Menggugat Film Tilik

Film pendek berdurasi sekitar 32 menit yang berjudul “Tilik” akhir-akhir ini begitu viral. Film yang mencoba menyajikan realitas kehidupan sehari-hari ibu-ibu (baca: perempuan) di pedesaan yang tak bisa dilepaskan dari persoalan gosip menjadi tontonan yang cukup mengasyikan bagi sebagian warganet.
Film ini diawali dengan cerita sekelompok ibu-ibu yang akan melakukan “tilik” atau “menjenguk” Ibu Lurah yang sedang jatuh sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menggunakan sebuah truk bak terbuka.
Nah, di sepanjang perjalanan itulah terjadi perbincangan atau lebih tepatnya adalah pergunjingan antara sesama ibu-ibu yang bisa bisa kita katakan sebagai gosip. Kita sebut gosip karena apa yang dikatakan oleh ibu-ibu tersebut belum berdasarkan pada bukti atau fakta-fakta yang jelas.
Adalah sesosok Bu Tedjo yang begitu dominan untuk mencoba menggiring opini ibu-ibu agar mempercayai apa yang beliau kemukakan mengenai kehidupan seorang perempuan lajang yang belum menikah yang bernama Dian, seorang Ibu Lurah yang telah menjanda dan juga Ibunya Dian yang sudah lama hidup sendiri semenjak Dian lahir, sudah ditinggal pergi suaminya.
Lantas apa saja isi dalam gosip tersebut dan siapa sosok Bu Tedjo dalam film ini. Kemudian kenapa gosip-gosip itu bisa begitu renyah dibahas oleh ibu-ibu yang berkumpul dalam sebuah truk tersebut?
Pertama, sosok Dian seorang wanita lajang dan sudah cukup berumur, namun belum menikah kemudian memilih untuk bekerja di sektor publik terlebih dahulu menjadi bahan gosip yang sangat empuk yang dilakukan oleh ibu-ibu sesama perempuan di truk tersebut.
Ibu-ibu tersebut selalu mencurigai bahwa pekerjaan Dian adalah pekerjaan tak benar hanya berdasarkan informasi dari media sosial (internet) yang sumbernya belum tentu jelas serta berdasarkan pada barang-barang yang dimiliki Dian. Bahkan Ibu Tedjo mencurigai dia pakai susuk untuk membuat tampilannya makin ayu.
Ini menggambarkan kepada kita bahwa seolah-olah seorang perempuan yang masih lajang, sudah berumur dan memilih untuk berkarir di ruang publik terlebih dahulu sebelum menikah, dalam lingkungan masyarakat kita adalah sesuatu yang penting untuk dibahas, didiskusikan, kemudian disalahkan dan didiskriminasikan oleh sesama perempuan. Perempuan lajang yang belum menikah di usia yang sudah berumur dan memilih berkarir dianggap memiliki pekerjaan tak benar, penggoda laki-laki dan anggapan lain seperti perawan tua, lesbian dan stigma negatif lainnya.
Kedua, sosok Ibu Lurah yang hidup menjanda juga menjadi buah bibir sebagian ibu yang ingin menjenguknya. Dalam gosip yang diawali oleh ungkapan Bu Tedjo bahwa Bu Lurah sudah sakit-sakitan, hidup sendiri dan tak pantas untuk menjadi pemimpin desa lagi. Pemimpin desa harus cepat dan cekatan. Ini tak ada pada diri Bu Lurah yang adalah perempuan dan sudah hidup sendiri. Hal ini juga seolah memberikan stigma negatif pada perempuan terutama yang sudah hidup sendiri tak pantas lagi untuk menjadi seorang pemimpin.
Ketiga, sosok Ibunya Dian yang disebut dalam film tersebut ditinggal suaminya ketika Dian masih kecil. Terpaksa Ibunya Dian harus membesarkan Dian sebagai seorang single parent. Justru ibu-ibu dalam truk tersebut tak ada yang membahas tingkah laku suami Ibunya Dian yang tidak bertanggung jawab dan tega meninggalkan istrinya ketika Dian masih kecil. Yang ditonjolkan justru kehidupan Dian dan Ibunya yang hidup serba pas-pasan di desa tersebut.
Keempat, sosok Bu Tedjo, yang juga adalah seorang perempuan yang di dalam film tersebut digambarkan sebagai seorang yang suka menyebar gosip meskipun berdasarkan informasi yang belum tentu benar. Hal ini seolah ingin menggambarkan seorang perempuan terutama ibu-ibu itu kerjaannya suka menggosip. Gosip seperti tak lepas dari kehidupan para ibu. Lebih parah lagi gosip yang dilakukan ibu-ibu adalah gosip yang menyerang sesama perempuan.
Kelima, di akhir cerita digambarkan bahwa Dian terkesan memiliki tekanan psikologis dan sosiologis yang luar biasa karena belum menikah dan masih hidup sendiri. Sementara seorang laki-laki setengah baya yang duduk di samping Dian yang berkemungkinan besar adalah pacar Dian seperti tidak mengalami masalah apa-apa. Padahal jika ditengok dari raut muka secara sekilas dan suaranya, laki-laki tersebut sudah berumur setengah baya dan kemungkinan juga sudah duda.
Ini semakin memperkuat bahwa stigma negatif kepada perempuan baik yang lajang sudah berumur namun belum menikah, janda, hidup sendiri lebih dominan dibandingkan dengan para lelaki yang memiliki berstatus sama, padahal perempuan juga punya hak menentukan nasibnya sendiri.
Film “Tilik” bagus untuk menggambarkan realitas kehidupan para ibu di pedesaan, namun miskin pemberdayaan perempuan terutama berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan gender. Film “Tilik” menggambarkan bahwa budaya patriarki sejatinya tumbuh dan dikuatkan oleh sesama perempuan itu sendiri.
Artikel Lainnya
-
146821/04/2020
-
50511/11/2024
-
113428/06/2021
-
Pentingnya Hati Nurani dalam Berpolitik
50614/11/2023 -
75 Tahun, Upaya Menjaga NKRI dan Semangat Persatuan di Tengah Pandemi
148317/08/2020 -
Sekali Lagi, Mengkritik Pendidikan Gaya Bank
187315/05/2023