Arah Pengendalian Stunting di Kawasan Perbatasan

Secara faktual, kawasan perbatasan negara selalu identik dengan daerah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T), karena minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan dasar serta terbatasnya aksebilitas bagi lalu lintas barang dan jasa untuk kebutuhan masyarakat di perbatasan. Maka untuk meningkatakan kesejahteraan di kawasan perbatasan perlu menjadi perhatian lebih serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan didasarkan atas kebutuhan rill masyarakat, potensi sumber alam dan manusia yang ada.
Hal itu telah terintegrasi, melalui Perprers Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, Presiden Jokowi menetapkan 5 arahan utama sebagai strategi dalam melaksanakan misi Nawa Cita Kedua dan pencapaian sasaran visi Indonesia Emas 2045. Kelima arahan Presiden berisikan pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi. Pencapaian visi 2045, melalui transformasi ekonomi dan didukung hilirisasi industri dengan memanfaatkan SDM, infrastruktur, penyederhanaan regulasi dan reformasi birokrasi.
Hasil analisis penulis, bilamana pembangunan dan penyediaan berbagai infrastruktur kebutuhan dasar, nyatanya belum membuahkan perubahan yang progresif dengan peningkatan derajat kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat umumnya terutama di daerah perbatasan antar-negara. Hal ni terindikasi dari masih tingginya angka prevalensi stunting di zona perbatasan yang kini menjadi sorotan banyak pihak tentang mutu kualitas SDM Indonesia di masa mendatang, dan harus sedemikian mungkin ditangani. Kendati, arahan dari Presiden dalam RPJMN 2020-2024 secara tegas menjadikan penanganan stunting sebagai salah satu bagian terpenting dari Proyek Prioritas Strategis (Major Project).
Fenomena Stunting di NTT
Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, prevalensi stunting di Indonesia sudah berangsur-angsur menurun, dari 30,8% tahun 2018 menjadi 24,4% pada 2022 berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI). Meski target penurunan stunting di Indonesia sudah ditetapkan sebesar 14% hingga tahun 2024, namun tugas pemerintah masih cukup berat karena ada target yang harus dicapai. Yang artinya bahwa pemerintah (lembaga terkait) bersama stakeholders diharapkan untuk menurunkan prevalensi stunting sebesar 10,4% dalam kurun waktu 2 tahun.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2018 NTT menjadi provinsi dengan prevalensi balita stunting tertinggi nasional yakni 42,7%. Angka tersebut juga di atas persentase balita stunting nasional sebesar 30,8%. Dan sesuai hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, bilamana sebanyak 269.658 balita dari 633.000 balita di NTT tercatat mengalami stunting. Dan hingga kini, dari hasil perhitungan prediksi menggunakan metode Small Area Estimation (SAE) oleh BPS, pada 2022 NTT masih “mempertahankan” posisi puncak prevalensi stunting nasional sebesar 35,5%. Diikuti Sulawesi Barat (35%), Papua (34,6%), NTB (32,7%), dan Aceh (31,2%). Namun patut diapresiasi, ketika NTT dibawa kepemimpin Gubernur Laiskodat, persentase stunting mengalami penurun 7,2% dari 42,7% (2018) menjadi 35,5% (2022). Walaupun grafiknya mengalami fluktuatif selama 4 tahun terakhir, tapi perlu dihargai kerja keras nakhoda beserta perangkatnya.
Lebih lanjut, mengutip data dari Kelompok Kerja (Pokja) Penanganan Stunting NTT (VN, 23/03/2022), apabila tahun 2022 stunting mengalami kenaikan 1,1% menjadi 22,0% dari tahun 2021 yakni 20,9%. Dan berdasarkan sebaran stunting di kabupaten/kota, terdapat lima daerah dengan status akut masih “dipertahankan” Sumba Barat Daya (44,3%), TTU (31,6%), TTS (29,8%), Kota Kupang (25,1%), dan Sabu Raijua (24,4%).
Sedangkan tingkat kemiskinan tahun 2020 yakni 21%. Meski mengalami penurunan di 2021 dengan angka 20,5%, akan tetapi NTT tetap berada di urutan tiga nasional setelah Papua (26,56%) dan Papua Barat (21,33%). Data ini masih mengacu pada Sensus 2019. Dikarenakan pada tahun 2020-2021 Sensus dihentikan akibat Covid-19 (Detikfinance, 17/07/2022). Dengan persentase tersebut, penduduk masih miskin sebesar 1.146,28 ribu jiwa. Namun berdasarkan data BPS (15/07/2022), persentase penduduk miskin pada maret 2022 menurun 0,39% terhadap September 2021, dengan jumlah 1.131,62 ribu turun menjadi 14,7 ribu jiwa. Terakhir, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT, selama tiga tahun terakhir mengalami kenaikan 0,71 dari 65,19 di 2020 menjadi 65,90 di tahun 2022.
