Kapitalisme Beretika, Sebuah Utopia?

“Bisnis yang etis adalah majikan yang beradab.”
Itulah inti yang ingin disampaikan Julian Richer dalam bukunya The Ethical Capitalist: How to Make Business Work Better for Society (2018). Richer menyadari bahwasannya “kapitalisme” memuat konotasi yang tidak menyenangkan; para pelakunya mungkin lebih nyaman dilabeli “entrepreneur”, “pencipta lapangan kerja”, atau bahkan “penyokong perekonomian negara”.
Saat kata tersebut disandingkan dengan konsep “etis”, ekspektasi pembaca atau pendengarnya pun melonjak, menjadi sebuah mimpi tentang suatu korporasi dengan kebijakan juga visi terpuji yang tergolong utopis, seperti perusahaan yang antieksploitasi alam atau perusahaan yang berorientasi pada amal semata, bukan profit.
Padahal menurut Richer, kapitalisme beretika tidak perlu semuluk-muluk itu. Mengubah masyarakat dan peradaban menjadi lebih baik di era kapitalisme ini secara sederhananya adalah dengan lebih memedulikan pelanggan dan pekerja perusahaan. Elemen yang disebut terakhir – ya, si penggerak roda kapitalis itu – tidak melulu membutuhkan piagam apresiasi “Karyawan Terbaik”. Upah layak sesuai pengorbanan si pekerja yang dibayarkan tepat waktu berikut bonus seperti kesepakatan pun sekadar sebuah pemenuhan kewajiban. Itu text book berbisnis, bukan beretika.
Pemikiran kapitalisme beretika yang coba ditularkan Richer ialah upaya penciptaan lingkungan kerja yang humanis, yang pada akhirnya mendorong budaya perusahaan yang sehat.
Menurut Richer, karyawan yang suka mencurangi atau menipu perusahaan, doyan absen, dan kabur ke perusahaan lain walaupun sudah mendapatkan gaji juga posisi yang “enak” merupakan bukti dijalankannya entitas kapitalis tanpa etika. Stres atau ketidakbahagiaan serta turunnya motivasi bekerja di antara karyawan adalah implikasi lain.
Lalu solusinya? Sebagaimana perusahaan mencoba melayani klien atau pelanggannya semaksimal mungkin, sikap serupa juga harus berlaku pada karyawan.
Memperlakukan mereka dengan tulus dan adil dari tahap perekrutan, pengaturan gaji, sampai perhatian akan kesejahteraannya dan keluarganya terdengar amat sepele, tetapi terbukti sangat susah untuk dilakukan.
Dibutuhkan juga waktu yang lama dan konsistensi sepanjang hayat sampai kebijakan top-down ini bisa diberlakukan secara kukuh serta tidak terkesan tebang pilih yang dapat membuat perusahaan terlihat sebagai hipokrit.
Mungkin benar ada yang salah ketika para karyawan suatu perusahaan berdemo bahkan beraliansi dengan karyawan perusahaan lain yang sependeritaan.
Namun, bukan berarti mereka yang tidak ikut turun ke jalan melakukan protes tidak berempati. Bisa saja korporat tempat mereka bernaung memang sedang atau telah memperlakukan karyawannya dengan beretika, sehingga dibutuhkan lebih dari sekadar tuntutan pemenuhan isu untuk membuat mereka menoleh.
Dalam pembukaan bukunya, Richer (2018) tak memungkiri kalau kapitalisme juga telah memberikan beragam dampak negatif. Ia mengkritik bisnis di zaman sekarang yang masih berpandangan bak kapitalis abad ke-19 yang mengeksploitasi para karyawannya. Para kapitalis juga dikenal licik dan serakah, sehingga selalu punya cara untuk mengakali aturan dan serikat pekerja.
Belum lagi kesenjangan sosial dan ekonomi yang diciptakan oleh sistem kapitalisme. Di samping itu, kebebasan dalam meraup kekayaan yang lantas dikawinkan dengan hasrat untuk berkomplot dan menguasai dapat menempatkan para kapitalis ini di rantai tertinggi dalam tatanan masyarakat – kebal dari aturan hukum yang seharusnya berlaku untuk seluruh warga negara, misalnya.
Terlepas dari pelbagai kekhilafan yang tercipta dari sistem ini, setidaknya kita masih bisa optimistis, yakni dengan berpegangan bahwa tidak ada sistem yang sempurna di muka Bumi ini. Dalam isi kepala beberapa orang, kapitalisme juga masih dianggap sebuah kemajuan dibandingkan feodalisme. Sosialisme? Dengan sikap sebagian besar individu yang bahkan belum mengetahui etika dalam banyak hal, saya – dengan segala hormat pada para pencetus dan penganutnya juga keterbatasan wawasan – pesimistis ideologi ini bisa diterapkan dan kontributif untuk semua orang secara merata.
Merujuk pada perspektif itu, sebelum menuju dunia serba damai dan adil yang utopis, untuk sekarang sepertinya tak ada salahnya untuk mengkaji, menerapkan, juga menyelebrasikan kapitalisme beretika terlebih dahulu. Hitung-hitung kursus bagi si kapitalis untuk berbuat adil, lah. Kan jarang tuh institusi atau lembaga sertifikasi yang mengajarkan dan bisa menilai level keadilan seseorang.
Apalagi dengan diwacanakannya RUU Cipta Kerja dalam Omnibus Law, urgensi “mendidik” kapitalis agar lebih beretika kian meningkat. Draf RUU tersebut memungkinkan para kapitalis bertindak lebih sewenang-wenang, misalnya dengan menghapuskan cuti berbayar (paid leave), memprioritaskan merekrut pegawai kontrak (outsourcing) daripada pegawai tetap, legitimasi praktik PHK massal, dan potensi pengurangan upah apabila pertumbuhan ekonomi daerah negatif.
Artikel Lainnya
-
219427/03/2022
-
357812/09/2024
-
132329/02/2020
-
203708/11/2019
-
Pemilu 2024; Reduksinya Nilai Kepemimpinan
38701/10/2023 -
Menyegarkan Kembali Kualitas Demokrasi
61218/01/2023