi sendiri. Pasalnya, praksis berdemokrasi kita selama beberapa tahun belakangan sampai saat ini mengalami anjlok.
Hal itu ditunjukkan oleh hasil survei dari beberapa lembaga. Misalnya, berdasarkan rilis tahunan The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 22 Januari 2021, indeks demokrasi di Indonesia turun ke peringkat 64 dengan skor 6,3 dalam skala 1-10. Skor tersebut lebih rendah dari Malaysia, Filipina, dan bahkan Timor Leste. Dibanding beberapa tahun sebelumnya, peringkat ini adalah urutan yang paling rendah selama kurun waktu 14 tahun terakhir (Berita baru.co, 11/02/2021).
Selain itu, menurut riset yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Desember 2020, sejumlah 29,4 persen masyarakat mengaku tidak bebas untuk memberi masukan kepada pemerintah.
Hasil senada juga dirilis oleh Indikator Politik Indonesia. Dalam surveinya yang dilakukan pada 24-30 September 2020, dipaparkan sebanyak 47,7 persen responden cenderung setuju bahwa warga semakin takut untuk mengkritik pemerintah dan 21,9 persennya sangat setuju.
Hal-hal semacam itu mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di negara kita saat ini.
Tentunya, ada alasan atau penyebab di balik penurunan indeks demokrasi dan ketakutan warga masyarakat untuk mengkritik dan memberikan masukan kepada pemerintah.
Sepintas lalu, pemerintah saat ini sedang menjalankan pemerintahan yang mirip dengan “cara kerja” pemerintah Orde Baru. Pemerintah cenderung meredam dan membungkam suara-suara kritis terhadap pemerintah melalui Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan pelbagai alat kekuasaan yang lain. Menyitir Peter Tan, menjegal dan membungkam suara kritis warga adalah bentuk kemunduran dan pemunduran demokrasi (Tan, 2018: 103).
Hal ini sangat miris dan kontradiktif dengan ajakan Presiden Jokowi untuk lebih aktif menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah.
Namun, situasi pelik dan suram semacam itu tidak boleh memadamkan api semangat kita untuk tetap mengkritik pemerintah. Kita tetap perlu menyambut dengan baik ajakan Presiden Jokowi untuk lebih aktif mengkritik dan memberikan masukan kepada pemerintah.
Hemat penulis, salah satu pihak yang perlu menyambut ajakan kritik itu dengan baik dan penuh optimisme ialah generasi milenial Indonesia. Sebab, generasi milenial memiliki kemampuan-kemampuan istimewa untuk menciptakan situasi dan kondisi yang lebih baik di tanah air kita saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Menurut William H. Frey (2020), generasi milenial adalah orang-orang yang tergabung dalam angkatan yang lahir antara 1981-1996. Diperkirakan, usia mereka sekarang berkisar 24-39 tahun (Badan Pusat Statistik, “Hasil Sensus Penduduk 2020”, dalam Berita Resmi Statistik No. 7/01/Th. XXIV, 21 Januari 2021: 4).
Kemudian, sensus Penduduk 2020 mencatat jumlah penduduk Indonesia pada September 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa. Mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh generasi Z dan generasi milenial. Proporsi generasi Z sebanyak 27,94 persen atau 74,93 juta jiwa dari total populasi Indonesia dan generasi milenial sebanyak 25,87 persen atau 69,38 juta jiwa dari total populasi Indonesia.
Berdasarkan data sensus penduduk tersebut, generasi milenial menempati posisi kedua terbanyak dari total populasi Indonesia. Jumlah generasi milenial berada di bawah generasi Z yang notabene menjadi generasi terbanyak di Indonesia saat ini.
Namun, keberadaan generasi Z belum dapat diperhitungkan ketimbang generasi milenial. Sebab, sebagian besar generasi Z tergolong generasi yang belum masuk usia produktif, sedangkan generasi milenial secara keseluruhan sudah tergolong dalam usia produktif.
Oleh karena itu, generasi milenial perlu digenjot untuk melakukan terobosan-terobosan baru dan hal-hal luar biasa di negara ini, termasuk terobosan-terobosan di dalam dunia sosial-politik.
Konkretnya, di tengah krisis demokrasi yang terjadi saat ini, generasi milenial perlu menunjukkan “taring” untuk membela dan mempertahankan eksistensi demokrasi. Sebab, menurut Boni Hargens, kaum mudalah (baca: generasi milenial) yang diharapkan menjadi tulang punggung perjuangan demokrasi di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara (Nanto, 2020: vii).
