Sejarah dan Jati Diri Manusia

Mahasiswa
Sejarah  dan Jati Diri Manusia 26/11/2020 2728 view Lainnya brewminate.com

”Kita membutuhkan sejarah bukan terutama untuk memahami dan menerangkan masa lalu, melainkan untuk memahami diri sendiri dalam upaya membangun masa depan.” (Allan Ballon).

If you don’t know where you come from, you won’t know where are going. You have to study your history” (Gill Scott Heron dikutip dari Peter Carey dalam tirto.id)

Sepanjang zaman, manusia wajib belajar sejarah (pengalaman) atas diri sendiri dan orang lain. Hal ini bertujuan supaya manusia bersikap adaptif dan arif dalam menyikapi perubahan.

Kehidupan di dunia ibarat roda berputar. Ada masanya suatu peradaban menikmati kejayaan dan keruntuhan, yang telah menjadi sunatullah. Oleh karena itu, kita membutuhkan suatu kebijaksanaan dari perisiwa lampau untuk memberikan suatu pemahaman atas diri kita untuk menciptakan masa depan.

Ilmu sejarah tidak hanya memberikan beragam pengetahuan atas peristiwa yang lampau, tetapi juga memberikan suatu hikmah/amanat dari peristiwa tersebut guna mencerdaskan akal dan rasional manusia. Untuk menggali hikmah tersebut, kita harus memahami pola alur cerita dari buku sejarah yang dibaca. Kemudian, kita perlu menggugah imajinasi dan emosi seolah kita hidup pada zaman tersebut.

Proses itu tentu akan memakan waktu untuk menggali pesan tersirat dari buku tersebut. Oleh karena, kita harus menggerakkan budaya literasi guna memperoleh kebahagaan yang langgeng. Siapa lagi yang tidak ingin bahagia dengan cara sederhana seperti ini.

Menurut hemat kami, ada tiga kelebihan mempelajari sejarah. Pertama, kita selalu menghargai arti kehidupan dan menjauhkan diri dari hidup glamor dan tinggi hati. Sebagai contoh kisah Leon Crane yang sukses bertahan hidup di Alaska pada musim dingin.

Saat itu, Leon Crane bersama lima kru pesawat mengalami kecelakaan karena pesawat gagal berfungsi saat melakukan uji coba penerbangan. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1943. Hanya Crane yang selamat atas kejadian naas seperti ini. Dengan perjuangan keras dan semangat hidup yang tinggi, akhirnya ia berjumpa dengan manusia setelah menghabiskan waktu bertahan hidup seorang diri selama 84 hari,

Meskipun peristiwa di atas tidak terdokumentasi dalam narasi sejarah resmi umumnya, setidaknya dari kisah nyata tersebut patut kita pelajari. Boleh jadi, ini menjadi inspirasi mempelajari sejarah rakyat jelata dan kehidupan sehari-hari (ordinary people) yang luput dari dokumentasi sejarah resmi.

Berbekal dari materi kuliah dan bimbingan dari pakar sejarah, minimal seorang calon sejarawan mampu melakukan riset mandiri. Setidaknya, kegiatan ini menjadi kebahagiaan tersendiri baginya ketika berhasil mempublikasi tulisan sejarah yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, menumbuhkan minat belajar bahasa. Belajar sejarah bukan soal sarana menggugah alam pikir pembaca untuk menumbuhkan motivasi, alih-alih menarik dukungan massa untuk membuat gerakan sosial. Dewasa ini, terdapat banyak platform gerakan sosial digital yang bercorak sejarah, seperti Generasi Saladin, Komunitas Literasi Islam, Aktivis Peneleh, dan seterusnya.

Menurut hemat kami, salah satu kelemahan dari gerakan ini ialah minimnya tenaga penerjemah bahasa asing. Lazimnya orang pasti mengerti makna bahasa Inggris dan Arab, alih-alih bahasa Turki karena konstelasi politik.