Dalam konteks regional, sajian dari tiga varibel data tentu menimbulkan kekhawatiran civil society terhadap kinerja pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dikarenakan, indeks-indeks tersebut mencerminkan ketidaksimetrisan (swekness) data untuk memberi arah atau peta kepastian akan kondisi NTT hari ini dan masa depan. Angka-angka itu tak saling berkelindanan dan memberi secercah harapan dalam skala nasional untuk keluar dari kemelut ketimpangan. Terutama pada peningkatan mutu SDM dan angka harapan hidup. Maka tak heran, NTT akan selalu dikonotasikan dengan istilah negatif. Terkhusus wilayah perbatasan, yang masih melekat dengan predikat “Daerah 3T”.
Padahal melalui RAN-PASTI, tahun 2021 pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran sebesar 114,26 M, dan 2022 ada penambahan sebesar 123,344 M. Dengan tugas pokok melakukan koordinasi, sinkronisasi dan integrasi program dan kegiatan percepatan penurunan stunting, sebagaimana termaktub dalam Perpres No 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Sayang, apa yang kita lihat dan baca sekarang, bak jauh panggang dari api. Jika tak adanya konsistensi pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan desa sesuai perencanaan yang komprehensif.
Kendala-kendala demikian dipicu oleh beberapa persoalan, di antaranya ; keterbatasan kapasitas dan kualitas penyelenggaraan program, belum efektif dan efisiennya distribusi dan pemanfaatan sumber daya dan sumber anggaran, masih minimnya advokasi, kampanye, dan diseminasi, belum optimalnya koordinasi penyelenggaraan intervensi gizi spesifik dan sensitif di pelbagai tingkatan yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran, penyelenggaraan, hingga pemantauan dan evaluasi.
Arah Pengendalian
Patut disadari, NTT dalam status sebagai salah satu wilayah perbatasan merupakan kawasan yang memiliki posisi yang strategis dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan, keutuhan, dan juga integritas wilayah negara. Posisi strategis yang demikian memerlukan tata kelola yang spesifik dan memerlukan pendekatan yang sangat spesifik pula, terutama dengan mempertimbangkan pelbagai aspek kewenangan pengelolaan wilayah negara dan hak-hak berdaulat, geopolitik, sekaligus dilakukan dengan memperhatikan pendekatan kesejahteraan masyarakat, kesehatan, SDM, keamanan, serta tak luput melihat kelestarian lingkungan hidup yang berkesinambungan.
Misi meningkatkan SDM berkualitas dan berdaya saing, merupakan parameter prioritas pembangunan suatu wilayah yang perlu diperhatikan sekaligus diselesaikan. Sesuai arahan Presiden, bahwa “pembangunan SDM” sebagaimana dimaksudkan, diarahkan untuk menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, kesehatan balita, kesehatan anak usia sekolah, persentase penurunan stunting, kematian bayi, meningkatkan kualitas SDM melalui lembaga pendidikan, serta vokasi pembangunan lembaga manajemen. Maka itu, dibutuhkan keseriusan dari pihak pemerintah untuk mengatasi persoalan stunting. Baik dari segi kinerja dan regulasi diharapkan adanya transformasi, transparansi, dan kolaborasi. Terkhusus aspek fundamental ; pendekatan dan desain kebijakan.
Oleh karena itu, misi mengatasi persoalan stunting, sebagaimana ulasan di atas, sudah sepantasnya dibutuhkan reformasi kebijakan dan pendekatan sebagai road map strategis untuk menekan penurunan. Dari sektor kebijakan, pemerintah harusnya menggunakan dua analisis fungsional menurut perspektif Harold Laswell (1956) dalam studi kebijakan publik, yakni inteligensi dan terminasi. Inteligensi, yaitu bagaimana proses informasi tentang pelbagai masalah kebijakan mendapat perhatian dari para pembuat keputusan kebijakan yang diproses. Sedangkan terminasi, ialah bagaimana regulasi-regulasi semula dihentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi.
Dalam koridor pendekatan, kiranya perlu menggunakan pendekatan logical-positivist, yang seringkali disebut pendekatan perilaku (behaviour approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurkan penggunaan konsep yang berasal dari penelitian deduktif, pengujian hipotesis, data keras (hard data), metode komparasi, dan analisis-analisis statistik yang ketat. Dalam Policy Paradox and Political Reason (Deborah Stone, 1988), dijelaskan bahwasannya yang perlu direalisasi dengan metode ini yakni mengklarifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam analisis kebijakan.
Sehingga akhirnya, kedua aspek tersebut akan bermuara pada kesadaran publik dan perilaku masyarakat terhadap pencegahan, memperkuat konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program kegiatan dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga desa, meningkatkan akses terhadap makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan, memastikan pencegahan stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat di semua lapisan. Dan yang terpenting, meningkatkan pemantauan dan evaluasi sebagai dasar untuk memastikan pemberian layanan yang bermutu, peningkatan akuntabilitas, dan percepatan pembelajaran.
Artikel Lainnya
-
100226/11/2020
-
204212/09/2019
-
170016/04/2020
-
Politik Balas Budi Jokowi dalam Etika dan Moral Islam
100623/11/2020 -
91608/12/2020
-
Melihat Sejenak Perlindungan Kesejahteraan Lansia
91410/11/2020