Salah satu perjuangan yang mesti dilakukan generasi milenial saat ini ialah menyelamatkan dan mengangkat kembali martabat demokrasi dari tangan pemerintah yang hendak “mengerdilkan” dan “memutilasi” praktik-praktik demokrasi di negara kita ini, seperti praktik kebebasan bersuara dan berpendapat, termasuk kebebasan menyampaikan kritik.
Oleh karena itu, generasi milenial perlu membiasakan diri untuk mengkritik pemerintah, sehingga generasi milenial juga dapat mempengaruhi seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk mengkritik pemerintah saat ini dan di masa-masa yang akan datang.
Karl Popper, filsuf Austria, dalam salah satu karya termasyhurnya Conjectures and Refutation: The Growth of Scientific Knowledge, mengatakan bahwa kritik dan seni mendengarkan kritik adalah dasar dari setiap kemasukakalan (Tan, 2018: 98). Di sini, Popper secara gamblang menunjukkan kepada kita bahwa kritik adalah sesuatu yang masuk akal di dalam kehidupan bersama sebagai warga masyarakat global maupun sebagai warga masyarakat dari negara tertentu. Maka, Popper menamai atau menyebut hal itu sebagai moral falsifikasi.
Lebih jelas, moral falsifikasi ala Popper tampak dalam pernyataan berikut: “Saya mungkin salah dan Anda mungkin benar, dan dengan suatu ikhtiar, kita mungkin secara bersama-sama semakin mendekati kebenaran” (Tan, 2018: 103). Di sini, Popper meminta kita untuk terbuka memberikan dan mendengarkan kritik terhadap satu sama lain guna mendekati kebenaran yang kita cita-citakan secara bersama-sama. Dalam hal ini, kebenaran itu dapat berupa keadilan sosial dan kesejahteraan bersama seluruh masyarakat Indonesia.
Namun, salah satu pertanyaan yang muncul ialah “Bagaimana cara kita, khususnya generasi milenial, menyampaikan kritik yang baik dan benar?”
Pertanyaan ini kurang lebih sama dengan pertanyaan Jusuf Kalla: “Bagaimana caranya kritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?” (News.detik.com, 13/02/2021). Fadjroel Rachman, selaku Juru Bicara Pemerintah, menjawab pertanyaan Kalla itu dengan mengatakan bahwa pemerintah akan tetap melindungi dan menghormati kritik yang disampaikan masyarakat sepanjang sesuai dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, seperti Pasal 28J UUD 1945 tentang pembatasan menyampaikan kritik untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, dan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebab, Presiden Jokowi “tegak lurus” dengan konstitusi UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Liputan6.com, 13/02/2021).
Dalam hal ini, kritik yang baik dan benar adalah kritik yang didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku, sehingga kita (khususnya generasi milenial) tidak melayangkan kritik yang sembarangan, diskriminatif, destruktif, dan berakibat buruk pada hak dan kebebasan orang lain.
Hemat penulis, kritik semacam itulah yang dinamakan kritikan yang masuk akal. Sebab, kita memiliki standar normatif untuk menyampaikan kritikan yang bermutu, berkualitas, dan bermanfaat bagi kebaikan semua orang. Pada titik ini, demokrasi kita niscaya akan semakin baik, maju dan bermartabat, serta terhindar dari bahaya demokrasi yang kebablasan.
Oleh karena itu, generasi milenial perlu menyikapi dan menyambut ajakan kritik pemerintah dengan membangun budaya kritik yang masuk akal semacam itu. Sebab, generasi milenial masih tergolong muda, energik untuk mempelajari dan memahami segala sesuatu, produktif, dan memiliki idealisme yang tinggi dalam hidup, termasuk dalam memahami situasi sosial-politik kehidupan kita saat ini.
Harapannya, keunggulan-keunggulan itu dapat menjadi modal bagi generasi milenial untuk menciptakan situasi demokratis yang lebih beradab dan bermartabat. Termasuk dalam hal menyampaikan kritik terhadap pemerintah dan elemen-elemen masyarakat yang lain.
Artikel Lainnya
-
144507/09/2020
-
227922/05/2020
-
163523/08/2020
-
Kapitalisme Beretika, Sebuah Utopia?
167323/02/2020 -
Risiko Pernikahan di Usia Dini
140730/06/2021 -
Arah Pengendalian Stunting di Kawasan Perbatasan
74904/03/2023