Penguasaan bahasa sumber menjadi kunci menemukan fakta sejarah. Misalnya, jika mempelajari sejarah Indonesia pada abad ke-19 dan 20, bahasa Belanda menjadi menu wajib mahasiswa sejarah untuk menerjemahkan sumber. Alih-alih latihan berbicara dan mendengarkan, minimal mereka cukup memahami struktur, gaya bahasa, dan intisari informasi dari sumber sejarah tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar sejarah Indonesia disusun dari arsip Belanda karena faktor historis. Ada suatu cerita dari dosen ketika belajar bahasa Belanda. Beliau bilang bahwa kunci belajar bahasa Belanda ialah pahami makna induk kalimat dan jangan berkutat pada anak kalimat. Contoh kalimatnya ialah “Rumah van Heutz berada di Menteng, rumahnya besar, pohonnya rimbun, berada di jalan protokol, ada 3 pembantu rumah, kini dikunjungi oleh Ratu Belanda.” Makna induk kalimat ialah “Rumah van Heutz dikunjungi oleh Ratu Belanda”. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi sejarawan ketika mempelajari bahasa karena harus memahami struktur dan logika bahasa.

Akibatnya, seseorang menjadi bersemangat mempelajari bahasa asing karena belajar sejarah. Dengan pemikiran yang out of the box, ia mempelajari sejarah luar negeri dengan perspektif baru yang memiliki kaitan dengan peradaban manusia. Akibatnya, ia juga tertantang mempelajari bahasa asing yang meningkatkan kemampuan berbahasa. Misalnya, Si Q minat mempelajari sejarah Jepang abad ke-20 yang berfokus pada kemunculan ideologi militerisme Jepang menjelang Perang Dunia II. Secara tidak langsung, ia memperoleh benang merah terkait peristiwa sejarah Jepang di seberang lautan (Manchuria, Korea, dan Asia Tenggara).

Terakhir, sejarah membantu kita mewujudkan kejayaan masa depan yang diharapkan. Untuk memperoleh modal mencapai impian, kita harus memahami hikmah dari masa lampau.

Apapun capaian dan tantangan dari para pendahulunya, setidaknya ini menjadi ilmu untuk memecahkan isu-isu terkini. Sebagai contoh kemunculan organisasi kepemudaaan Indonesia era milenial, seperti Aktivitis Peneleh dan Youlead (Young Leaders). Aktivitis Peneleh berupaya mewujudkan gagasan Zelf Bestuur yang diidamkan oleh HOS Tjokroaminoto.

Sementara, Youlead mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045 yang membawakan nilai-nilai keislaman. Kemunculan organisasi tersebut tidak terlepas dari upaya para perintis organisasi yang mana mereka memanfaatkan nilai tarik para pendiri bangsa/founding fathers untuk menggembleng pemuda dalam bidang hardskill dan softskill. Mereka menyadari bahwa kejayaan bangsa atau peradaban ditentukan oleh kesiapan pemuda menjawab persoalan bangsa.

Ilmu sejarah bersifat terbuka yang membuat siapapun berhak mempelajari dan menikmati kisahnya.

Selain itu, sejarah juga menyingkap jati diri kita yang sedang terombang-ambing akibat dampak post-truth, apalagi untuk bangsa Indonesia.

Artikel Peter Carey menjawab pertanyaan mengapa bangsa Indonesia gagap menunjukkan jati dirinya sendiri. Ia menjawan bahwa sebagian besar karya tulis ilmiah sejarah Indonesia ditulis oleh peneliti asing atau orang Indonesia yang telah menjadi warga negara asing (WNA). Hal ini sangat merugikan kalau Indonesia memiliki prospek pembangunan ekonomi yang menjanjikan, namun terus berlayar tanpa kompas yang memandunya.

Jika anda memiliki tulisan opini atau esai, silahkan dikirim melalui mekanisme di sini. Jika memenuhi standar The Columnist, kami dengan senang hati akan menerbitkannya untuk bertemu dengan para pembaca setia The Columnist.
Artikel Lainnya